Liputan6.com, Jakarta Fenomena kemunculan Dajjal tak selalu harus menunggu sosok bermata satu yang muncul di akhir zaman. Dalam berbagai keterangan agama, termasuk hadits shahih, fitnah Dajjal bisa hadir melalui pemikiran, pernyataan, dan retorika yang menyimpang dari ajaran Islam.
Fitnah ini begitu halus namun dahsyat, menjerumuskan banyak orang dari jalan Allah tanpa mereka sadari.
Istilah “Dajjal” dan “Masih Dajjal” seringkali disamakan, padahal keduanya memiliki makna berbeda. “Masih Dajjal” merujuk pada makhluk nyata yang akan muncul sebagai tanda akhir zaman. Sedangkan “Dajjal” dalam konteks umum, sering menunjukkan sifat-sifat pendusta yang menyerupai Dajjal, khususnya dalam hal mengganggu keimanan umat Islam.
Pendakwah Muhammadiyah Ustadz Adi Hidayat (UAH) menjelaskan, fitnah Dajjal bukan semata urusan dunia, melainkan berkaitan erat dengan akidah. Dalam hadits riwayat Muslim, kitab jilid pertama halaman 111 bab keempat, disebutkan bahwa akan datang masa di mana para pendusta akan bicara dengan gaya meyakinkan. Padahal, yang mereka sampaikan adalah kesesatan dalam beragama.
UAH menekankan bahwa orang-orang ini dapat berbicara dengan begitu indah, retorikanya mengesankan, bahkan mengutip ayat-ayat Al-Qur'an. Namun, apa yang mereka ucapkan justru mengeluarkan orang dari keyakinan terhadap Allah. Bahkan para pendengar dari zaman dulu pun akan terkejut jika mendengarnya.
Contohnya adalah pernyataan yang mengklaim bahwa semua agama itu sama. Padahal, menurut UAH, hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Pernyataan ini bukan sekadar keliru, tapi dapat menggiring umat pada kekeliruan akidah. Dalam surah Al-Baqarah ayat 204–207, Allah memperingatkan tentang orang yang pandai bicara namun sejatinya adalah musuh paling jahat.
Ceramah UAH ini dirangkum dari video yang tayang di kanal YouTube @CeramahAswajaIslami, Senin (21/4/2025), yang mengupas secara mendalam tentang bahaya fitnah Dajjal dalam konteks kekinian.
Simak Video Pilihan Ini:
Detik-Detik Evakuasi Penumpang saat Kapal Tenggelam
Kisah Sifat Dajjal
Bahkan, kata UAH, orang-orang jahiliah dulu pun tidak pernah menyamakan semua agama. Ketika mereka datang kepada Nabi Muhammad SAW, mereka berkata, “Kita memang beda.” Perbedaan itu diakui, meski mereka belum mendapatkan hidayah. Bandingkan dengan zaman sekarang, justru banyak orang terpelajar yang menyatakan semua agama sama.
UAH mengungkap pernah membaca buku yang mencaci ulama, termasuk Imam Syafi'i, dengan dalih pluralisme. Padahal, buku itu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an secara serampangan untuk membenarkan klaim bahwa semua agama benar.
Sikap seperti ini menurut UAH sangat mencerminkan sifat Dajjal. Bukan Dajjal sebagai makhluk, melainkan Dajal sebagai sifat yang menyesatkan. Maka dari itu, umat Islam diminta untuk waspada dan tidak terpukau hanya karena seseorang tampak cerdas dan punya gelar.
UAH memberikan penekanan pada surah An-Nisa ayat 140. Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa jika ada orang yang memperolok agama atau menyimpang dari Al-Qur'an, maka umat Islam cukup meninggalkan mereka, tidak perlu meladeni dengan caci maki atau kebencian.
Tujuannya bukan untuk merendahkan, tapi agar mereka sadar telah menyimpang dan kembali ke jalan yang benar. Isolasi sosial ini adalah bentuk kasih sayang Allah agar mereka memperoleh hidayah melalui kesadaran pribadi, bukan pemaksaan.
UAH menyarankan agar umat Islam tidak memberi panggung kepada penyimpangan seperti ini. Jangan undang mereka untuk berceramah, jangan dengarkan medianya, jangan baca bukunya. Biarkan mereka sadar bahwa sikap menyimpang tidak mendapatkan dukungan.
Dalam Islam, toleransi tetap dijunjung tinggi. Setiap orang punya hak memilih agamanya. Namun, UAH menegaskan bahwa dalam Islam, keyakinan bahwa agama Islam adalah satu-satunya yang benar adalah sebuah keharusan. Itu bukan bentuk arogansi, tapi keimanan.
Fitnah Dajjal Datang dalam Bentuk Seperti Ini
Surah Ali Imran ayat 19 menegaskan, “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” Maka ketika seorang Muslim berkata, “Islam yang paling benar,” itu bukan pelanggaran hukum atau intoleransi. Justru itu bentuk keyakinan dan dilindungi oleh undang-undang negara.
Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaannya. Artinya, meyakini Islam sebagai agama yang benar bukan hanya sesuai syariat, tapi juga konstitusional.
Jika ada orang Muslim yang berkata semua agama benar, maka menurut UAH, dia telah salah dua kali. Pertama, tidak memahami Al-Qur'an. Kedua, melanggar konstitusi. Bahkan dalam terminologi Al-Qur'an, orang seperti ini disebut sebagai munafik.
Dalam lanjutan ayat tersebut disebutkan, Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik bersama orang kafir di neraka Jahanam. Bukan orang kafir yang disebut lebih dahulu, tapi justru orang munafik, karena bahayanya yang lebih besar.
Urusan akidah, kata UAH, tidak bisa ditawar-tawar. Umat Islam harus tegas. Bukan dalam bentuk kekerasan, tapi dalam menjaga prinsip. Jika ada saudara kita yang menyimpang, doakan dan arahkan. Jika tetap tidak mau, tinggalkan dan jangan beri panggung.
Fitnah Dajjal bisa datang dalam bentuk pemikiran dan perkataan yang menipu. Karenanya, UAH mengajak umat Islam untuk memperkuat keimanan, memperdalam ilmu agama, dan senantiasa berpegang pada Al-Qur'an dan sunnah dalam menghadapi zaman yang penuh fitnah ini.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul