Liputan6.com, Jakarta - Fenomena mualaf di Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah figur terkenal memilih pindah agama dan masuk Islam. Di tengah euforia tersebut, muncul pesan mendalam dari pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif mengenai realitas menjadi seorang mualaf.
Ulama asal Cirebon yang akrab dikenal sebagai Buya Yahya ini memberikan wejangan kepada siapa pun yang ingin memeluk Islam. Menurutnya, masuk Islam bukan sekadar mengucap dua kalimat syahadat, melainkan perjalanan berat yang menuntut komitmen dan keteguhan.
Dalam salah satu kajiannya, Buya Yahya menyampaikan bahwa seorang mualaf harus mampu menunjukkan perbaikan akhlak yang signifikan setelah masuk Islam. Tidak cukup hanya memeluk agama, namun juga harus lebih baik secara sosial.
"Kalau kamu masuk Islam, maka kamu harus jauh lebih bagus dari sebelumnya. Harus lebih baik kepada orang tua meskipun mereka belum Islam, harus lebih baik kepada tetangga walaupun mereka belum seiman," ujar Buya Yahya dalam kajiannya.
Penjelasan tersebut disampaikan langsung oleh Buya Yahya, yang juga dikenal sebagai Pemimpin Majelis Ilmu dan Dzikir Al-Bahjah, dalam kajian umum yang terbuka untuk masyarakat luas.
Dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @buyayahyaofficial, dikutip Kamis (17/04/2025), Buya Yahya menekankan bahwa masuk Islam harus menjadi titik balik seseorang untuk menjadi insan yang lebih lembut, lebih toleran, dan lebih mencintai sesama, bukan justru sebaliknya.
Simak Video Pilihan Ini:
Evakuasi Guru Perempuan Pingsan Gunakan Eskavator di jalan yang ambles di Paweden Banjarnegara
Fenomena Mualaf yang Benturan dengan Keluarga
Ia juga menyoroti fenomena sebagian mualaf yang justru mengalami benturan dengan keluarga setelah masuk Islam. Menurutnya, hal ini bisa dihindari apabila si mualaf mampu menunjukkan akhlak yang indah.
"Jangan sampai setelah masuk Islam malah menjadi musuh bagi orang tua. Harusnya justru lebih santun, lebih hormat, dan lebih sabar dalam menghadapi perbedaan," lanjut Buya Yahya.
Dalam salah satu kisah nyata yang diceritakan, Buya Yahya menyebut ada seorang wanita yang hendak masuk Islam setelah menikah dengan pria Muslim. Ia diingatkan agar tetap menghormati ayahnya yang masih beragama Nasrani.
Ketika wanita tersebut berusaha menjadi anak yang lebih baik setelah memeluk Islam, kabar itu pun sampai kepada sang ayah. Bukannya marah, sang ayah justru tersentuh dan memutuskan untuk turut masuk Islam.
Contoh ini menjadi gambaran nyata bahwa akhlak seorang mualaf bisa menjadi jembatan hidayah bagi keluarganya sendiri. Bukan melalui perdebatan atau pertentangan, melainkan dengan keteladanan.
Buya Yahya menyampaikan bahwa Islam tidak mengajarkan untuk memusuhi keluarga hanya karena perbedaan keyakinan. Justru, kebaikan terhadap orang tua harus semakin meningkat setelah menjadi Muslim.
Jika sebelumnya belum terbiasa bersikap lembut, setelah menjadi Muslim harus belajar lebih sabar. Jika dulu kurang peduli dengan keluarga, maka setelah mualaf harus menjadi lebih perhatian.
Masuk Islam adalah Awal Perjalanan
Mualaf juga dianjurkan untuk tidak membesar-besarkan perbedaan, namun fokus kepada kebaikan dan kasih sayang. Dengan begitu, proses hijrahnya akan terasa lebih ringan karena hati merasa tenang.
Buya Yahya menambahkan, tidak sedikit mualaf yang menghadapi tekanan dari keluarga. Oleh karena itu, bekal kesabaran dan penguatan akidah sangat penting untuk menjaga keistiqamahan.
Dalam hal ini, komunitas Muslim juga harus hadir memberikan dukungan. Jangan sampai para mualaf merasa sendirian dalam menjalani kehidupan barunya. Kehangatan umat sangat dibutuhkan.
Pesan lain yang ditekankan Buya Yahya adalah bahwa menjadi Muslim bukan sekadar identitas, tetapi sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab untuk memperbaiki diri dan menjadi rahmat bagi lingkungan sekitar.
Seorang Muslim sejati adalah yang mampu membuat orang lain merasa aman dan nyaman di dekatnya. Terutama bagi para mualaf, tantangan terbesar adalah menjaga akhlak di tengah perbedaan yang masih ada.
Buya Yahya menutup pesannya dengan ajakan agar para mualaf tetap rendah hati, tidak cepat menghakimi, dan terus menimba ilmu agama dengan bimbingan para ulama.
Masuk Islam adalah awal perjalanan, bukan akhir. Maka setiap langkahnya harus dipenuhi dengan kesadaran, tanggung jawab, dan cinta yang tulus kepada Allah dan sesama manusia.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul