Liputan6.com, Jakarta - Fenomena prank atau aksi jahil yang direkam lalu diunggah ke media sosial semakin menjamur. Dari sekadar candaan ringan hingga prank ekstrem yang menyebabkan ketakutan dan bahkan trauma. Lalu bagaimana Islam memandang aksi semacam ini?
Pertanyaan tersebut dijawab langsung oleh para ulama dengan tegas. Tidak boleh karena membuat orang merasa terhina dan malu serta menyakitinya. Demikian jawaban ringkas yang menggambarkan kesimpulan hukum dalam syariat Islam terkait prank.
Prank sendiri sering diartikan sebagai tindakan menjahili seseorang, baik teman maupun orang asing, demi hiburan atau untuk menguji reaksi. Namun dalam praktiknya, prank lebih sering menjadi alat mengejek dan menakut-nakuti orang lain.
Aksi prank ini juga marak di kalangan pembuat konten di media sosial, terutama YouTube. Tak sedikit dari mereka yang membuat prank demi mendapatkan ketenaran, views, dan tentu saja pemasukan dari iklan.
Dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB (www.piss-ktb.com), Sabtu 19 April 2025, hukum prank telah dibahas dalam Bahtsul Masa’il Kubro yang diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pada 21-22 Februari 2019 M / 15-16 Jumadil Tsaniyah 1440 H.
Dalam forum tersebut, disimpulkan bahwa prank yang berisi unsur penakutan, penghinaan, atau pelecehan terhadap korban tergolong haram. Apalagi jika dilakukan tanpa izin dan menyebabkan luka psikologis maupun fisik.
Fenomena konten prank yang semakin marak memang memprihatinkan. Banyak konten yang menampilkan seseorang dikerjai secara ekstrem hingga menimbulkan kemarahan bahkan trauma pada korbannya.
Simak Video Pilihan Ini:
Bikin Gregetan, Siswa Tantang Guru Berkelahi
Bagaimana Prank yang Buat Ketakutan?
Pada dasarnya, dari berbagai variasi prank yang ada, visinya sama: untuk menghibur, mencari ketenaran, dan menghasilkan uang dari media sosial. Namun, tujuan hiburan ini sering kali melanggar norma kesopanan dan syariat.
Dalam praktiknya, prank yang tampak lucu bagi penonton bisa menjadi pengalaman yang menakutkan dan menyakitkan bagi korbannya. Bahkan bisa menimbulkan dampak jangka panjang pada psikologis korban.
Contoh prank yang menakutkan sempat terjadi di Jakarta Selatan. Sekelompok remaja berdandan menyerupai pocong dan berdiri di gang sepi dekat kuburan. Aksi ini membuat warga ketakutan. Seorang ibu bahkan mengalami trauma karena merasa diikuti hantu sungguhan.
Di sisi lain, ada juga prank yang lebih ringan dan bertujuan menghibur. Seorang YouTuber asal Kalimantan Timur menyamar menjadi pocong lalu membeli makanan di layanan drive-thru. Karena tidak terlalu realistis, prank ini justru mengundang tawa dari petugas restoran maupun penonton video tersebut.
Meskipun tidak semua prank bersifat ekstrem, tetap perlu ada pertimbangan moral dan etika. Islam memberikan batasan jelas terhadap perbuatan yang menyakiti atau merendahkan martabat orang lain.
Ini yang Diharamkan
Dalam pandangan syariat, hukum melakukan prank dengan berbagai medianya diharamkan apabila mengandung unsur membahayakan (idlror), menyakiti (idza), mengejek (istihza), atau menakut-nakuti (tarwi’) secara berlebihan.
Namun jika prank dilakukan dalam batas wajar, tidak merugikan orang lain, dan dilakukan dengan persetujuan, maka hal itu bisa ditoleransi. Akan tetapi, bentuk prank seperti ini sangat jarang dijumpai.
Para ulama menekankan pentingnya menjaga lisan, sikap, dan perbuatan agar tidak merendahkan atau menyakiti sesama, bahkan atas nama hiburan sekalipun. Hiburan yang dibenarkan dalam Islam adalah yang tidak mengandung dosa dan kerusakan.
Membuat konten kreatif di media sosial sah-sah saja, namun harus dibarengi dengan tanggung jawab moral. Jangan sampai keinginan untuk viral justru mengorbankan orang lain.
Islam mengajarkan agar manusia saling menghormati dan tidak mempermalukan sesamanya. Prinsip ini berlaku dalam semua aktivitas, termasuk dalam dunia digital dan hiburan.
Sebagai penutup, hukum prank yang menyakiti, mengejek, dan menakut-nakuti orang lain secara umum adalah haram. Kecuali jika ada dugaan kuat bahwa korban ridha dan tidak merasa dirugikan, itupun dengan catatan tetap tidak keluar dari batas adab.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul