Tahun Baru Masehi dalam Islam, Boleh Dirayakan atau Dihindari?

3 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Tahun Baru Masehi terkadangmenjadi topik hangat yang memicu diskusi panjang di tengah umat Islam setiap penghujung Desember, seperti saat ini. Pertanyaan yang kerap muncul adalah, tahun baru Masehi dalam Islam, boleh dirayakan atau dihindari?

Dalam perspektif sosial, fenomena ini bukan sekadar pergantian kalender, melainkan titik temu antara tradisi, keyakinan, dan realitas sosial. Untuk memahami isu ini secara komprehensif, kita juga perlu meninjau dari dua sudut pandang yang berbeda: perspektif tekstual-normatif yang menekankan pada kemurnian akidah, serta perspektif kontekstual yang mengedepankan moderasi beragama.

Kedua perspektif ini perlu dipahami oleh umat Islam, khususnya di Indonesia yang majemuk. Dalam konteks lain, pengetahuan ini juga penting bagi muslim yang tinggal di wilayah umat Islam sebagai minoritas. Tujuannya yakni agar menjadi maslahah.

Pandangan yang Melarang

Secara umum, ulama terbagi menjadi dua pendapat besar berbeda. Pertama melihat tahun baru Masehi sebagai sesuatu yang harus dihindari. Kedua, ulama yang membolehkan (mubah) merayakan tahun baru Masehi, dengan batasan ketat.

Merujuk Ebook Hukum Merayakan Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi, Tahun Baru Masehi, Hari Besar Nasrani - Abhu Muhammad Yusuf bin Zabnullah al Uthair dan jurnal Relevansi Perayaan Tahun Baru Dalam Perspektif Moderasi Beragama karya Sukron Azhari dan Azis Ependi, berikut ini ulasannya.

Pendapat yang Malarang Perayaan Tahun Baru Masehi

Berdasarkan kumpulan fatwa yang dihimpun oleh Abu Muhammad Yusuf bin Zabnullah al Uthair, perayaan tahun baru Masehi dikategorikan sebagai perkara yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Pandangan ini berpijak pada beberapa alasan fundamental:

  • Prinsip Penggantian Hari Raya: Islam hanya menetapkan dua hari raya besar, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Hal ini merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW saat tiba di Madinah dan melihat penduduk setempat merayakan dua hari tertentu. Beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberikan pengganti yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Iedul Adha dan 'Iedul Fitri" (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
  • Larangan Menyerupai Kaum Lain (Tasyabbuh): Perayaan tahun baru Masehi dianggap sebagai bentuk peniruan terhadap tradisi umat Nasrani dan Yahudi. Dalam pandangan ulama, mengikuti ritual atau hari raya agama lain dapat mengancam identitas akidah seorang Muslim.
  • Asal-Usul Perayaan: Secara historis, perayaan-perayaan tambahan semacam ini disebut mulai muncul secara masif pada zaman kekuasaan Fathimiyah Ubaidiyah karena pengaruh interaksi dengan orang-orang Nasrani.

Dalil dan Rujukan Ulama yang Melarang Turut Perayaan Tahun Baru Masehi

Sebagian ulama klasik maupun kontemporer menganggap ikut merayakan tahun baru Masehi haram dan perlu dihindari. Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam kitab Majmu' Fatawa wa Rasail Utsaimin (16/203-204), menegaskan bahwa mengkhususkan hari atau tahun tertentu dengan perayaan harus berlandaskan syariat, bukan sekadar adat kebiasaan.

Pandangan serupa juga terdapat dalam Fatwa (Lajnah Daimah), ditegaskan larangan memberikan ucapan selamat atas tahun baru Masehi karena perayaan tersebut tidak disyariatkan.

Larangan ini berlandaskan dalil, 

  • QS. Al-Ahzab: 21: "Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu..." (sebagai penegasan untuk mengikuti teladan Nabi dalam beribadah).
  • QS. Al-Baqarah: 137: Menekankan pentingnya beriman sebagaimana para sahabat beriman agar mendapat petunjuk.

Perspektif Moderasi: Diperbolehkan dengan Batasan

Berbeda dengan pendekatan hukum formal, sebagian ulama lain, sebagaimana ditulis oleh Sukron Azhari dan Azis Ependi dalam studinya melihat perayaan tahun baru sebagai ajang kemunculan toleransi di kalangan anak muda.

Meskipun secara historis berkaitan dengan tradisi tertentu (seperti Konghucu atau Masehi), perayaan tahun baru di Indonesia kini telah menjadi tradisi masyarakat umum tanpa harus mengorbankan identitas agama masing-masing.

Hal ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menyatakan tidak ada larangan untuk merayakan Tahun Baru Masehi atau mengucapkan selamat tahun baru.

Hanya saja, MUI mengimbau agar perayaan tersebut dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebihan, serta tidak mengganggu ketenangan orang lain.

Dalam batas tertentu, bahkan tahun baru dipandang sebagai momen perayaan kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang multikultural.

Dirayakan atau Dihindari?

Berdasarkan dua literatur di atas, terdapat dua sudut pandang yang dapat diambil oleh seorang Muslim:

Secara Teologis (Akidah): Bagi mereka yang menitikberatkan pada kemurnian ibadah, menghindari perayaan tahun baru adalah langkah preventif untuk menjauhkan diri dari perkara bid'ah dan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap kaum lain.

Secara Sosiologis (Moderasi): Perayaan tahun baru dapat dilihat sebagai realitas sosial untuk memperkuat jalinan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) selama tidak mencampuradukkan ritual ibadah.

Moderasi beragama memberikan ruang bagi masyarakat untuk tetap teguh pada ajaran agama masing-masing sambil tetap menunjukkan sikap toleran terhadap perbedaan budaya yang ada di lingkungan sekitar.

Batasan bagi Muslim yang Turut Rayakan Tahun Baru

Agar tetap berada dalam koridor syariat namun tetap bisa menjaga harmoni , terdapat beberapa batasan apabila muslim turut terlibat dalam seremonial perayaan tahun baru Masehi.

1. Steril dari Ritual Keagamaan Lain

Seorang Muslim dilarang keras ikut serta dalam prosesi yang bersifat teologis atau peribadatan agama lain yang mungkin bertepatan dengan malam tahun baru. Dalam pandangan Al-Uthair, hal ini termasuk menggunakan simbol-simbol keagamaan non-Muslim.

2. Menghindari Tasyabbuh yang Zhahir (Nyata)

Berdasarkan kitab Iqtidha' al-Sirat al-Mustaqim, batasan ini menekankan agar umat Islam tidak meniru identitas khas kaum lain.

3. Menjauhi Kemaksiatan (Munkarat)

Perayaan tahun baru sering kali identik dengan pesta pora, percampuran laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (ikhtilat), musik yang melalaikan, hingga konsumsi khamr. Moderasi beragama tidak melegalkan hal-hal yang secara substansial diharamkan oleh agama.

4. Larangan Israf (Berlebih-lebihan) dan Tabzir (Mubazir)

Islam melarang umatnya membuang-buang harta untuk hal yang tidak bermanfaat. Membakar uang dalam bentuk kembang api secara berlebihan atau pesta mewah yang tidak memiliki nilai manfaat sosial dianggap melanggar prinsip zuhud dan kepedulian sosial yang diajarkan Islam.

5. Menjaga Ukhuwah Tanpa Mengorbankan Akidah

Dalam perspektif moderasi, Anda boleh bersikap ramah dan menjaga perdamaian dengan tetangga atau rekan kerja yang merayakan, namun batasannya adalah tidak ikut serta dalam prosesi intinya. Cukup dengan menunjukkan akhlak yang baik sebagai bentuk toleransi pasif.

Anjuran bagi Umat Islam di Momen Tahun Baru Hijriah

1. Mengalihkan "Perayaan" menjadi "Muhasabah"

Batasan paling aman adalah dengan mengubah orientasi. Daripada merayakannya dengan hura-hura (celebration), lebih baik menjadikannya momentum refleksi diri (self-evaluation).

Secara administratif, tahun baru adalah pergantian kalender kerja; maka batasannya adalah memperlakukannya sebagai urusan administratif-duniawi, bukan hari raya agama.

2. Melakukan Muhasabah (Evaluasi Diri)

Meskipun tahun baru Masehi bukan merupakan hari raya Islam, pergantian waktu dapat dijadikan momentum untuk merenungi perbuatan setahun terakhir. Umat Islam dianjurkan untuk mengevaluasi diri (muhasabah) agar menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan, tanpa harus mengikuti ritual perayaannya.

3. Mengisi Waktu dengan Kegiatan Bermanfaat

Daripada menghabiskan malam dengan hura-hura, umat Islam dianjurkan untuk melakukan aktivitas yang produktif atau bernilai ibadah. Hal ini bisa berupa membaca Al-Qur'an, menghadiri majelis taklim, atau sekadar beristirahat agar bisa bangun lebih awal untuk menunaikan salat Tahajud dan salat Subuh tepat waktu.

4. Berpegang Teguh pada Identitas Syariat

Anjuran terakhir adalah kembali menghidupkan kecintaan pada kalender Hijriyah dan hari-hari besar Islam (Idulfitri dan Iduladha). Hal ini bertujuan agar identitas sebagai Muslim tetap kuat dan tidak tergerus oleh budaya luar yang tidak sesuai dengan prinsip syariat.

People Also Ask:

Apakah boleh merayakan tahun baru Masehi dalam Islam?

Merayakan Tahun Baru adalah Berhura-hura. Menurut Syaikh Sholeh Al- Fauzan Hafizhohullah, bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan yang tidak disyariatkan. Karena hari raya kaum muslim hanya ada 2 (dua), yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Bolehkah umat Islam mengucapkan selamat tahun baru Masehi?

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, merayakan tahun baru Masehi atau mengucapkan selamat tahun baru tidak dilarang dalam Islam

Apakah mengucapkan selamat tahun baru itu haram dalam Islam?

Dalam tradisi Islam, terdapat berbagai interpretasi mengenai partisipasi dalam perayaan non-Islami. Beberapa ulama berpendapat bahwa mengucapkan selamat tahun baru diperbolehkan asalkan tidak melibatkan dukungan terhadap praktik atau kepercayaan yang tidak Islami yang terkait dengan perayaan itu sendiri

Tahun baru Islam apakah boleh dirayakan?

Buya Yahya: Boleh Dirayakan Sebagai Syiar Islam

Berbeda dengan pandangan tersebut, Buya Yahya pimpinan LPD Al-Bahjah di Cirebon menyampaikan bahwa memperingati Tahun Baru Hijriah tidak dilarang, selama tidak diniatkan untuk menambah jumlah hari raya dalam Islam.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |