Mengutip tulisan Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Ustadz M. Mubasysyarum Bih di NU Online, orang mukallaf yang meninggalkan sholat, baik sengaja atau tidak, berkewajiban menggantinya di waktu yang lain.
Di dalam fiqih dikenal dengan istilah qadha. Orang yang berkewajiban mengqadha sholat terbagi menjadi dua klasifikasi. Pertama, kelompok yang meninggalkan sholat karena udzur (alasan yang ditoleransi). Kedua, kelompok yang meninggalkannya tanpa udzur.
Kelompok pertama contohnya seperti mereka yang melewatkan sholat karena tidur sebelum masuk waktu sholat atau sebab lupa. Bagi kelompok pertama ini, disunahkan segera mengqadha sholat yang ia tinggalkan. Artinya kewajiban mengqadha bagi mereka adalah kewajiban yang boleh ditunda (wajib ‘alat tarakhi). Bagi mereka, sebelum utang sholat itu terpenuhi, diperbolehkan melaksanakan aktivitas lain di luar qadha sholat, termasuk di antaranya sholat sunah Tarawih.
Dalam perincian yang pertama ini, ulama Syafi’iyyah tidak berbeda pendapat. Syekh Zainuddin al-Malibari berkata:
ويبادر به ندبا إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك
Artinya, “Dan bersegeralah secara sunah mengqadha sholat apabila sholat terlewat dengan uzur seperti tidur yang tidak teledor, demikian pula lupa,” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 32).
Adapun jenis kelompok kedua, seperti orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja, lalai karena urusan duniawi, tidur setelah masuk waktu sholat dan lain sebagainya, mengenai status kewajiban mengqadha sholat bagi mereka, ulama berbeda pendapat.
Menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah, wajib mengqadha segera, tidak boleh ditunda. Berpijak dari pendapat ini, wajib bagi orang jenis kelompok kedua ini menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadha sholat selain urusan-urusan yang dibutuhkan seperti makan, minum, tidur, bekerja menafkahi keluarga dan lain sebagainya. Haram bagi mereka melaksanakan sholat sunah, termasuk sholat Tarawih, sebelum utang sholatnya terpenuhi.
Meski haram, tapi sholat Tarawih yang dilakukan tetap sah, berbeda dengan pendapat Imam al-Zarkasyi yang menyatakan tidak sah. Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
ويبادر من مر بفائت وجوبا إن فات بلا عذر فيلزمه القضاء فورا.
Artinya, “Bersegeralah orang yang telah disebutkan itu, mengqadha sholat secara wajib apabila sholat terlewat tanpa udzur, maka wajib baginya mengqadha secepatnya.”
قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه وأنه يحرم عليه التطوع. انتهى.
Artinya, “Berkata guru kami, Syekh Ahmad bin Hajar, semoga Allah merahmatinya. Pendapat yang jelas, wajib baginya (orang yang meninggalkan sholat tanpa uzur), mengerahkan seluruh waktunya untuk mengqadha selain waktu yang ia butuhkan di dalam urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Dan haram baginya sholat sunah,” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 31-32).
Syekh Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Syatha mengomentari referensi di atas sebagai berikut:
ـ (قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي
Artinya, “Ucapan Syekh Zainuddin ‘dan haram baginya sholat sunah’; maksudnya besertaan dengan keabsahannya, berbeda dengan Imam al-Zarkasyi,” (Syekh Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 32).
Sedangkan menurut Syekh Habib Abdullah al-Haddad, kewajiban qadha bagi kelompok kedua ini boleh ditunda sesuai dengan batas kemampuan asalkan tidak sampai pada taraf menyepelekan. Berpijak dari ini, seseorang bisa melaksanakan aktivitas secara wajar, termasuk sholat Tarawih, meski ia masih memiliki tanggungan sholat. Ulama yang menyandang gelar “Quthbud Dakwah wal Irsyad, sang poros dakwah dan petunjuk” tersebut berargumen dengan hadits Nabi “aku diutus membawa agama yang dicondongi dan murah”, “Permudahlah, jangan mempersulit.”
Pendapat ini oleh Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur dinilai sebagai solusi yang tepat, dibandingkan dengan pendapat fuqaha lain yang mewajibkan segenap waktunya untuk mengqadha.
Habib Abdurrahman menganggap pendapat fuqaha tersebut sangat berat sekali diterapkan di kalangan masyarakat. Di dalam karyanya yang fenomenal, Bughyah al-Mustarsyidin, Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur berkata:
ومن كلام الحبيب القطب عبد الله الحداد ويلزم التائب أن يقضي ما فرَّط فيه من الواجبات كالصلاة والصوم والزكاة لا بد له منه ، ويكون على التراخي والاستطاعة من غير تضييق ولا تساهل فإن الدين متين
Artinya, “Di antara statemen Habib al-Quthb Abdullah al-Haddad adalah, wajib bagi orang yang bertaubat, mengqadha kewajiban-kewajiban yang ia teledor di dalamnya seperti sholat, puasa dan zakat yang diwajibkan baginya. Kewajiban ini atas jalan ditunda dan sesuai kemampuan tanpa memberatkan dan menyepelekan, sesungguhnya agama (Islam) adalah kuat.”
وقد قال : "بعثت بالحنيفية السمحاء". وقال : "يسروا ولا تعسروا" اهـ ، وهذا كما ترى أولى مما قاله الفقهاء من وجوب صرف جميع وقته للقضاء ، ما عدا ما يحتاجه له ولممونه لما في ذلك من الحرج الشديد
Nabi bersabda; “aku diutus dengan membawa agama yang dicondongi, yang murah” “permudahlah, jangan mempersulit,” Pendapat Habib Abdullah al-Haddad ini, seperti yang kamu lihat, lebih utama dari pada apa yang dikatakan fuqaha berupa kewajiban mengerahkan seluruh waktu untuk mengqadha selain waktu yang dibutuhkan untuk dirinya dan keluarga yang wajib ia tanggung, sebab pendapat tersebut terdapat keberatan yang sangat,” (Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 71).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang meninggalkan sholat fardhu tanpa udzur dan ia belum mengqadhanya, hukum sholat Tarawih baginya terdapat ikhtilaf. Menurut mayoritas Syafi’iyyah haram, menurut Habib Abdullah al-Haddad boleh. Berbeda halnya dengan orang yang memiliki tanggungan sholat yang ditinggalkan karena udzur, maka ulama sepakat membolehkan sholat Tarawih.
Wallahu a’lam.