Mengutip NU Online, terdapat hadis yang menjadi dasar menghidupkan malam Idul Adha. Hadis ini banyak ditemukan dalam literatur induk fiqih dalam mazhab Syafi’i. Berikut riwayat hadisnya.
مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
Artinya, “Siapapun menghidupkan malam dua hari raya (dengan ibadah) karena mengharap pahala Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari semua hati mati.” (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Riyadh: Maktabah Abo Moati, t.t.), jilid II, halaman 668).
Meski sebagian ulama mengatakan bahwa hadis di atas dhaif, namun para ahli fiqih menyimpulkan bahwa menghidupkan malam hari sebelum Idul Adha merupakan amalan yang sunnah dan dianjurkan.
Imam As-Syafi’i dalam Al-Umm menyampaikan riwayat bahwa malam Idul Adha merupakan salah satu malam dikabulkannya doa. Ia menyukai riwayat seraya tetap menganggapnya sunnah dan bukan wajib. (As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1393], jilid I, halaman 231).
Begitu juga An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan meskipun hadis tersebut dha’if, namun masih dapat ditoleransi untuk keutamaan amal. Menurut An-Nawawi berdasarkan hadis ini, kemuliaan malam hari raya dapat diraih dengan menghidupkan hampir seluruh waktu malam dengan beribadah.
Ia juga mengutip penjelasan Ibnu ‘Abbas, praktik menghidupkan malam hari raya adalah dengan shalat Isya berjamaah dan bertekad kuat untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah. (An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut: Darul Fikr, t,t,], jilid V, halaman 43).
Kendati para fuqaha menyimpulkan hukum menghidupkan malam hari raya sebagai sunnah, namun Al-Adzra’i berpendapat bahwa anjurannya tidak mencapai sunnah muakkad, sebab haditsnya dinilai dha’if. Pendapat ini juga diaminkan oleh Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib. (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000], jilid I, halaman 281).
Salah satu amalan malam Idul Adha adalah memperbanyak takbir. Khusus pada hari raya Idul Adha, umat Islam dianjurkan membaca takbir mursal pada malam 10 Dzulhijjah. Kemudian disunnahkan juga membaca takbir muqayyad yang waktunya mulai pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), dan usai sholat fardhu selama hari Tasyrik (11,12, 13 Dzulhijjah).
Berikut redaksi takbir Idul Adha yang dapat Anda baca sejak malam hari raya hingga hari Tasyrik terakhir.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ
Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Allāhu akbar wa lillāhil hamdu.
Artinya: “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar. Tiada tuhan selain Allah. Allah maha besar. Segala puji bagi-Nya.”
Wallahu a’lam.