Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan mengenai kewajiban mengenal Allah atau makrifatullah sering muncul di tengah masyarakat. Banyak orang menganggap kebutuhan paling mendasar dalam hidup adalah makan, minum, dan bernapas.
Namun pandangan ini ditepis dengan bijak oleh KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Baha. Ulama asal Rembang ini memberikan analogi sederhana namun sangat logis dalam menjawabnya.
Menurut Gus Baha, manusia yang hidup di dunia ini tidak sekadar butuh makan atau minum, tetapi juga butuh memahami siapa pemilik semua fasilitas yang mereka nikmati.
Dalam ceramahnya, Gus Baha menjelaskan bahwa fitrah manusia yang paling dasar justru bukan soal kebutuhan fisik, melainkan dorongan untuk mengetahui siapa pencipta dan pemilik segala yang ada di dunia.
Penjelasan itu disampaikan oleh ulama asal Narukan, Rembang ini dalam sebuah pengajian yang menanggapi pertanyaan jamaah mengenai kenapa makrifatullah yang diwajibkan terlebih dahulu.
Dengan tenang, Gus Baha balik bertanya, “Kalau kamu masuk rumah, terus ada makanan, kamar tidur, MCK, semuanya lengkap, pertanyaan pertamamu apa? Pasti tanya: ini rumah siapa, boleh dimakan enggak?”
Dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @belajarngaji-m3r yang dikutip pada Rabu (16/04/2025), penjelasan Gus Baha ini menjadi refleksi penting tentang keimanan dan akal sehat.
Menurutnya, manusia yang normal akan langsung bertanya siapa pemilik segala sesuatu yang ia nikmati. Maka dari itu, mengenal Allah bukan beban, melainkan dorongan alami yang muncul dari fitrah manusia.
Simak Video Pilihan Ini:
Tangis Keluarga Pecah Sambut Kedatangan TKI Parinah Setelah 18 Tahun Terpisah
Fitrah Manusia Begini
Dalam konteks kehidupan di dunia, manusia hidup di tengah segala kelengkapan yang telah tersedia: udara, air, tanah, makanan, dan tempat tinggal. Semua itu muncul tanpa campur tangan manusia.
Kesadaran untuk bertanya siapa yang menciptakan dan mengatur semua ini adalah bentuk makrifatullah yang paling awal. Oleh karena itu, kewajiban mengenal Allah lebih dulu daripada kewajiban lainnya.
Gus Baha menekankan bahwa fitrah ini sudah ada sejak manusia terlahir ke dunia. Tidak ada manusia normal yang tidak penasaran dengan pemilik dan pencipta segala hal yang ia temui.
Banyak orang keliru menempatkan urutan prioritas dalam hidup. Mereka menganggap mencari makan lebih penting daripada mencari ilmu dan iman. Padahal, pemahaman tentang makrifatullah justru menuntun manusia untuk menghargai hidup secara utuh.
Kebutuhan fisik seperti makan, minum, dan tidur hanya memenuhi sebagian dari aspek kemanusiaan. Tanpa pemahaman terhadap asal-usul hidup, manusia kehilangan arah dalam menjalani kehidupan.
Makrifatullah menjadi landasan utama yang menentukan arah ibadah dan amal. Ibadah yang dilakukan tanpa mengenal Allah rentan menjadi rutinitas kosong tanpa makna spiritual.
Dalam ceramahnya, Gus Baha juga mengingatkan bahwa mengetahui siapa Tuhan adalah langkah pertama sebelum melakukan bentuk ibadah lain seperti sholat atau zakat.
Menambah Pengenalan Pintu Tauhid
Jika manusia tidak mengenal siapa yang disembah, maka ibadahnya berisiko hanya menjadi gerakan fisik tanpa pemahaman mendalam. Inilah pentingnya makrifatullah ditekankan sejak awal.
Gus Baha memberikan contoh bahwa memahami siapa pencipta langit, bumi, dan seluruh isinya akan melahirkan rasa tanggung jawab serta kesadaran dalam beribadah.
Makrifatullah juga menjadi benteng agar seseorang tidak tersesat dalam logika duniawi yang sering menomorsatukan kenikmatan lahiriah dan melupakan hakikat kehidupan.
Manusia yang memulai hidupnya dengan makrifatullah akan lebih mudah menerima takdir, bersyukur atas nikmat, dan sabar dalam ujian karena tahu kepada siapa ia bergantung.
Pemahaman ini membuka pintu untuk mengenal lebih dalam nilai-nilai tauhid, yaitu keyakinan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan semua yang ada berasal dari-Nya.
Ceramah Gus Baha ini memberikan jawaban logis sekaligus spiritual, bahwa kewajiban makrifatullah bukan sekadar ajaran agama, melainkan juga kebutuhan akal sehat manusia.
Dengan memahami penjelasan ini, umat Islam diharapkan tidak hanya menjalankan ibadah sebagai kewajiban, tetapi juga berangkat dari pemahaman yang mendalam tentang siapa yang disembah.
Makrifatullah bukan ajaran sulit yang hanya bisa dicapai oleh ulama, tetapi sesuatu yang melekat dalam fitrah setiap manusia yang mau berpikir dan merenung.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul