Menyebut 'Allah' Secara Berulang-ulang, Apakah Termasuk Dzikir?

2 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Dzikir adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dan memiliki banyak keutamaan. Secara harfiah, dzikir berarti 'mengingat' atau 'menyebut' Allah.

Dalam setiap kesempatan, baik dalam kondisi senang maupun sulit, seorang Muslim dianjurkan untuk senantiasa berdzikir. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surah Ar-Ra'du ayat 28:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ 

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

Namun, apakah hanya dengan menyebut nama Allah secara berulang-ulang sudah bisa dikatakan sebagai dzikir?

Saksikan Video Pilihan ini:

Kemenperin Bidik Animator Andal dari Cilacap

Jenis Bacaan Dzikir

Bentuk dari dzikir bisa bermacam-macam, meliputi tahlil, tahmid, takbir, ataupun tasbih. Membaca Al-Qur'an dan bersholawat kepada Nabi SAW juga bagian dari dzikir.

Termasuk dari sekian banyak jenis dzikir adalah menyebut nama Allah secara tunggal tanpa diikuti kalimat lain. Dzikir ini diucapkan dengan mengulang-ulang kata “Allah, Allah, Allah”. Di dalam kajian tasawuf, bentuk dzikir tersebut dikenal dengan berdzikir dengan istilah ismul mufrad.

Dasar pengamalan dzikir isim mufrad tersebut dapat ditemukan baik di dalam Al-Qur'an maupun hadis. Dalam Al-Quran surah Al-Muzammil, ayat 8 disebutkan:

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلًا

Artinya: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepadaNya dengan sepenuh hati.”

Adapun di dalam hadis, Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan bahwa berdzikir dengan ismul mufrad merupakan sesuatu yang terpuji di akhir zaman dan hilangnya hal tersebut adalah tanda-tanda dekatnya kiamat:

لا تقومُ السَّاعةُ حتَّى لا يُقالَ في الأرضِ اللهُ اللهُ

Artinya: “Tidak akan bangkit hari kiamat sampai di bumi tak lagi terucap Allah, Allah.” (HR. Muslim).

Asumsi Penolakan

Namun, tampaknya tidak semua kelompok menerima isim mufrad sebagai bentuk dzikir yang sah. Penolakan-penolakan tersebut sebetulnya berakar pada dua asumsi yang keliru.

Pertama, mereka berasumsi bahwa sebuah nama bisa terlepas dari maknanya. Kedua, mereka menganggap bahwa penyebutan nama Allah itu tidak mempunyai unsur pengagungan (takzim).

Kekeliruan asumsi pertama bisa dibuktikan dengan logika sederhana bahwa sebuah nama meniscayakan sebuah makna yang melekat di dalamnya.

Seseorang yang menyebutkan nama sesuatu, apalagi berulang kali, tak ayal akan menghadirkan dzat yang memiliki nama tersebut. Misalnya, seseorang yang menyebutkan nama “apel”, sudah pasti tergambar bentuk atau karakter apel di dalam benaknya. 

Begitu juga seseorang yang berdzikir dengan nama Allah berulangkali akan 'menghadirkan' Allah ataupun salah satu sifat-Nya di dalam hati. Sementara memikirkan makna nama atau sifat Allah 'azza wa jalla adalah sesuatu yang disyariatkan. Dalam hal ini Syekh Abdul Fattah Al-Yafi’i menuliskan:

“Sesungguhnya berpikir mengenai makna nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sementara orang yang mengulang-ngulang nama yang agung (Allah), tidak lain tengah memikirkan makna nama-nama Allah. Maka setiap kali ia mengucap (Allah), ia sebenarnya sedang mengingat satu nama dari nama-nama Allah atau satu sifat dari sifat-sifatNya.” (Abdul Fattah Al-Yafi’i, Ad-Dzikru Bismil Mufrad Bainal Mujizin wal Mani’in, [Sana’a, Markaz Kholidil Walid: 2016], halaman 44).

Menyebut Nama Allah termasuk Dzikir

Adapun pendapat mengenai penyebutan nama Allah yang tidak termasuk pengagungan tanpa kalimat sempurna adalah asumsi yang menyalahi pemahaman para ulama. Salah satu dari ulama yang diselisihi adalah Imam Abu Hanifah sebagaimana dipaparkan Imam Al-Kasani:

وَلِأَبِي حَنِيفَةَ: اَنَّ النَّصَّ مَعْلُولٌ بِمَعْنَى التَّعْظِيمِ وَأَنَّهُ يَحْصُلُ بِالْاِسْمِ المُجَرَّد

Artinya: “Menurut Abu Hanifah: sesungguhnya teks (perintah bertakbir pada Allah) tersebut dimaksudkan bermakna takzim, dan sesungguhnya makna takzim itu sudah tercapai dengan nama (Allah) belaka” (Imam Al-Kasani, Badai’us Shanai’, [Beirut, Darul Kutubil Ilmiyyah: 2003], juz I, halaman 594). 

Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat yang menolak keabsahan dzikir dengan isim mufrad merupakan pendapat yang berdasar pada asumsi yang kurang jeli. Menyebut nama Allah secara tunggal tanpa disambung dengan kalimat lain termasuk ibadah dzikir yang disyariatkan. Wallahu a'lam.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |