Syariat Puasa Sebelum Islam, Ujian Berat yang Dijalani Umat Terdahulu

17 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Puasa adalah salah satu ibadah yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan umat Islam. Setiap tahun, jutaan umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Namun, konsep puasa ternyata sudah dikenal jauh sebelum munculnya Islam sebagai agama yang sempurna. Dalam sejarah umat manusia, puasa telah menjadi bagian dari berbagai ajaran agama.

Berbagai syariat puasa yang diterapkan oleh umat-umat tersebut menunjukkan bagaimana mereka menjalani ujian yang berat, baik secara fisik maupun mental.

Puasa sebelum Islam, dipraktikkan dalam berbagai bentuk dan ketentuan yang berbeda-beda, sesuai dengan tuntunan agama atau ajaran masing-masing masyarakat pada waktu itu.

Dengan memahami sejarah puasa sebelum Islam, kita diharapkan lebih bisa bersyukur dan menghargai ibadah puasa yang dijalani saat ini. Berikut kisah selengkapnya mengutip dari laman muslimahdaily.com.

Saksikan Video Pilihan ini:

Menegangkan, Penggerebekan Desa Penghasil Ciu dan Tuak di Banyumas

Syariat Puasa bagi Kaum Bani Israil

Sejak era nabi Musa, Allah telah mensyariatkan Bani Israil untuk berpuasa. Sang kalamullah pun memberikan contoh kepada umatnya dengan melakukan puasa selama 40 hari di Bukit Sinai. Puasa yang dilakukan Nabi Musa pun kemudian diikuti oleh Bani Israil.

Selain itu, Bani Israil juga disyariatkan untuk berpuasa di hari ke-10 bulan ke-7 dan hari ke-9 di bulan ke-8. Puasa Asyura juga merupakan puasanya umat Nabi Musa. Karena di tanggal 10 Muharram, mereka diselamatkan Allah dari kejaran Fir’aun dan mampu menyeberangi lautan dengan mukjizat tongkat Nabi Musa. Untuk mengingat hari besar itu, mereka pun diperintahkan untuk berpuasa.

Syariat itu terus berlangsung hingga era Nabi Isa. Maryam dan Nabi Isa mencontohkan ibadah puasa kepada umat mereka. Ibunda Maryam melakukan puasa di hari pertaubatan, serta pernah melakukan puasa berbicara yang kemudian diikuti sebagian kaum Nasrani.

Sementara Nabi Isa dan para muridnya melakukan ibadah puasa sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa, yakni puasa selama 40 hari. Jadi, baik Yahudi dan Nasrani melakukan puasa yang serupa dengan aturan yang serupa pula. Aturan inilah yang kemudian diubah di era Islam karena begitu beratnya.

Beratnya Puasa Ahli Kitab

Baik Yahudi maupun Nasrani, disyariatkan berpuasa tanpa sahur. Mereka menjalankan ibadah puasa sejak bangun tidur dan tak diizinkan makan ataupun minum sejak akhir isya.

Tak hanya itu, keduanya pun baru berbuka ketika telah nampak bintang-bintang. Jadi, bukan di kala magrib mereka berbuka, melainkan ketika matahari benar-benar telah tenggelam dan bulan muncul sebagai gantinya.

Bayangkan betapa beratnya seseorang berpuasa tanpa sahur dan berbuka di kala malam telah larut. Aturan ini kemudian disempurnakan di dalam agama Islam. Puasa umat Islam hanya berlangsung sejak terbut fajar hingga matahari tenggelam.

Rasulullah bahkan sangat menekankan umatnya untuk sahur dan menyegerakan berbuka agar berbeda dengan puasanya Yahudi dan Nasrani.

Kisah Sahabat yang Pingsan karena Puasa

Saat pertama kali perintah puasa Ramadhan diwajibkan, yakni turunnya surah Al-Baqarah ayat 185, puasa Ramadhan terlalu berat untuk dilakukan. Pasalnya, muslimin tak dibolehkan makan, minum, dan bersetubuh setelah shalat isya. Hingga kemudian seorang shahabat, atas takdir Allah, tertidur pulas saat waktu berbuka. Ia tak sempat makan dan minum padahal di siang hari ia bekerja sangat berat. Ketika terbangun, ia pun dilarang makan dan minum karena waktu berbuka telah lewat.

Keesokan harinya, sang shahabat pun pingsan karena tak kuat menjalankan ibadah puasa yang sangat berat itu. Dari situlah kemudian turun ayat penyempurna syariat ibadah Ramadan. “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah: 187).

Walhamdulillah, agama Islam adalah agama yang sempurna, penyempurna sekaligus penutup agama sebelumnya, penghapus syariat yang telah ada sebelumnya. Ibadah puasa yang disyariatkan untuk umat Rasulullah sangat sesuai dengan kekuatan tubuh manusia. Tidak terlalu berat, namun tidak pula terlalu ringan. Yakni hanya berpuasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Syariat ini akan terus berlaku hingga hari kiamat kelak.

Selain itu, ibadah puasa pun baru diperintahkan di tahun kedua setelah hijrah. Saat itu, muslimin telah kokoh keimanannya, telah terbiasa menjalankan ibadah shalat, terbiasa menghindari perkara yang diharamkan, dengannya telah matanglah persiapan ibadah yang terberat dibanding ibadah lain, yakni puasa.

Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma'aad menuturkan, “Tatkala menundukkan jiwa dari perkara yang disenangi termasuk perkara yang sulit dan berat, maka kewajiban puasa Ramadhan tertunda hingga setengah perjalanan Islam setelah hijrah. Ketika jiwa manusia sudah mapan dalam masalah tauhid, shalat, dan perintah-perintah dalam Al Qur’an, maka kewajiban puasa Ramadhan mulai diberlakukan secara bertahap. Kewajiban puasa Ramadhan jatuh pada tahun kedua hijriah. Ketika Rasulullah wafat, beliau sudah mengalami sembilan kali puasa Ramadhan.”

Masya Allah, bahkan timing perintah berpuasa pun sangat pas karenanya ibadah tersebut dapat dijalankan muslimin tanpa merasa beban dan berat. Dari perintah berpuasa saja, sudah nampak bagaimana kesempurnaan Allah dalam menyempurnakan agama-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta Alam.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |