Liputan6.com, Cilacap - Kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikulasikan sebagai kecaman atau tanggapan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan lain sebagainya. Kritik juga dapat menyasar kepada perilaku atau hal lain yang ada dalam diri seseorang.
Namun, tidak semua orang tentunya merasa nyaman jika menerima kritik, terlebih kritik yang pedas dan tajam. Kebanyakan akan merasa tersinggung dan berusaha mengelak dari hal tersebut.
Dalam kaitannya dengan kritik, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengatakan bahwa seseorang tidak boleh tersinggung jika mendapatkan kritik. Sebaliknya ia harus merasa senang sebab aib atau kekurangan diri kita pada akhirnya menjadi tahu.
“Orang itu kalau dikritik itu harus senang, karena aib kamu dibuka dan kamu menjadi tahu,” terangnya dikutip dari tayangan YouTube Short @MailBarid, Kamis (30/01/2025).
Simak Video Pilihan Ini:
Video Viral Camat di Cilacap Dapat Inventaris Pesawat, Begini Faktanya
Kritik Itu Memberi Tahu Sesuatu yang Berbahaya
Gus Baha lantas memberikan analogi sederhana yang sangat logis terkait pendapatnya mengenai kritik yang seharusnya ditanggapi dengan suka cita, bukan dengan kemarahan.
Menurut Gus Baha, kritik itu seperti seseorang memberitahu kepada kita kalau di baju kita terdapat hewan berbahaya dan berbisa yang akhirnya dapat merugikan kita sendiri.
Beliau mencontohkan jika di tubuh kita terdapat hewan kalajengking atau ular berbisa, tentu kita akan sangat berterima kasih.
Demikian halnya dengan kritik di mana orang lain itu sedang memberitahu sesuatu yang berbahaya yang ada dalam diri kita.
“Law akhbaraka mukhdirun bi anna fii jubbatika akraban aw hayyatan, akunta tasykuruh, Kalau ada orang memberitahu saya, Baha di baju kamu kalajengking atau ular berbisa, kira-kira saya terima kasih atau tidak? Harusnya terima kasih,” paparnya.
“Karena itu bahaya sekali kalau ada di tubuh saya,” sambungnya.
“Harusnya ketika orang dikritik dengan kesalahan yang nyata, bukan fitnah, kesalahan yang nyata. Kesalahan anda itu bahaya sekali di dunia dan akhirat, sekarang kamu menjadi tahu karena dikasih tahu, harusnya terima kasih kepada orang yang memberi tahu,” tandasnya.
Etika Kritik dalam Islam
Mengutip NU Online, lahirnya kritik-kritik dalam setiap kebijakan di ruang publik merupakan sebuah kewajaran, terlebih di negara yang menganut asas demokrasi. Namun yang perlu di garis bawahi adalah dalam menyampaikan kritik tentunya harus disertai dengan cara-cara yang baik. Sebelum mengkritik terdapat beberapa etika yang harus diperhatikan yakni:
Pertama, kritik yang disampaikan bertujuan untuk menasehati dan saling mengingatkan, yang semata-mata untuk mencari kebenaran. Allah SWT berfirman:
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰكُمْ عَنْهُۗ اِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ
Artinya: “Dia (Syuʻaib) berkata, “Wahai kaumku, jelaskan pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahiku rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya). Aku (sebenarnya) tidak ingin berbeda sikap denganmu (lalu melakukan) apa yang aku sendiri larang. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan sesuai dengan kesanggupanku. Tidak ada kemampuan bagiku (untuk mendatangkan perbaikan) melainkan dengan (pertolongan) Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.” (QS. Al-Hud: 88)
Maka dari itu seseorang yang akan mengkritik hendaknya dapat melepaskan diri dari berbagai kepentingan, sebab jika terdapat tujuan-tujuan tertentu akan sulit menjaga objektivitas, dan tidak dapat berfikir dengan jernih.
Kedua, kritik harus disampaikan dengan cara yang sopan, penuh hikmah, dan prasangka yang baik. Agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pihak yang dikritik. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali 'Imran: 159)
Lebih-lebih yang kita nasihati adalah seorang pemimpin, yang secara hirarki sosial lebih tinggi daripada kita. Maka dari itu kita menyampaikan kritiknya harus dengan bahasa yang sopan dan cara yang baik.
Ketiga, jangan sampai memiliki prasangka buruk terhadap seseorang yang akan kita kritik, tidak mencaci-maki, tidak menghina, dan tidak merendahkan orang lain. Terlebih yang akan kita kritik adalah seorang pemimpin. Sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya:
عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ «مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».
Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Bakrah ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memuliakan pemimpin di dunia, maka Allah akan memuliakan nya di akhirat. Namun barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat." (HR. Al-Turmidzi No. 2224)
Sedangkan hadits yang secara eksplisit melarang seorang muslim untuk menghina kepada pemimpinnya, dapat tergambarkan dalam sabda Nabi berikut,
«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».
Artinya: "Barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat.” (HR. Al-Turmidzi No. 2224)
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul