Liputan6.com, Jakarta - Menikah merupakan ikatan suci yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia serta senantiasa beribadah kepada Allah. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 72:
“Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak dan cucu-cucu, serta menganugerahi kamu rezeki yang baik-baik.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa menikah merupakan bagian dari fitrah manusia. Bukan hanya perkara salah satu sunnah Nabi, namun menikah juga mengandung manfaat serta keberkahan di dalamnya.
Namun, fenomena saat ini menunjukkan bahwa banyak perempuan, khususnya, yang memutuskan untuk tidak menikah dengan berbagai alasan. Seperti takut salah memilih pasangan atau kondisi ekonomi yang mengharuskannya bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk mencari pasangan.
Lantas, bagaimana Islam dalam menyikapi hal ini? Apakah seorang perempuan boleh memilih untuk tetap melajang seumur hidup?
Untuk menjawabnya, mari kita simak penjelasan para ulama berikut yang dirangkum dalam laman konsultasisyariah.com.
Saksikan Video Pilihan ini:
Menyusuri Curug Bandung, Air terjun Kembar Legendaris di Cilacap Barat
Pandangan Para Ulama
Dalam kitab al-Muhalla karya Ibnu Hazm menyatakan bahwa menikah hukumnya wajib bagi para pemuda. Namun, beliau menyatakan pengecualian kepada perempuan.
Kitab tersebut menegaskan bahwa perempuan tidak wajib untuk menikah. Alasan Ibnu Hazm menyatakan demikian adalah merujuk kepada firman Allah dan hadis Rasulullah SAW.
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ
Artinya: “Dan para perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian luar mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan aurat, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nur: 60)
FIrman Allah SWT diikuti oleh hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani yang berbunyi:
وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهَادَةٌ
Artinya: “Perempuan yang mati dalam keadaan jum’in (kondisi masih gadis), termasuk mati syahid.”
Tidak Ada Paksaan untuk Menikah
Tidak hanya Ibnu Hazm, Syaikh Mustofa al-Adawi sebagai seorang ulama ahli hadis dari Mesir juga menyetujui hal tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Jami’ Ahkam an-Nisa, Syaikh Mustofa menegaskan,
“Tidak wajib bagi wanita untuk menikah, karena saya tidak menjumpai adanya dalil tegas yang menunjukkan kesimpulan wajibnya menikah bagi mereka.” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 5/287)
Lebih lanjut, Syaikh Mustofa juga merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri RA yang menceritakan tentang seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW bersama putrinya.
Sahabat tersebut mengatakan kepada Rasulullah bahwa putrinya menolak untuk menikah. Pada saat itu, Rasulullah memberi nasihat kepada putri sang sahabat, “taati bapakmu.”
Mendengar hal tersebut, putri sahabat tersebut bertanya, “Demi Dzat yang mengutus Engkau dengan membawa kebenaran, aku tidak akan menikah sebelum Engkau sampaikan kepadaku, apa hak suami yang menjadi kewajiban istrinya?”
Menjawab pertanyaan tersebut, Rasulullah berkata,
“Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya, bahwa andaikan ada luka di badan suami, kemudian dia jilati luka itu, dia belum memenuhi seluruh haknya.”
Mendengar hal tersebut, putri dari sahabat itu pun kembali menjawab,
“Demi Dzat yang mengutus Engkau dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.”
Setelah itu, Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Janganlah kalian menikahkan putri kalian, kecuali dengan izin mereka.” (HR. Ibnu Hibban 4164, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 17122, al-Hakim dalam Mustadrak 2767, ad-Darimi dalam Sunannya 3571. Hadis ini dinilai hasan Syuaib al-Arnauth)
Dari hadis Rasulullah SAW tersebut, dapat dilihat bahwa tidak ada paksaan bagi perempuan untuk menikah dan hal tersebut tidaklah bertentangan dengan syariat islam. Adapun ketika seorang perempuan menegaskan untuk tidak menikah, janganlah orang disekitarnya untuk memaksanya.
Boleh bukan Berarti Dianjurkan
Secara umum, menikah jauh lebih baik daripada melajang. Terdapat banyak manfaat dan kebaikan saat seseorang menikah, baik di dunia maupun akhirat.
Seperti halnya firman Allah SWT yang menunjukkan ciri dari manusia-manusia pilihan Allah SWT (Rasul) yang memiliki istri dan keluarga.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
Artinya: “Sungguh Aku telah mengutus banyak rasul sebelum kamu, dan Aku jadikan untuk mereka, istri dan keluarga.” (QS. Ar-Ra’du: 38)
Sebagai manusia biasa, kita hendaknya meneladani salah satu perilaku Rasul sebelumnya. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa menikah adalah setengah penyempurnaan agama.
Membangun rumahtangga memang bukanlah hal yang mudah. Karena itu, pernikahan disebut sebagai ibadah terpanjang yang di dalamnya harus senantiasa dekat kepada Allah dan saling memahami satu sama lain sebagai pasangan maupun kelak dengan keturunan.
Bagi seorang istri yang dapat bersabar dan bersyukur atas ibadah pernikahan akan mendapatkan pahala besar. Misalnya repotnya istri dalam melayani suami, mengandung, melahirkan, bahkan hingga mengurus anak dan banyak hal lainnya yang dapat dijadikan sebagai sumber pahala bagi seorang muslimah.
Memutuskan untuk tidak menikah bukanlah hal yang sepenuhnya salah dan dihukumi haram. Terkadang, dengan mempertimbangkan beberapa kondisi, perempuan memutuskan untuk tidak menjalin hubungan.
Jika seorang perempuan yakin bahwa dengan tidak menikah ia akan aman dari perkara haram dan fitnah, menurut ulama sah-sah saja untuk melajang. Namun, yang menjadi fokus pada hal ini adalah perempuan tidak boleh menolak untuk menikah dikarenakan membenci pernikahan itu sendiri. Karena, ketika seseorang telah membencinya, berarti ia juga membenci sunnah Nabi. Dan kelak pada hari akhir, ia bukanlah termasuk ke dalam golongan Nabi Muhammad SAW.