Liputan6.com, Jakarta Setiap tahun menjelang Idul Adha, pertanyaan daging kurban apakah boleh dijual selalu menjadi topik hangat di kalangan umat Islam. Banyak orang yang masih bingung dan ragu-ragu mengenai hukum memperjualbelikan daging kurban, terutama ketika memiliki stok daging yang cukup banyak. Padahal, pemahaman yang tepat mengenai masalah ini sangat penting untuk menjaga kesempurnaan ibadah kurban yang telah dilaksanakan.
Permasalahan daging kurban apakah boleh dijual sebenarnya telah dibahas secara detail dalam hadits-hadits Rasulullah SAW dan pendapat para ulama. Sayangnya, masih banyak umat Islam yang belum memahami perbedaan hukum antara penjualan daging kurban oleh orang yang berkurban dengan penjualan oleh penerima daging kurban. Ketidakpahaman ini bisa berakibat fatal karena dapat membatalkan pahala ibadah kurban yang telah dilakukan.
Kami akan menjelaskan secara detail perbedaan hukum untuk berbagai situasi, termasuk konsekuensi bagi mereka yang sudah terlanjur melakukannya. Dengan memahami daging kurban apakah boleh dijual ini, diharapkan umat Islam dapat melaksanakan ibadah kurban dengan sempurna sesuai tuntunan syariat.
Berikut ini telah Liputan6.com rangkum, penjelasan mengenai daging kurban apakah boleh dijual berdasarkan dalil-dalil Al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama terpercaya, pada Rabu (28/5)
Tradisi Muslim di Indonesia berbagi daging qurban kepada yang membutuhkan. Hewan kurban disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah
Hukum Dasar Menjual Daging Kurban oleh Pekurban
Hukum menjual daging kurban oleh orang yang berkurban (shohibul kurban) adalah haram secara tegas menurut syariat Islam. Larangan ini bukan hanya berlaku untuk daging, tetapi juga seluruh bagian hewan kurban termasuk kulit, tulang, rambut, dan bagian-bagian lainnya. Para ulama sepakat bahwa memperjualbelikan bagian hewan kurban oleh pekurban adalah perbuatan yang dilarang keras.
Larangan ini berdasarkan pada makna kurban itu sendiri yang merupakan persembahan khusus kepada Allah SWT. Ketika seseorang menyembelih hewan kurban, maka seluruh bagian hewan tersebut telah menjadi milik Allah yang harus didistribusikan sesuai ketentuan syariat. Imam Ahmad pernah terperanjat ketika ditanya tentang orang yang menjual daging kurban, seraya berkata: "Subhanallah, bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan untuk Allah tabaraka wa taala."
Rasulullah SAW memberikan peringatan keras bagi mereka yang menjual kulit hewan kurbannya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, beliau bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ
Artinya: "Barang siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya."
Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya larangan menjual bagian hewan kurban. Ancaman bahwa kurban menjadi tidak bernilai menunjukkan bahwa perbuatan ini dapat membatalkan seluruh pahala ibadah kurban yang telah dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang yang berkurban harus benar-benar menjaga agar tidak memperjualbelikan bagian apapun dari hewan kurbannya.
Dalil Larangan Memberikan Upah dengan Daging Kurban
Selain larangan menjual daging kurban, Islam juga melarang penggunaan daging kurban sebagai upah untuk tukang jagal atau siapapun yang membantu dalam proses penyembelihan. Aturan ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, di mana Rasulullah SAW secara tegas melarang memberikan bagian hewan kurban sebagai upah.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkannya untuk mengurusi penyembelihan unta kurban. Dalam hadits tersebut, beliau bersabda:
أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه و سلم أَمَرَهُ أَنْ يَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ، وَ أَنْ يَفْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا حُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلَالَهَا، وَ لَا يُعْطِيَ فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا
Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta kurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal."
Larangan ini berlaku mutlak, baik tukang jagal tersebut termasuk orang yang berhak menerima kurban maupun tidak. Jika tukang jagal memang berhak menerima kurban karena termasuk fakir miskin, maka ia boleh menerima bagian kurban tersebut sebagai sedekah, bukan sebagai upah. Perbedaan niat ini sangat penting dalam syariat Islam.
Jika pekurban memerlukan bantuan untuk menyembelih hewannya dan ingin memberikan upah, maka upah tersebut harus berupa uang atau barang lain yang bukan berasal dari hewan kurban. Hal ini untuk menjaga kemurnian ibadah kurban dan memastikan bahwa seluruh bagian hewan kurban didistribusikan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Hukum Penjualan Daging Kurban oleh Penerima
Berbeda dengan hukum untuk pekurban, orang yang menerima daging kurban diperbolehkan untuk menjualnya. Hukum ini berlaku karena daging kurban yang telah diberikan kepada penerima telah menjadi hak milik penuh mereka. Status kepemilikan ini memberikan kebebasan kepada penerima untuk memanfaatkan daging kurban tersebut sesuai kebutuhan, termasuk menjualnya jika diperlukan.
Al-Lajnah ad-Da'imah, lembaga riset dan fatwa Arab Saudi, dalam fatwanya menjelaskan perbedaan hukum ini dengan jelas:
إِذَا أُعْطِيَ جِلْدُ الْأُضْحِيَّةِ لِلْفَقِيرِ، أَوْ وَكِيلِهِ فَلَا مَانِعَ مِنْ بَيْعِهِ وَانْتِفَاعِ الْفَقِيرِ بِثَمَنِهِ، وَإِنَّمَا الَّذِي يُمْنَعُ مِنْ بَيْعِهِ هُوَ الْمُضَحِي فَقَطْ
Artinya: "Apabila kulit hewan kurban diberikan kepada orang miskin atau wakilnya, maka tidak masalah bila ia menjualnya dan memanfaatkan hasil penjualan kulit tersebut. Yang terlarang untuk menjual kulit hewan kurban ialah pihak yang berkurban saja."
Dr. Irham Zaki, dosen ekonomi Islam FEB UNAIR, juga menegaskan bahwa penerima daging kurban memiliki fleksibilitas dalam memanfaatkannya. Menurutnya, jika penjualan daging kurban dapat mendatangkan manfaat lebih besar untuk kebutuhan lain yang mendesak, maka hal tersebut diperbolehkan.
Kebolehan ini juga berlaku untuk mengolah daging kurban menjadi produk makanan jadi seperti bakso, rendang, atau makanan olahan lainnya untuk dijual. Penerima kurban bebas berkreasi dan mengembangkan usaha dari daging kurban yang diterimanya, selama dilakukan dengan niat baik dan tidak melanggar ketentuan syariat lainnya.
Hukum menjual daging kurban apakah boleh dijual bergantung pada beberapa faktor, terutama status ekonomi penerima daging kurban dan adanya kondisi darurat. Secara umum, menjual daging kurban oleh pekurban sendiri dilarang, sementara bagi penerima kurban, diperbolehkan hanya dalam kondisi fakir miskin atau darurat untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Sebaiknya, daging kurban dimanfaatkan sebaik mungkin untuk dikonsumsi sendiri, dibagikan kepada fakir miskin, atau disedekahkan. Konsultasi dengan ulama atau tokoh agama terpercaya sangat dianjurkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan sesuai dengan konteks masing-masing individu.
Konsekuensi dan Solusi Jika Sudah Terlanjur Menjual
Bagi mereka yang sudah terlanjur menjual daging atau bagian hewan kurban, Islam memberikan solusi untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memberikan panduan jelas mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Menurut fatwa MUI, jika pekurban atau wakilnya sudah terlanjur menjual daging, kulit, atau bagian lain dari hewan kurban, maka hasil penjualan tersebut harus disedekahkan kepada fakir miskin setempat. Uang hasil penjualan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga pekurban, melainkan harus didistribusikan sebagai sedekah.
Fatwa MUI menegaskan dua poin penting: pertama, orang yang berkurban atau wakilnya haram menjual dan menjadikan upah kulit, daging, dan bagian lainnya dari hewan kurban. Kedua, jika sudah terlanjur menjual, maka hasil penjualan harus diberikan kepada fakir miskin sebagai sedekah untuk menebus kesalahan yang telah dilakukan.
Langkah penebusan ini menunjukkan bahwa Islam selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesalahan yang dilakukan manusia. Yang terpenting adalah adanya kesadaran untuk memperbaiki kesalahan dan komitmen untuk tidak mengulanginya di masa depan. Dengan melakukan sedekah hasil penjualan, diharapkan kesalahan tersebut dapat diampuni dan ibadah kurban tetap mendapat berkah dari Allah SWT.