Fakta di Balik Aqiqah, Warisan Jahiliyah yang Diubah jadi Ibadah dengan Tuntunan Nabi SAW

14 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Tradisi aqiqah sering kali dianggap murni berasal dari ajaran Islam, padahal jika ditelusuri lebih dalam, praktik ini memiliki akar yang lebih tua dari masa kenabian. Aqiqah memiliki sejarah panjang yang mengalami penyempurnaan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Pendakwah muda Ustadz Adi Hidayat atau yang akrab disapa UAH menyampaikan bahwa aqiqah sejatinya sudah dikenal sejak zaman jahiliyah. Hanya saja, bentuk dan tujuannya saat itu sangat berbeda dari apa yang diajarkan dalam Islam sekarang.

Menurut penjelasan UAH, di masa sebelum Islam, ketika seorang anak lahir, masyarakat Arab jahiliyah menyembelih hewan sebagai bentuk perayaan. Namun, darah dari sembelihan itu tidak ditumpahkan, melainkan dioleskan ke tubuh bayi sebagai simbol tertentu.

Kebiasaan semacam ini kemudian dikoreksi oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Tradisi lama itu tidak dihapus total, tetapi diarahkan menjadi ibadah yang bernilai syariat dan penuh makna spiritual.

Aqiqah pun ditetapkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran anak. Prosesnya dilakukan dengan menyembelih hewan, memberi nama, dan mencukur rambut bayi, sesuai tuntunan Rasulullah.

Dilansir Sabtu (03/05/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @setitikcahaya22, UAH menjelaskan bahwa praktik aqiqah saat ini telah jauh berbeda dari praktik jahiliyah yang keliru secara aqidah.

Dalam Islam, aqiqah dilakukan minimal pada hari ketujuh setelah kelahiran anak. Saat itu, rambut bayi dicukur, diberi nama, dan disembelih hewan sembelihan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT.

Simak Video Pilihan Ini:

KOCAK!! Barisan Pramuka Anak SD Bubar Cerai Berai Gara-gara Serbuan Domba

Jumlah Hewan yang Disembelih

UAH menjelaskan bahwa untuk anak laki-laki disunnahkan menyembelih dua ekor kambing, sementara untuk perempuan cukup satu ekor. Ini bukan semata tradisi, tetapi bentuk penghambaan kepada Sang Pencipta.

Yang membedakan paling mendasar antara praktik jahiliyah dan syariat Islam dalam hal aqiqah adalah pada makna dan pelaksanaannya. Islam menolak unsur-unsur syirik dan menggantinya dengan makna ibadah.

Darah dari hewan sembelihan dalam aqiqah tidak lagi dioleskan ke bayi, tetapi justru ditumpahkan di tempat penyembelihan sesuai syariat. Setelah itu, dagingnya dibagikan kepada masyarakat.

Pembagian daging aqiqah mencerminkan semangat berbagi dan kepedulian sosial. Aqiqah bukan hanya tentang keluarga si bayi, tetapi juga bentuk kontribusi kepada lingkungan sekitar.

Ustadz Adi Hidayat menekankan pentingnya memahami aqiqah bukan sekadar ritual budaya, melainkan bagian dari ibadah yang memiliki dasar dari sunnah Nabi Muhammad.

Dengan begitu, umat Islam tidak hanya sekadar menjalankan kebiasaan turun-temurun, tetapi benar-benar melaksanakan perintah agama yang dilandasi ilmu dan pemahaman yang benar.

UAH juga mengingatkan agar dalam proses aqiqah tidak ada unsur pamer atau berlebihan. Sifat riya dan membanggakan diri harus dihindari karena dapat merusak keikhlasan dalam beribadah.

Rasa Syukur dan Sedekah

Pelaksanaan aqiqah hendaknya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Jika tidak mampu menyembelih kambing, tidak ada dosa, karena aqiqah adalah sunnah muakkadah, bukan kewajiban.

Rasa syukur dapat tetap diwujudkan dengan cara lain, seperti bersedekah atau menyelenggarakan doa bersama. Namun jika mampu, pelaksanaan aqiqah sangat dianjurkan.

UAH juga menyinggung bahwa nama yang diberikan kepada bayi saat aqiqah sebaiknya memiliki makna baik. Nama adalah doa dan identitas, yang akan melekat seumur hidup.

Karena itu, dalam proses aqiqah tidak hanya fisik yang disentuh, tetapi juga nilai spiritual dan moral yang ditanamkan sejak dini kepada anak yang baru lahir.

Dari pemaparan ini, terlihat bahwa aqiqah bukan sekadar tradisi, melainkan peralihan dari warisan jahiliyah menuju ibadah yang bernilai tauhid dan kepedulian sosial.

Dengan memahami esensi aqiqah secara utuh, umat Islam diharapkan dapat menjalankannya dengan niat yang benar dan tata cara yang sesuai dengan sunnah Rasulullah.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |