Film Jumbo Dituding Tak Ramah Akidah, Fantasi Anak atau Pelanggaran Prinsip Agama?

5 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa waktu terakhir, film animasi Jumbo menjadi ramai diperbincangan oleh warganet. Tidak hanya karena pesonanya sebagai film anak yang menyentuh, tetapi juga karena kontroversi yang muncul seiring dengan kemunculannya.

Di tengah popularitasnya, film ini dituding oleh beberapa kalangan sebagai karya yang tidak ramah akidah dan bahkan dianggap melanggar prinsip-prinsip agama.

Sebagai sebuah karya yang dirancang untuk anak-anak, film ini memicu perdebatan tentang apakah cerita fantasi yang disuguhkan dapat membentuk nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran agama atau justru memberikan pengaruh yang berbahaya.

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa film Jumbo hanyalah sebuah karya seni yang tidak dimaksudkan untuk menyentuh ranah agama secara langsung. 

Lantas, benarkah film Jumbo berisiko mengaburkan pandangan anak-anak tentang hal-hal yang bersifat gaib? Atau melainkan hanya sebagai bentuk hiburan semata?

Berikut ulasan lengkapnya merangkum dari laman islami.co, Sabtu (19/4/2025).

Saksikan Video Pilihan ini:

Menjelajah Eksotisnya Wisata Pegunungan Palujantung Cilacap

Islamis dan Budaya Pop

Sebagaimana sudah banyak diketahui, interaksi antara budaya pop dengan kalangan Islamis tidak selalu paralel. Ada banyak budaya pop, keseruan, dan kehidupan modern yang dilarang, terlebih jika berurusan dengan persoalan akidah. Jadi, ada urusan kesenangan dan budaya pop yang dilarang karena dianggap bertolakbelakang dengan urusan ajaran agama.

Kartun atau menggambar bentuk makhluk hidup adalah hal tabu di kalangan Islamis. Buktinya, sebagian besar produk kartun berwujud makhluk hidup tidak dibuat tidak sempurna. Pelarangan tersebut disandarkan pada beberapa hadis Nabi Muhammad SAW, di mana pembuat gambar yang mendapat azab terberat di hari Kiamat (HR. Bukhari-Muslim), dan larangan malaikat masuk ke rumah berisi gambar (HR. Bukhari).

Model keberagamaan kelompok literalis tentu menjadikan hadis Nabi Muhammad SAW di atas sebagai larangan mutlak, khususnya untuk gambar manusia dan hewan yang bernyawa. Meskipun, beberapa ulama, seperti Yusuf Qaradawi, memberikan penafsiran lebih kontekstual dengan membedakan tujuan pembuatan gambar, sebagai seni/hiasan (yang diharamkan) dengan gambar untuk keperluan edukasi atau media (yang diperbolehkan dengan ketentuan tertentu).

Walhasil, sebagian kelompok Islamis literalis memandang film kartun, bahkan film biasa, berstatus haram. Penolakan rigid memang banyak ditawar-tawar oleh generasi hari ini. Sebab, dinamika kehidupan modern tentu “menggoda” mereka untuk menawar-nawar batasan tersebut. Irisan kehidupan modern yang cair dan akses atas teknologi ilustrasi pun menjadi dalih mereka.

Kita, hari ini, mudah mendapati beragam produk dakwah kalangan Islamis literalis nan populis menggunakan animasi, walaupun mereka juga memberikan batasan penggunaannya dengan hasil karikatur yang tidak sempurna. Sebagian besar mata atau bagian wajah yang dihilangkan, untuk tetap bisa digunakan. Hal ini, bagi mereka, diperbolehkan karena tidak menggambar secara utuh makhluk hidup.

Di sisi lain, terdapat perbedaan pandangan di kalangan kelompok Islamis mengenai konsumsi film kartun. Sebagian pihak melarangnya, sementara yang lain memperbolehkan dengan pertimbangan tertentu. Kemungkinan sang ibu tersebut beserta keluarganya menonton film kartun Jumbo karena mengikuti pandangan yang membolehkan tayangan tersebut.

Selain itu, ada narasi atau produk budaya pop dilarang karena ajaran agama. Menariknya, pilem Jumbo malah “tersandung” di soalan ini. Kok bisa? Eksistensi sosok hantu di film Jumbo disebut melanggar akidah, dan menebar kemusyrikan. Permasalahan ini tidak mengejutkan, karna pandangan akidah mereka yang literal. Bagi mereka, hantu itu merupakan kepercayaan yang tidak bisa ditolerir sama sekali karna merupakan bagian dari urusan keyakinan pada hal gaib.

Apakah Film Jumbo Mengancam Akidah?

Kala konten “Hantu dan Akidah” ini menyeruak, pikiran kita juga tidak langsung teringat pada film kartun serial populer sekitar 1990-an, yakni “Casper.” Walaupun film ini tidak lagi ditayangkan, apalagi dibicarakan, Casper menghadirkan diskusi soal hantu “baik.” Apakah ini senada dengan apa yang diekspresikan di Jumbo? 

Dalam kajian sosial, gagasan hantu diantaranya dipahami sebagai makhluk “yang tak terlihat tapi terasa.” Konsep ini jelas membuat pandangan kaku tentang ada dan tiada, atau dengan kata lain eksistensi menjadi layak dibicarakan atau didiskusikan ulang. Posisi hantu yang tidak hidup tapi juga tidak benar-benar mati menciptakan keadaan antara yang misterius.

Dalam film Casper, justru karena wujud hantu yang tembus pandang, perasaan sedih dan kesepiannya malah terasa lebih nyata bagi penonton, meskipun secara fisik dia tidak bisa dipegang. Imajinasi ini jelas dirasakan, atau paling tidak diharapkan bisa diserap para penonton. Jumbo menghadirkan narasi dan model eksistensi hantu yang sama.

Diskursus di atas jelas mengungkap bagaimana budaya pop melihat kematian, bukan sebagai titik akhir, tapi sebagai sesuatu yang terus berlanjut. Karakter Casper dan Meri yang “tak terlihat tapi terasa” ini mewakili kenangan masa kecil atau luka batin yang terus ada. Rekaman ini tentu bisa menjadi sisi menyentuh empati dan rasa kemanusiaan para penonton.

Secara konseptual, penggambaran hantu yang terhumanisasi dalam film-film tersebut mengaburkan batas realitas dan imajinasi, sekaligus menawarkan perspektif baru dalam memaknai rasa kehilangan melalui narasi fantasi yang emosional. Fenomena ini sejalan dengan pola konsumsi masyarakat kontemporer yang lebih didominasi oleh pertimbangan afektif ketimbang rasional.

Film Jumbo menghadirkan pola serupa dengan Casper. Relasi antara Don (protagonis) dan Meri sebagai figur hantu anak yang berperan sebagai “teman magis” bukan figur horor—menjadi inti cerita. Meri membantu Don mengklaim kembali buku dongeng warisan keluarganya, sementara subplot mengisahkan upayanya menyelamatkan orang tua dari antagonis tak dikenal. Kemampuan supernaturalnya (transparansi, teleportasi) dikemas dalam kerangka fantasi murni.

Pertanyaannya, apakah Jumbo melakukan vandalisme atau perusakan akidah? Dalam hal ini penulis cenderung memandang Meri sebagai produk komodifikasi budaya—seperti Casper—bukan ancaman akidah. Namun, suara kelompok literalis akan lebih terdengar karena kapasitas mereka dalam penguasaan teknologi digital dan posisi sebagai kelas menengah yang vokal.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |