Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Idul Adha, umat Islam ramai membicarakan tentang hukum menyembelih hewan qurban. Banyak yang masih belum memahami kedudukannya dalam syariat Islam, apakah wajib atau hanya sunnah.
Persoalan ini memang penting untuk dipahami secara tuntas. Apalagi bagi umat yang telah memiliki kemampuan harta, namun masih ragu untuk berqurban setiap tahunnya.
Dalam pandangan fikih, para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam menentukan hukum qurban. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali menyatakan bahwa qurban adalah sunnah muakkadah, yakni sunnah yang sangat dianjurkan.
Sementara itu, menurut dai kondang Pengasuh LPD Al Bahjah Cirebon, KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya, terdapat pula pendapat dari mazhab Hanafi yang memandang bahwa menyembelih hewan qurban adalah wajib bagi yang mampu.
Pendapat Imam Abu Hanifah itu merujuk pada kemampuan seseorang. Artinya, jika seseorang memenuhi syarat mampu secara finansial, maka qurban menjadi kewajiban baginya, bukan sekadar anjuran.
Buya Yahya menyampaikan hal ini dalam sebuah ceramahnya yang dikutip Jumat (26/04/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @RadioQuBogor.
Dalam ceramah tersebut, Buya Yahya menegaskan bahwa pemahaman soal hukum qurban harus jelas dan tidak setengah-setengah. Terutama bagi umat yang dikaruniai kelapangan rezeki oleh Allah SWT.
Simak Video Pilihan Ini:
Tukang Bakso Hantam Stunting, Bagi-bagi Bakso Ikan untuk Balita di Posyandu
Disayangkan, Mampu tapi Tidak Mau Qurban
Ia menjelaskan bahwa dalam mazhab Syafi’i, qurban merupakan sunnah ‘ainiyyah, yakni disunnahkan secara individual. Artinya, setiap individu yang telah mampu, baik laki-laki maupun perempuan, dianjurkan menyembelih hewan qurban atas nama dirinya sendiri.
“Kalau satu keluarga ada enam anak, ditambah suami istri, berarti delapan orang. Maka idealnya delapan orang juga berqurban,” ujar Buya Yahya.
Namun banyak umat yang langsung merasa berat mendengar jumlah tersebut. Menurut Buya Yahya, rasa berat itu sering muncul bukan karena keterbatasan dana, tapi karena kurangnya niat dan pemahaman.
“Jangan bilang berat. Wong kamu banyak duit kok. Tapi kalau memang enggak punya duit, ya jangan delapan dong,” tambahnya sambil berseloroh.
Ia mencontohkan, ketika seseorang benar-benar berniat untuk berqurban, maka Allah akan memberikan jalan. Sebaliknya, jika belum terlintas niat, maka qurban akan selalu terasa sebagai beban.
Buya Yahya menyayangkan sikap sebagian orang yang merasa keberatan untuk berqurban padahal secara finansial mampu. Baginya, ini adalah tanda pelit yang secara tidak langsung sudah tampak.
“Ditawari jadi orang kaya enggak mau tuh delapan kambing. Ini tanda-tanda pelitnya kelihatan,” kata Buya Yahya disambut tawa hadirin.
Allah akan Memudahkan Jalannya
Ia mengajak umat untuk tidak langsung berpikir soal jumlah hewan yang dikorbankan, tapi menanamkan niat terlebih dahulu. Karena dari niat itulah kemudian datang kemampuan dan kelapangan dari Allah.
“Kalau punya duit ya siap qurban. Kalau belum punya, ya minta pada Allah. Yang penting punya niat dulu,” tegasnya.
Pemahaman yang tepat soal qurban akan memudahkan umat dalam melaksanakan ibadah ini. Banyak orang yang keliru karena langsung memikirkan teknis, bukan niat awal.
Buya Yahya juga mengingatkan bahwa berqurban bukan hanya soal menyembelih hewan, tapi juga bentuk syukur dan cinta kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diberikan.
Ia menekankan bahwa ketika niat dan tekad sudah ada, maka Allah akan memudahkan jalannya. Tidak ada yang berat jika Allah telah memberikan kelapangan.
“Kalau sudah dikasih duit sama Allah, mah enteng,” ucapnya menutup penjelasan dengan penuh keyakinan.
Dengan memahami kedudukan hukum qurban secara utuh, umat Islam diharapkan bisa lebih antusias dan tidak ragu menjalankan ibadah ini setiap tahun.
Buya Yahya juga mengajak para dai untuk terus menyampaikan pemahaman yang benar tentang qurban, agar masyarakat tidak salah kaprah dalam menilai kewajiban ini.
Akhirnya, semangat berqurban bukan sekadar soal kemampuan harta, tetapi juga niat suci untuk berbagi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul