Terlena hingga Tertunda Bayar Dam karena Sakit saat Umrah, Bagaimana Selesaikannya?

3 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Banyak jamaah umrah menghadapi kondisi yang tidak terduga saat menjalankan rangkaian ibadah. Salah satu yang kerap menjadi pertanyaan adalah tentang hukum membayar dam jika thawaf tidak selesai karena sakit.

Masalah ini disampaikan dalam sebuah majelis di Al Bahjah oleh seorang jamaah yang menceritakan kasus umrah lima tahun silam. Saat itu, pelaksanaan thawaf sempat terhenti karena sakit yang berat, dan sampai kini ia belum membayar dam.

Pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya memberikan penjelasan rinci. Dikutip Jumat (01/05/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @albahjah-tv, Buya menyatakan bahwa kasus seperti itu harus dilihat dengan rinci.

Menurut penjelasan Buya Yahya, seseorang yang tidak menyelesaikan thawaf tidak serta-merta langsung terkena kewajiban membayar dam. Hal yang lebih utama adalah memastikan apakah orang itu telah melakukan tahallul atau belum.

“Kalau tidak menyelesaikan thawaf, maka Anda belum menyelesaikan umrah. Itu bukan langsung urusan dam. Harus ada proses tahallul lebih dulu,” ujar Buya Yahya.

Buya menjelaskan bahwa dalam kondisi seseorang tidak mampu melanjutkan ibadah karena terhalang penyakit, ia dianggap dalam keadaan seperti mukhshar, yakni orang yang terhalang menyempurnakan ibadah karena kondisi di luar kendalinya.

Dalam situasi itu, jamaah harus segera melakukan tahallul, meski belum menyelesaikan thawaf, karena ia sudah tidak mampu lagi menyelesaikan ibadahnya. Proses tahallul ini menjadi titik penting dalam kasus tertundanya pelaksanaan ibadah.

Simak Video Pilihan Ini:

Persib Bandung Jawara Liga 1, Ribuan Bobotoh Hangatkan Bandung

Sembelih Hewan Dam Baiknya di Mana?

Tahallul bisa dilakukan bahkan jika seseorang sudah berada di luar Makkah atau dalam perjalanan pulang, misalnya di bandara. Cukup dengan memotong rambut sebagai simbol pelepasan ihram.

Setelah tahallul dilakukan, maka sisa tanggung jawabnya adalah membayar dam sebagai bentuk penyempurnaan ibadah yang tidak tuntas karena udzur syar’i. Namun pelaksanaannya tetap harus mengikuti adab dan tempat yang sesuai.

Terkait tempat penyembelihan dam, Buya menjelaskan bahwa sebaiknya memang dilakukan di Tanah Haram. Namun apabila itu tidak memungkinkan, ada pendapat ulama yang memperbolehkan dam disalurkan di luar Mekah.

“Sebisa mungkin dibayarkan di sana. Tapi kalau memang sulit, maka sembelih saja di tempat kita dan berikan kepada fakir miskin yang ada di sini,” ujar Buya Yahya menanggapi pilihan tersebut.

Meski pendapat itu dianggap lemah oleh sebagian ulama, Buya menekankan bahwa manfaatnya tetap ada karena dagingnya disalurkan kepada yang membutuhkan. Apalagi jika akses ke Tanah Haram sudah sangat sulit atau tidak mungkin.

Dalam kasus ini, yang paling penting adalah kesadaran untuk melunasi tanggungan dam yang belum dilakukan sejak lima tahun lalu. Sebab utang ibadah semacam ini tetap harus diselesaikan.

“Jangan sampai menunda-nunda terus. Meskipun sudah lama, tetap harus dibayar karena itu bagian dari penyempurnaan ibadah,” tegas Buya Yahya.

Utang Ibadah Jangan Dianggap Remeh

Ia mengingatkan bahwa utang ibadah, termasuk dam, tidak bisa dianggap ringan. Perlu kesungguhan dan niat baik untuk menyelesaikannya sebelum datang ajal.

Buya juga menekankan agar umat Islam selalu mencari ilmu terkait pelaksanaan ibadah, agar tidak kebingungan saat menghadapi kondisi tak terduga dalam perjalanan ibadah haji maupun umrah.

Pengetahuan tentang hukum tahallul, dam, dan situasi-situasi darurat sangat penting untuk dipahami, terutama bagi mereka yang hendak berangkat ke Tanah Suci.

Dalam Islam, niat dan kemampuan adalah kunci. Jika memang sudah tidak mampu secara fisik melanjutkan, maka ada keringanan syariat yang diberikan, namun tetap harus diselesaikan tanggung jawab yang menyertainya.

Buya menyarankan agar siapa pun yang pernah mengalami hal serupa segera berdiskusi dengan ustaz atau ulama yang mengerti agar langkah pembayaran dam bisa dilakukan dengan tepat dan sah.

Ia juga mengajak jamaah untuk lebih terbuka dalam bertanya, karena setiap kasus bisa berbeda tergantung kondisi dan niat awal seseorang dalam beribadah.

Akhirnya, Buya Yahya menutup penjelasannya dengan ajakan agar setiap muslim menjaga niat ibadah karena Allah dan tidak lalai dalam menyelesaikan apa yang menjadi tanggungannya di hadapan-Nya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |