Anda Dianggap Tidak Haji walau Dihajikan Badal Anak Cucu setelah Meninggal jika Begini, Ulasan Gus Baha

4 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam dari seluruh dunia mulai berdatangan ke Tanah Suci menjelang pelaksanakaan haji 2025 ini. Dari Indonesia, lebih dari 200 ribu calon haji juga mulai diberangkatkan ke Arab Saudi.

Ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh umat Islam yang mampu. Namun dalam praktiknya, banyak orang justru menunda haji ini hingga akhir hayat. Bahkan, sebagian besar justru memilih dihajikan setelah meninggal dunia.

Dalam pandangan ulama alim alamah seperti Murid Syaikhona KH Maimoen Zubair dan KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, hal tersebut menjadi perbincangan penting yang harus dipahami dengan benar oleh umat Islam.

Menurut Gus Baha, ibadah haji yang dilakukan saat hidup memiliki nilai yang jauh lebih besar daripada sekadar dihajikan setelah wafat. Hal ini bukan hanya persoalan sah atau tidak sahnya ibadah, tetapi juga menyangkut peran dan kesadaran pelakunya.

Haji yang ditunaikan saat hidup memperlihatkan komitmen, pengorbanan, dan niat yang lahir dari diri sendiri. Sementara, haji setelah meninggal kerap kali dilakukan hanya demi formalitas atau sekadar menggenapi wasiat keluarga.

Dirangkum Liputan6.com, Minggu (04/05/2025) dari tayangan video dari YT Santri Gus, Gus Baha menjelaskan pentingnya keputusan pribadi dalam menunaikan ibadah haji semasa hidup.

Ia menegaskan, “Nek sampean kadung mati dan ketika hidup gak terbersit niat haji, Anda itu sebetulnya benar-benar mati tanpa haji meskipun anak cucu anda menghajikan Anda.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa niat dan keputusan dari diri sendiri menjadi unsur penting dalam ibadah ini.

Simak Video Pilihan Ini:

Modus Penipuan Bagi Untung Jual Beli HP, Pria Pemalang Ditangkap Polisi

Jika Haji Masih Hidup, Ada Andil dari yang Bersangkutan

Gus Baha juga menyoroti praktik penghajian pasca wafat yang hanya dijadikan sarana menghalalkan tirkah (warisan). Padahal, orang yang sudah meninggal tanpa niat berhaji sejatinya tidak memiliki andil dalam ibadah tersebut.

“Jadi tirkah itu gak boleh dibagi kecuali ada jatah yang diperuntukkan haji. Jadi penghajian ini itu hanya untuk menghalalkan tirkah. Tapi mayite itu ndak ada prestasi karena tidak ikut memutuskan. Paham nggih?” terang Gus Baha.

Ia memberikan contoh, meski seseorang dalam kondisi sakit seperti stroke, selama masih hidup dan bisa membuat keputusan—misalnya menjual sawah atau mobil untuk berhaji—maka niat itu sah dan bernilai tinggi.

Tegalku dol yo le nggo haji. Inovaku dol nggo haji. Kan dia ikut memutuskan,” katanya. Keputusan pribadi ini menurutnya sangat menentukan nilai spiritual dari ibadah yang dilakukan.

Gus Baha menegaskan bahwa ibadah haji saat masih hidup jelas lebih penting dibanding setelah meninggal. Kesadaran dan ketulusan pribadi tidak bisa digantikan oleh orang lain.

Dalam praktiknya di Indonesia, banyak orang masih memiliki anggapan keliru terkait hal ini. Bahkan ada yang lebih memilih dihajikan setelah mati karena dianggap lebih murah dan praktis.

Gus Baha mengungkapkan kekesalannya terhadap fenomena ini. “Malah kulo due konco sing rodok kurang ajar, iku ojo kaji urip Gus. Biayanya besar, mending haji dibadal setelah mati, lebih murah. Ini keliru,” ucapnya.

Penting Memahami Esensi Haji

Ia menjelaskan bahwa logika seperti itu mencederai semangat dan makna ibadah. Haji bukan sekadar formalitas atau pelengkap, tetapi bentuk pengabdian total kepada Allah SWT.

Penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa ibadah haji memiliki dimensi ruhani yang sangat dalam. Menunda atau mengabaikannya dengan dalih efisiensi adalah kesalahan berpikir yang harus diluruskan.

Keutamaan haji terletak pada kesiapan jiwa dan raga. Bahkan dalam kondisi sakit, selama seseorang bisa membuat keputusan, maka ia masih memiliki peluang besar untuk meraih pahala haji secara sempurna.

Gus Baha juga mengajak masyarakat untuk membiasakan merencanakan ibadah haji sejak muda, agar bisa menunaikannya dalam keadaan sadar, sehat, dan penuh kesadaran spiritual.

Menurutnya, keputusan untuk berhaji semasa hidup mencerminkan keberanian, tanggung jawab, dan kemauan untuk berkorban demi agama.

Hal ini sejalan dengan semangat Islam yang menempatkan amal sebagai cerminan iman dan niat sebagai syarat utama dalam semua bentuk ibadah.

Gus Baha menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa haji semasa hidup bukan hanya ibadah individu, tetapi juga warisan keteladanan bagi anak cucu.

Dengan demikian, umat Islam diharapkan tidak lagi menunda niat berhaji. Jangan menunggu ajal datang untuk menunjukkan ketaatan kepada Allah SWT.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |