Liputan6.com, Jakarta - Hukum bacaan ra menjadi salah satu kaidah penting dalam ilmu tajwid yang tidak bisa diabaikan. Dalam membaca Al-Qur’an, hukum bacaan ra terbagi menjadi dua, yakni tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis). Kedua bentuk bacaan ini menentukan kualitas suara ketika huruf ra muncul dalam ayat.
Ketentuan hukum bacaan ra ditentukan oleh harakat atau tanda baca yang menyertainya maupun huruf sebelumnya. Apabila dibaca tanpa memperhatikan aturan, makna bacaan bisa kehilangan keindahan bahkan salah pengucapan. Oleh karena itu, penting memahami detail hukum bacaan ra dalam setiap kondisi.
Secara umum, hukum bacaan ra berlaku dalam tiga kategori utama: tafkhim, tarqiq, serta jawazul wajhain. Tafkhim membuat suara ra terdengar penuh dan berat, sedangkan tarqiq membuatnya lebih ringan. Adapun jawazul wajhain memberikan pilihan boleh dibaca tebal atau tipis sesuai kondisi.
Ilmu tajwid mencatat hukum bacaan ra sebagai bagian penting dari tahsin, yakni upaya memperindah bacaan Al-Qur’an. Ulama sejak dahulu menaruh perhatian besar agar umat Islam membaca dengan benar.
Ra Dibaca Tafkhim
Pertama, ra dibaca tafkhim apabila ia berharakat fathah atau fathatain. Contoh sederhana bisa dilihat pada kata “Rasulullah”. Ra juga dibaca tebal bila berharakat dhammah atau dhammahtain, misalnya dalam kata “Rukbi”.
Kondisi lain, ra yang sukun juga wajib dibaca tafkhim jika huruf sebelumnya berharakat fathah atau dhammah. Contoh semacam ini sering dijumpai dalam banyak ayat Al-Qur’an.
Selain itu, ra sukun tetap dibaca tebal meskipun sebelumnya berharakat kasrah, selama kasrah tersebut bukan kasrah asli. Aturan ini menjadi pembeda penting dalam praktik membaca.
Menariknya, ketika ra sukun berada setelah kasrah asli namun diikuti huruf isti’la seperti ق, ظ, ط, ص, ض, غ, atau خ, maka ia pun tetap dibaca tafkhim.
Ra Dibaca Tarqiq
Kebalikan dari tafkhim, ra dibaca tarqiq bila ia berharakat kasrah atau kasrahtain. Misalnya dalam kata “Rijal” yang biasa kita temukan dalam Al-Qur’an.
Ra sukun juga dibaca tipis apabila huruf sebelumnya berharakat kasrah asli. Kaidah ini berlaku konsisten pada banyak kata.
Kasus lain, ra yang menjadi sukun karena berhenti (waqaf) juga dibaca tarqiq apabila huruf sebelumnya adalah ya sukun. Contoh mudahnya adalah kata “Qodiir” dalam Al-Qur’an.
Dengan memahami pola-pola ini, pembaca bisa menjaga kehalusan lafaz tanpa kehilangan ketepatan tajwid.
Ra dengan Jawazul Wajhain
Selain dua kategori utama, ada juga kondisi khusus yang disebut jawazul wajhain. Pada situasi ini, ra boleh dibaca tebal maupun tipis.
Contohnya dapat dilihat dalam kata “mirṣād” (مرصاد). Pada kata ini, ra bisa dibaca tafkhim karena setelahnya ada huruf ص yang tebal, namun bisa juga tarqiq karena pengaruh huruf sebelumnya.
Ketentuan ini menunjukkan adanya keluwesan dalam tajwid, namun tetap harus dipahami logika dan sebabnya agar tidak sembarangan memilih.
Fenomena jawazul wajhain sering menjadi pembahasan mendalam di kelas-kelas tahsin maupun halaqah Qur’an.
Penegasan Ulama
Para ulama menegaskan bahwa hukum bacaan ra tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari keseluruhan kaidah tajwid yang saling berhubungan.
Dalam kitab-kitab klasik maupun modern, penjelasan tafkhim dan tarqiq disertai contoh konkret agar mudah dipahami. Bahkan, sebagian besar kitab tajwid menjadikan hukum bacaan ra sebagai bahasan pokok.
Selain kitab, jurnal penelitian juga kerap mengangkat tema hukum bacaan ra. Kajian ilmiah biasanya menghubungkannya dengan aspek fonetik bahasa Arab dan pendidikan Al-Qur’an.
Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa memahami hukum bacaan ra bukan hanya perkara tradisi, melainkan juga disiplin akademis.
Pentingnya Penerapan Hukum Bacaan Ra
Membaca Al-Qur’an dengan memperhatikan hukum bacaan ra berarti menjaga kesucian lafaz wahyu. Kesalahan tipis dalam pelafalan bisa merusak makna.
Karena itu, banyak guru tajwid menekankan agar murid tidak hanya membaca, tetapi juga memahami sebab-sebab hukum berlaku.
Kaidah tafkhim dan tarqiq pun menjadi latihan wajib dalam halaqah Qur’an. Dengan begitu, murid terbiasa membedakan suara tebal dan tipis secara konsisten.
Penerapan hukum bacaan ra juga menjadi standar dalam lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Dewan juri menilai ketepatan peserta dalam aspek ini.
Perhatikan saat Belajar dan Ibadah
Hukum bacaan ra merupakan bagian penting dari tajwid yang mengatur cara melafalkan huruf ra dalam Al-Qur’an. Aturan ini terbagi menjadi tafkhim, tarqiq, dan jawazul wajhain.
Dengan mempelajari hukum bacaan ra, umat Islam dapat membaca Al-Qur’an lebih indah sekaligus menjaga keaslian lafaz wahyu.
Oleh karena itu, hukum bacaan ra harus selalu diperhatikan dalam pembacaan ayat-ayat suci, baik dalam ibadah maupun pembelajaran.
Hukum bacaan ra bukan hanya soal teknis, tetapi juga wujud penghormatan terhadap Al-Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk umat manusia.
People Also Talk
1. Apa itu hukum bacaan ra dalam tajwid? Hukum bacaan ra adalah aturan cara melafalkan huruf ra dalam Al-Qur’an yang terbagi menjadi tafkhim (tebal), tarqiq (tipis), dan jawazul wajhain (fleksibel).
2. Kapan ra dibaca tafkhim? Ra dibaca tafkhim bila berharakat fathah, dhammah, atau sukun setelah fathah/dhammah, serta bila diikuti huruf isti’la.
3. Kapan ra dibaca tarqiq? Ra dibaca tarqiq bila berharakat kasrah, sukun setelah kasrah asli, atau sukun diwaqaf setelah ya sukun.
4. Apa maksud jawazul wajhain pada hukum bacaan ra? Jawazul wajhain adalah kondisi khusus di mana ra boleh dibaca tafkhim maupun tarqiq, seperti pada kata “mirṣād”.
5. Mengapa hukum bacaan ra penting dipelajari? Karena ia menjaga keindahan dan ketepatan bacaan Al-Qur’an, serta menghindarkan dari kesalahan yang bisa mengubah makna.