Liputan6.com, Jakarta Perayaan lebaran di zaman Nabi Muhammad memiliki makna yang sangat mendalam bagi umat Islam. Sebagai momen sakral yang menandai kemenangan spiritual setelah sebulan penuh berpuasa, tradisi perayaan lebaran di zaman Nabi Muhammad menjadi landasan penting bagaimana umat Islam di seluruh dunia merayakan hari kemenangan ini. Berbeda dengan perayaan-perayaan yang dilakukan masyarakat Arab jahiliyah sebelumnya, perayaan lebaran di zaman Nabi Muhammad diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan bernilai ibadah.
Sejarah mencatat bahwa perayaan lebaran di zaman Nabi Muhammad pertama kali diselenggarakan pada tahun ke-2 Hijriyah atau sekitar 624 Masehi. Momen bersejarah ini bertepatan dengan kemenangan kaum Muslim dalam Perang Badar, dimana dengan jumlah pasukan yang jauh lebih sedikit, umat Islam berhasil memenangkan pertempuran berkat pertolongan Allah SWT. Perayaan lebaran di zaman Nabi Muhammad ini kemudian menjadi tradisi tahunan yang dinantikan oleh seluruh umat Islam sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.
Imam Ibnu Katsir, seorang ulama besar dalam sejarah Islam, menjabarkan bagaimana perayaan lebaran di zaman Nabi Muhammad dilaksanakan dengan penuh khidmat. Dalam riwayatnya, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah merayakan hari pertama Idul Fitri dalam kondisi letih hingga harus bersandar pada Bilal bin Rabah saat menyampaikan khutbahnya.
Hal ini menunjukkan betapa Rasulullah SAW tetap menjalankan tradisi perayaan lebaran dengan sebaik-baiknya meskipun dalam kondisi fisik yang tidak prima, memberikan teladan bagi umat Islam untuk selalu mengutamakan ibadah dalam kondisi apapun.
Berikut informasi lengkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Jumat (21/3).
Salah satu tempat di Madinah, Arab Saudi yang kerap dikunjungi jemaah haji adalah Masjid Al Ghamamah, ini merupakan tempat Nabi Muhammad SAW melaksanakan salat meminta hujan, saat Madinah dilanda kemarau panjang.
Sejarah Perayaan Idul Fitri dalam Islam
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab jahiliyah telah memiliki dua hari raya yang mereka rayakan setiap tahunnya, yaitu Nairuz dan Mahrajan. Kedua perayaan ini berasal dari tradisi Persia Kuno yang diadopsi oleh masyarakat Arab. Sayangnya, perayaan-perayaan tersebut sarat dengan kegiatan yang tidak bermanfaat dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti minum minuman keras, menari berlebihan, dan adu ketangkasan yang sering berujung pada pertumpahan darah.
Ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, beliau menggantinya dengan dua hari raya yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa'i:
من أنس بن مالك, قال رسول الله: كان لأهل الجاهلية يومان في كل سنة يلعبون فيهما ، فلما قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة قال: كان لكم يومان تلعبون فيهما ، وقد أبدلكم الله بهما خيرا منهما: يوم الفطر ويوم الأضحى
"Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha." (HR Abu Dawud & an-Nasa'i)
Perayaan Idul Fitri pertama kali dilaksanakan dalam sejarah Islam pada tahun 624 Masehi atau tahun ke-2 Hijriyah. Waktu yang bersejarah ini bertepatan dengan berakhirnya Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum muslimin. Kemenangan ini menjadi momen yang sangat bermakna, mengingat pasukan muslim yang berjumlah jauh lebih sedikit (sekitar 313 orang) berhasil mengalahkan pasukan kafir Quraisy yang berjumlah sekitar 1.000 orang.
Allah SWT dalam Al-Qur'an juga memerintahkan umat Islam untuk mengagungkan-Nya sebagai bentuk rasa syukur setelah menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 185:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa serta bertakbir (membesarkan) nama Allah atas petunjuk yang telah diberikan-Nya kepadamu, semoga dengan demikian kamu menjadi umat yang bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)
Cara Rasulullah SAW Merayakan Idul Fitri
1. Mengumandangkan Takbir
Dalam menyambut hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, Rasulullah SAW mengawali perayaan Idul Fitri dengan mengumandangkan takbir. Dalam riwayat disebutkan bahwa beliau mengumandangkan takbir pada malam Hari Raya Idul Fitri hingga pagi hari. Ini merupakan bentuk rasa syukur Nabi Muhammad SAW atas datangnya hari yang suci dan sebagai pengagungan kepada Allah SWT.
Praktik ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 185 yang menganjurkan untuk bertakbir setelah menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan. Takbir yang dikumandangkan pada malam dan pagi Hari Raya Idul Fitri adalah wujud kepatuhan umat Islam terhadap perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
Lafadz takbir yang biasa dikumandangkan adalah:
الله أكبر الله أكبر، الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد
"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada Tuhan selain Allah. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan segala puji bagi Allah."
Takbir ini menjadi simbol kemenangan dan kegembiraan umat Islam setelah berhasil menjalani ujian berupa puasa selama sebulan penuh, serta sebagai ekspresi keimanan bahwa hanya Allah-lah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
2. Membersihkan Diri dan Memakai Pakaian Terbaik
Sebagai bentuk penghormatan terhadap hari yang mulia, Rasulullah SAW selalu membersihkan diri dan berpenampilan terbaik pada hari Idul Fitri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, disebutkan bahwa Rasulullah SAW mandi, memakai wewangian, serta mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki saat merayakan Idul Fitri.
Praktik ini mengajarkan kepada umat Islam bahwa kebersihan dan penampilan yang baik merupakan bagian dari ibadah, terutama saat merayakan hari-hari besar Islam. Mandi sebelum shalat Idul Fitri hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Selain itu, memakai pakaian terbaik bukan berarti harus memakai pakaian yang mahal atau baru, melainkan pakaian yang paling baik yang dimiliki, bersih, rapi, dan sesuai dengan syariat Islam. Hal ini juga mengajarkan kepada umat Islam untuk tidak berlebih-lebihan dalam berpakaian, namun tetap menjaga keindahan dan kebersihan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.
Imam Malik meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar selalu memakai pakaian terbaik ketika mendatangi shalat Idul Fitri, mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan betapa para sahabat sangat meneladani praktik Rasulullah SAW dalam merayakan Idul Fitri.
3. Makan Terlebih Dahulu Sebelum Shalat Id
Salah satu kekhasan perayaan Idul Fitri adalah tidak berpuasa pada hari tersebut. Tanggal 1 Syawal merupakan hari yang diharamkan untuk berpuasa bagi umat Islam. Bahkan, berniat tidak berpuasa pada hari Idul Fitri pahalanya seperti orang yang sedang berpuasa di hari-hari yang tidak dilarang.
Mengikuti sunnah Rasulullah SAW, sebelum berangkat menunaikan shalat Id, beliau biasa memakan beberapa butir kurma dengan jumlah yang ganjil, baik itu tiga, lima, atau tujuh butir. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات ويأكلهن وترا
"Dari Anas bin Malik: Nabi Muhammad SAW tidak pernah pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya, dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil." (HR. Ahmad dan Bukhari)
Praktik makan sebelum shalat Idul Fitri ini memiliki hikmah yang mendalam. Pertama, hal ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan telah benar-benar selesai dan umat Islam telah kembali kepada fitrahnya. Kedua, ini juga merupakan bentuk kepatuhan terhadap larangan berpuasa pada hari raya. Ketiga, dengan makan terlebih dahulu, seseorang akan mendapatkan energi yang cukup untuk melaksanakan shalat Id dan berbagai kegiatan Idul Fitri lainnya dengan penuh semangat.
Inti dari perayaan Idul Fitri adalah menunaikan shalat Id. Rasulullah SAW selalu menunaikan shalat Id bersama keluarga dan para sahabatnya, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Shalat Id dilaksanakan pada pagi hari, biasanya ketika matahari sudah setinggi tombak atau sekitar dua meter dari horizon.
Ada beberapa keunikan dalam pelaksanaan shalat Id yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Pertama, beliau sengaja mengakhirkan pelaksanaan shalat Idul Fitri dengan tujuan agar umat Islam memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah. Ini menunjukkan betapa penting zakat fitrah sebagai penyempurna ibadah puasa Ramadhan.
Kedua, Rasulullah SAW biasa memilih rute yang berbeda saat berangkat dan pulang dari tempat shalat Id. Hal ini diriwayatkan dalam hadits:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق
"Dari Jabir bin Abdullah ra: Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari raya mengambil jalan yang berbeda (antara pergi dan pulang)." (HR. Bukhari)
Hikmah di balik praktik ini antara lain adalah untuk memperbanyak tempat yang menjadi saksi ibadah, menyebarkan syiar Islam di berbagai jalanan, dan memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang untuk bertemu dengan Rasulullah SAW.
Ketiga, pelaksanaan shalat Id tidak didahului oleh adzan maupun iqamah. Shalat Id juga memiliki kekhususan berupa takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua. Setelah shalat, Rasulullah SAW menyampaikan khutbah yang berisi nasihat-nasihat penting bagi umat Islam.
Perayaan dan Silaturahim Pasca Shalat Id
1. Mendatangi Tempat Keramaian dan Hiburan Positif
Setelah menunaikan shalat Id dan mendengarkan khutbah, Rasulullah SAW tidak segan untuk mendatangi tempat keramaian dan menikmati hiburan yang positif bersama keluarga dan para sahabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, bergembira dan bersenang-senang pada hari raya diperbolehkan selama tidak melanggar syariat.
Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim, diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah menemani istrinya, Aisyah ra, untuk menyaksikan pertunjukan atraksi tombak dan tameng saat hari raya Idul Fitri:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع على الفراش وحول وجهه، ودخل أبو بكر فانتهرني وقال: مزمارة الشيطان عند النبي صلى الله عليه وسلم! فأقبل عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: «دعهما» فلما غفل غمزتهما فخرجتا
"Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah SAW masuk ke rumahku sementara di sana ada dua orang gadis yang sedang menyanyikan lagu Bu'ats. Beliau berbaring di atas ranjang dan memalingkan wajahnya. Lalu masuklah Abu Bakar dan ia memarahiku seraya berkata: Seruling setan di sisi Nabi SAW? Maka Rasulullah SAW menghadap kepadanya dan bersabda: 'Biarkanlah keduanya.' Ketika Abu Bakar lengah, aku memberi isyarat kepada kedua gadis itu, lalu keduanya keluar." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisyah ra begitu asyik menyaksikan atraksi tersebut hingga memunculkan kepala di atas bahu Rasulullah SAW agar dapat melihat dengan lebih jelas. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sangat memahami fitrah manusia yang membutuhkan hiburan dan kegembiraan, terutama pada hari-hari istimewa seperti Idul Fitri.
Namun perlu dicatat bahwa hiburan yang dinikmati pada masa Rasulullah SAW adalah hiburan yang sehat, mendidik, dan tidak melanggar syariat Islam. Berbeda dengan perayaan jahiliyah sebelumnya yang sarat dengan kemungkaran, hiburan pada perayaan Idul Fitri di masa Rasulullah SAW bertujuan untuk menambah kegembiraan dan kebahagiaan yang halal.
2. Silaturahim dan Saling Mengunjungi
Tradisi silaturahim atau saling berkunjung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri sejak zaman Rasulullah SAW. Setelah menunaikan shalat Id, Rasulullah SAW biasa berkunjung ke rumah para sahabat, demikian pula para sahabat yang juga berkunjung ke kediaman Rasulullah SAW.
Pada kesempatan silaturahim ini, Rasulullah SAW dan para sahabat saling mendoakan kebaikan satu sama lain. Praktik silaturahim ini sangat sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antar sesama muslim, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليصل رحمه
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung tali silaturahim." (HR. Bukhari dan Muslim)
Silaturahim pada hari raya Idul Fitri memiliki makna yang lebih dalam, karena momentum ini menjadi kesempatan untuk saling memaafkan atas kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dengan demikian, umat Islam dapat benar-benar kembali kepada fitrahnya, yaitu suci dan bersih dari dosa dan kesalahan.
Praktik silaturahim ini kemudian berkembang menjadi tradisi yang kuat di berbagai negara Islam, termasuk Indonesia dengan tradisi halal bihalal yang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri. Meskipun bentuknya mungkin berbeda-beda sesuai dengan budaya lokal, esensi dari silaturahim tetap sama, yaitu untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan membersihkan hati dari segala kebencian dan permusuhan.
3. Memberi Hadiah dan Bersedekah
Perayaan Idul Fitri juga menjadi momentum untuk berbagi kebahagiaan melalui pemberian hadiah dan sedekah. Meskipun tidak ada riwayat spesifik tentang Rasulullah SAW membagikan hadiah pada hari raya Idul Fitri, namun beliau sangat menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah sebagaimana sabdanya:
تهادوا تحابوا
"Saling memberilah hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. Bukhari dalam Adab Al-Mufrad)
Selain itu, praktik memberi hadiah dan sedekah pada hari raya Idul Fitri juga berkembang di masa dinasti-dinasti Islam setelah masa Rasulullah SAW. Misalnya, para sultan Dinasti Mamluk (1250-1517 Masehi) di Mesir membagikan pakaian, hadiah, dan uang kepada masyarakat saat perayaan Idul Fitri.
Di Indonesia, tradisi memberi hadiah pada hari raya Idul Fitri diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti pemberian bingkisan lebaran, parcel, atau uang yang biasa disebut "angpau" atau "THR" (Tunjangan Hari Raya). Tradisi ini menjadi cara untuk berbagi kebahagiaan dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat.
Lebih penting lagi, perayaan Idul Fitri tidak lengkap tanpa menunaikan zakat fitrah. Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk membersihkan puasanya dan membantu mereka yang kurang mampu agar dapat turut merayakan hari raya dengan gembira. Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر من رمضان صاعا من تمر، أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد، ذكر أو أنثى من المسلمين
"Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum kepada setiap orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan dari kaum muslimin." (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkembangan Perayaan Idul Fitri Pasca Masa Rasulullah SAW
1. Perayaan Idul Fitri pada Masa Dinasti-Dinasti Islam
Setelah masa Rasulullah SAW, perayaan Idul Fitri terus berkembang dengan berbagai tradisi tambahan sesuai dengan budaya lokal di berbagai wilayah Islam. Pada masa Dinasti Abbasiyah, misalnya, perayaan Idul Fitri dilakukan dengan rangkaian kegiatan yang meriah selama tiga hari, diakhiri dengan menyantap beraneka ragam makanan halal.
Dalam buku "Empire of the Islamic World" karya Robin Santos Doak dijelaskan bahwa umat Muslim yang berada di jalan-jalan Kota Baghdad dihibur dengan penampilan para musisi dan penyair yang menunjukkan kebolehan mereka. Hiburan-hiburan tersebut tentu saja bernilai positif dan tidak melanggar syariat Islam.
Sementara itu, menurut Ege Yayinlari dalam bukunya "Discover Islamic Art in the Mediterranean", para sultan Dinasti Mamluk di Mesir memiliki tradisi membagikan pakaian, hadiah, dan uang kepada masyarakat saat perayaan Idul Fitri. Ini menunjukkan bahwa semangat berbagi dan bersedekah menjadi bagian penting dalam perayaan Idul Fitri di berbagai dinasti Islam.
Di India, para sultan Dinasti Mughal memiliki tradisi melakukan arak-arakan bersama pengawal kerajaan dalam merayakan Idul Fitri. Sedangkan di Turki pada masa Kesultanan Ottoman, ada tradisi membunyikan meriam setiap malam 1 Syawal dalam menyambut Idul Fitri. Meriam ditembakkan ke udara untuk menandai berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya hari raya Idul Fitri.
Perkembangan tradisi-tradisi tambahan dalam perayaan Idul Fitri ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dapat beradaptasi dengan berbagai budaya lokal tanpa kehilangan esensinya. Hal ini juga menunjukkan keluwesan Islam dalam menerima keragaman budaya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
2. Perayaan Idul Fitri di Indonesia
Di Indonesia, perayaan Idul Fitri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lebaran memiliki keunikan tersendiri yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal. Salah satu tradisi yang paling menonjol adalah halal bihalal, yaitu tradisi saling berkunjung dan meminta maaf kepada sanak keluarga dan kerabat.
Dalam buku "Al Masalik wal Mamalik" karya Ibnu Khordabdih dijelaskan bahwa mayoritas watak masyarakat yang hidup sepanjang garis khatulistiwa, termasuk Indonesia, merupakan orang-orang yang terbuka dan egaliter. Sikap terbuka inilah yang kemudian tercermin dalam tradisi halal bihalal, dimana tidak hanya umat Muslim yang berpartisipasi, tetapi juga umat non-Muslim yang ikut "nimbrung" bersilaturahim.
Selain halal bihalal, Indonesia juga memiliki tradisi unik lainnya seperti Lebaran Ketupat yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga kepada masyarakat Jawa. Lebaran Ketupat atau yang juga dikenal sebagai Lebaran Topat di beberapa daerah, dirayakan tujuh hari setelah Idul Fitri. Tradisi ini melibatkan pembuatan ketupat, yaitu makanan berbahan dasar beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa.
Kata "ketupat" sendiri berasal dari kata "kupat" dalam bahasa Jawa yang berarti "mengakui kesalahan". Ini mengandung filosofi bahwa setelah berhari-raya selama seminggu, umat Muslim kembali mengakui kesalahan-kesalahan mereka dan memohon maaf. Lebaran Ketupat juga dikenal dengan istilah sungkeman, yaitu tradisi memohon maaf dari orang yang lebih muda kepada yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan.
Tradisi-tradisi unik ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW dapat berakulturasi dengan budaya lokal Indonesia, menciptakan perayaan Idul Fitri yang kaya akan makna dan nilai-nilai luhur.