TEMPO.CO, Jakarta - Hubungan dagang Indonesia dengan Amerika Serikat tengah menjadi sorotan. Hal tersebut terjadi setelah adanya kritikan dari Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) terhadap sejumlah kebijakan di Tanah Air, termasuk sistem layanan keuangan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Melalui National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, USTR menyebut penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan perusahaan penyedia layanan pembayaran asal AS. Selain itu, USTR juga menyatakan pemrosesan kartu kredit melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) berpotensi semakin menghambat hubungan dagang Indonesia-AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada Mei 2023, BI mengamanatkan agar kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN serta mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah (pemda). Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut akan membatasi akses penggunaan opsi pembayaran elektronik AS,” kata USTR dalam laporan yang dirilis pada Senin, 31 Maret 2025 tersebut.
Lantas, apa saja perbedaan metode pembayaran yang populer di AS dan Indonesia?
Amerika Serikat: Cek hingga Kartu Kredit
Melansir Rhode Island Current, cek merupakan bagian penting dari ekonomi Amerika Serikat selama beberapa dekade. Bank sentral AS, The Federal Reserve System (The Fed), memproses 17 miliar cek dalam setahun pada 2000. Di tahun yang sama, rata-rata orang Amerika menulis sekitar 60 cek yang dikliring oleh The Fed setiap tahun.
Namun, penggunaan cek kini lebih jarang dibandingkan dengan metode pembayaran lainnya, yang mencakup 4 persen transaksi di AS pada 2022. Menurut hasil Survei dan Buku Harian Pilihan Pembayaran Konsumen pada 2022 oleh Federal Reserve Bank of Atlanta, uang tunai mencakup lebih dari 17 persen transaksi dan kartu kredit atau kartu debit digunakan lebih dari 31 persen.
Kendati penggunaannya telah menurun, cek masih diminati warga AS, termasuk kaum muda. Mengutip Marketplace, seorang profesor pemasaran di Washington University di St. Louis, Cynthia Cryder, mengatakan orang-orang yang telah menulis cek hampir sepanjang hidupnya mungkin akan terasa asing dengan opsi pembayaran lain.
Adapun penggunaan cek lebih tinggi di kalangan orang tua, sedangkan anak muda lebih memilih solusi berbasis teknologi, seperti Apple Pay dan PayPal. Namun, profesor antropologi di University of California Bill Maurer mengatakan ada generasi milenial dan gen Z yang masih setia menggunakan uang tunai dan cek karena dapat membuat pengeluaran lebih hemat.
Tak hanya di kalangan individu, 81 perusahaan di AS masih menggunakan cek kertas untuk membayar tagihan. Hal tersebut sebagaimana menurut The Treasurer's Guide to AR Payment Optimization pada 2022, kolaborasi PYMNTS dan CheckAlt, yang dikutip dari PayDo.
Selain cek, pembayaran menggunakan kartu masih sangat populer di AS, termasuk kartu kredit, seperti Visa dan Mastercard. Berdasarkan data YouGov per Februari 2024, penggunaan kartu debit dengan menggunakan cip sebesar 42 persen dan 35 persen kartu debit digesek, sedangkan kartu kredit dengan menggunakan cip sebesar 35 persen dan 26 persen digesek.
Namun, 67 persen responden atau mayoritasnya lebih menyukai transaksi fisik menggunakan uang tunai. Lalu, 37 persen warga AS memilih menggunakan PayPal, diikuti Zelle sebesar 17 persen, Venmo 15 persen, Apple Pay 14 persen, dan Google Wallet sebesar 10 persen.
Indonesia: QRIS hingga Pinjol
Sementara di Indonesia, Visa Consumer Payment Attitude Study 2023 menemukan penggunaan uang tunai turun ke level 80 persen, dari sebelumnya 84 persen pada 2022. Pembayaran melalui dompet digital (e-wallet) disebut terus melonjak dengan penggunaan sebesar 92 persen.
Perilaku non-tunai (cashless) di Indonesia disumbang oleh gen Z (76 persen) dan gen Y (69 persen), di mana hampir 3 dari 5 orang diantaranya lebih mengadopsi transaksi tanpa uang tunai. Selain itu, 81 persen konsumen di tanah air telah menggunakan layanan perbankan digital setidaknya seminggu sekali.
Peningkatan transaksi keuangan berbasis non-tunai juga tercermin dari tingginya penggunaan QRIS. Tiga bulan pertama sejak diimplementasikan secara nasional pada Rabu, 1 Januari 2020, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) melaporkan total volume transaksi QRIS telah menyentuh angka 124,11 juta dengan nominal transaksi mencapai Rp 8,21 triliun.
Terkini, transaksi QRIS secara nasional hingga triwulan I 2025 sudah menjangkau 56,28 juta pengguna dan 38,1 juta gerai/usaha, di mana 93 persen di antaranya merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sedangkan total transaksinya mencapai 2,62 miliar transaksi dengan nominal Rp 262 triliun.
Berbeda dengan QRIS yang naik drastis, BI pada Rabu, 17 Juli 2024, melaporkan transaksi pembayaran menggunakan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) atau kartu debit turun secara tahunan (year-on-year) menjadi 1.759,92 juta transaksi. Sementara transaksi kartu kredit masih tumbuh di angka 20,92 persen secara tahunan mencapai 114,31 juta transaksi.
Melansir Antara, dari sisi ritel, volume transaksi BI-FAST meningkat 67,79 persen secara tahunan mencapai 785,95 juta transaksi. Lalu transaksi perbankan digital tercatat 5.363 juta transaksi atau naik 34,49 persen secara tahunan. Sedangkan transaksi uang elektronik (e-money) tumbuh 39,42 persen secara tahunan di angka 3.958,53 juta transaksi.
Selain layanan pembayaran melalui lembaga perbankan konvensional, jasa keuangan berbasis teknologi juga tumbuh subur di Indonesia. OJK menyebut penyaluran pinjaman fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol, sekarang dikenal sebagai pinjaman daring atau pindar) melonjak 29,94 persen secara tahunan dengan nominal Rp 78,5 triliun pada Januari 2025.
Kemudian, kredit melalui layanan beli sekarang bayar nanti atau dikenal sebagai buy now pay later (BNPL)/paylater meningkat 41,9 persen secara tahunan menjadi Rp 7,12 triliun pada Januari 2025.