Liputan6.com, Jakarta - Dalam aturan Islam, tidur merupakan salah satu hal yang membatalkan wudhu. Saat seseorang tidur, mereka kehilangan kesadaran dan kontrol atas diri, sehingga dianggap berpotensi mengeluarkan sesuatu dari tubuh yang dapat membatalkan wudhu.
Dalam salah satu ceramah yang disampaikan oleh Pengasuh LPD Al Bahjah KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya, ia membahas mengenai hukum wudhu bagi orang yang tertidur dalam posisi duduk.
Menurut Buya Yahya, hukum batalnya wudhu ketika seseorang tertidur sebenarnya bergantung pada posisi tubuh saat tidur tersebut.
Dalam tayangan video di kanal YouTube @petuahchik, Buya Yahya menjelaskan bahwa jika seseorang tertidur dalam keadaan duduk tegak dan nyaman, maka wudhunya tidak batal.
Dengan demikian, orang tersebut tetap bisa melaksanakan sholat dengan wudhu yang sama, tanpa perlu mengulang wudhu. Hal ini berlaku selama posisi duduknya stabil dan tidak berubah menjadi posisi yang membuat tubuh sepenuhnya rileks, seperti tidur dalam keadaan berbaring atau sujud.
Buya Yahya menambahkan bahwa salah satu syarat utama agar wudhu tidak batal ketika tertidur adalah kondisi tubuh yang masih dalam kontrol.
Simak Video Pilihan Ini:
Pencarian Korban Jatuh dari Kapal, Basarnas Cilacap Sisir hingga Perairan Jabar
Bagaimana Tidur dalam Posisi Duduk?
Artinya, posisi duduk yang tegak dan bersandar dengan baik dapat membuat seseorang tetap terjaga dalam kontrol terhadap tubuhnya, meskipun sedang tertidur. Namun, jika seseorang tertidur dalam posisi yang menyebabkan tubuhnya benar-benar lepas kontrol, seperti berbaring, maka wudhunya dianggap batal.
"Tidur dalam posisi duduk, selama masih terkontrol dan stabil, tidak akan membatalkan wudhu. Namun, jika dalam keadaan tidur itu tubuh sudah berada dalam posisi yang benar-benar lepas kontrol, seperti sujud atau berbaring, maka wudhu otomatis batal," jelas Buya Yahya dalam ceramah tersebut.
Buya Yahya juga memberikan contoh praktis mengenai orang yang tertidur saat menunggu waktu sholat di masjid. Banyak orang sering kali tertidur di masjid setelah berwudhu, misalnya ketika menunggu adzan atau iqamah.
Menurut penjelasan Buya Yahya, selama mereka tertidur dalam posisi duduk dan tetap terjaga stabilitas tubuhnya, maka mereka tidak perlu mengulang wudhu sebelum melaksanakan sholat.
Namun, Buya Yahya menekankan bahwa jika seseorang tertidur dalam posisi yang membuat tubuh sepenuhnya rileks, seperti terlentang atau berbaring, maka wudhu tersebut harus diulangi.
Posisi Tubuh Tentukan Batal Tidaknya Wudhu
"Dalam hal ini, posisi tubuh yang menentukan apakah wudhu batal atau tidak," kata Buya Yahya.
Selain itu, Buya Yahya juga mengingatkan pentingnya menjaga kesucian wudhu sebagai bagian dari persiapan untuk beribadah. Tidur, dalam konteks ini, hanya akan membatalkan wudhu jika posisi tubuh benar-benar melepaskan kontrol secara penuh.
Hal ini berbeda dengan tidur dalam keadaan duduk yang masih memungkinkan kontrol tubuh.
Dalam penjelasannya, Buya Yahya juga mengingatkan agar umat Islam selalu berhati-hati dalam menjaga wudhu, terutama saat menghadapi situasi yang mungkin membuat wudhu batal, seperti tertidur dalam posisi yang tidak seharusnya.
"Kesucian wudhu adalah kunci dalam menjalankan ibadah sholat," ujar Buya Yahya.
Lebih jauh, Buya Yahya menjelaskan bahwa wudhu bukan hanya syarat sahnya sholat, tetapi juga simbol kesucian diri yang harus selalu dijaga dalam setiap kesempatan. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk mengetahui kondisi-kondisi yang membatalkan wudhu, agar tidak terjebak dalam situasi yang dapat mengganggu ibadah.
Kesimpulannya, menurut Buya Yahya, seseorang yang tertidur dalam posisi duduk bersandar tidak batal wudhunya, selama posisi tubuh tetap stabil dan tidak berubah menjadi posisi yang menyebabkan tubuh lepas kontrol sepenuhnya. Namun, jika tertidur dalam posisi berbaring atau sujud, wudhu dianggap batal dan harus diulang sebelum melaksanakan ibadah sholat.
Dengan pemahaman ini, diharapkan umat Muslim dapat lebih memahami hukum-hukum wudhu dan menjaga kesucian diri dalam setiap kondisi, baik saat beribadah maupun dalam aktivitas sehari-hari.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul