Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat dihebohkan dengan video yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut guru sebagai beban negara. Video tersebut dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial, memicu beragam reaksi dari masyarakat.
Baik Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Sri Mulyani dengan tegas membantah keaslian video tersebut dan memastikan bahwa konten yang beredar adalah hasil manipulasi digital.
Klarifikasi dari Sri Mulyani dan Kemenkeu menyebutkan bahwa video tersebut merupakan produk deepfake, sebuah teknologi kecerdasan buatan yang mampu menciptakan konten palsu yang sangat meyakinkan.
Video asli yang dimanipulasi berasal dari pidato Sri Mulyani dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 7 Agustus 2025.
Isu ini kembali menyoroti pentingnya literasi digital dan kemampuan masyarakat untuk membedakan informasi yang benar dari hoaks, terutama di era teknologi yang semakin canggih.
Penyebaran hoaks semacam ini tidak hanya merugikan reputasi individu, tetapi juga dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, memahami konteks asli pernyataan, serta mengenali ciri-ciri dan modus operandi deepfake, menjadi sangat krusial.
Konteks Asli Pernyataan Sri Mulyani
Dalam forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia ITB, Kamis 7 Agustus 2025, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyoroti, terkait rendahnya gaji guru dan dosen.
Sri Mulyani mengungkapkan rendahnya penghargaan finansial terhadap profesi pendidik adalah tantangan serius dalam sistem keuangan nasional.
"Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar, ini salah satu tantangan bagi keuangan negara," kata Sri Mulyani dalam sambutannya.
Pertanyaan pun muncul, kata Sri Mulyani apakah negara harus menanggung seluruh beban anggaran untuk profesi guru dan dosen, atau adakah ruang bagi partisipasi masyarakat dalam mendukung dunia pendidikan. Kendati begitu, Sri Mulyani tak merinci bentuk partisipasi masyarakat yang ia maksud.
"Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyampaikan pada 2025 ini, pemerintah menggelontorkan anggaran pendidikan sebesar Rp 724,3 triliun atau sejumlah 20 persen dari total belanja negara.
Dana tersebut tersebar dalam berbagai program, antara lain Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah bagi 1,1 juta mahasiswa, Program Indonesia Pintar (PIP) untuk 20,4 juta siswa, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi 9,1 juta pelajar, serta Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) untuk hampir 200 kampus negeri.
Selain itu, anggaran juga dialokasi untuk beasiswa LPDP, digitalisasi pembelajaran, Tunjangan Profesi Guru (TPG) non PNS untuk 477,7 ribu guru, sertifikasi untuk 666,9 ribu guru, pembangunan dan rehabilitasi sebanyak 22 ribu sekolah, serta program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Memahami Deepfake: Ancaman Manipulasi Digital
Kasus video manipulatif yang menyeret Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali membuka mata publik tentang bahaya teknologi deepfake.
Deepfake adalah istilah gabungan dari "deep learning" dan "fake" (palsu). Ini merujuk pada konten digital seperti gambar, video, atau audio yang dihasilkan atau dimanipulasi menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan teknologi pembelajaran mendalam (deep learning).
Teknologi ini mampu menciptakan konten yang menyerupai orang, objek, tempat, atau peristiwa yang nyata, sehingga dapat secara keliru dianggap autentik atau benar oleh publik.
Deepfake dapat mengganti wajah seseorang dalam video, memanipulasi ekspresi wajah, mensintesis wajah, dan mensintesis ucapan. Hal ini membuat seseorang seolah-olah mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah mereka katakan atau lakukan.
Deepfake pertama kali muncul pada tahun 2017 dan sejak itu terus berkembang menjadi semakin canggih. Proses pembuatannya melibatkan dua komponen utama, yaitu Generator dan Discriminator, yang saling "berlomba" untuk meningkatkan kualitas hasilnya.
Generator menciptakan konten palsu, sementara Discriminator membedakan antara konten asli dan palsu, mendorong generator untuk membuat konten yang semakin realistis.
Modus dan Ciri-ciri Deepfake yang Perlu Diwaspadai
Deepfake dapat disalahgunakan untuk berbagai tujuan negatif yang merugikan. Modus operandi deepfake meliputi penyebaran hoaks dan disinformasi untuk menggiring opini publik, penipuan finansial dengan meniru tokoh publik, serta pelanggaran privasi dan reputasi melalui pembuatan konten yang merusak citra seseorang. Selain itu, deepfake juga digunakan dalam manipulasi politik dan kejahatan siber lainnya seperti pemerasan.
Meskipun deepfake semakin canggih, ada beberapa tanda yang dapat membantu mengidentifikasi konten palsu. Ciri-ciri visual yang patut dicurigai antara lain gerakan wajah dan ekspresi yang kaku atau tidak alami, kedipan mata yang terlalu cepat atau jarang, serta gerakan bibir yang tidak sinkron dengan suara yang diucapkan.
Detail wajah seperti garis rambut, kontur rahang, atau tekstur kulit juga seringkali terlihat tidak alami atau seperti "ditempelkan".
Selain itu, perhatikan pencahayaan dan bayangan yang tidak konsisten, serta kualitas gambar yang tidak seragam. Pada aspek audio, suara deepfake sering terdengar datar, robotik, putus-putus, atau memiliki perubahan nada yang tidak wajar. Secara umum, konten yang "terlalu sempurna" untuk menjadi nyata, kurangnya referensi waktu atau tempat yang jelas, dan sumber yang tidak kredibel juga menjadi indikator kuat adanya manipulasi.
Cara Mendeteksi Deepfake dan Pentingnya Literasi Digital
Untuk melindungi diri dari ancaman deepfake, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, selalu verifikasi sumber konten; jika tidak ada label atau peringatan bahwa konten tersebut artifisial, terutama pada konten yang tampak resmi, patut diwaspadai.
Gunakan alat pelacak metadata seperti Content Credentials (C2PA) untuk memeriksa riwayat pembuatan dan pengeditan konten.
Manfaatkan alat pencari gambar atau video seperti Google Lens, Google Images, Yandex, atau InVID untuk membandingkan potongan video atau foto dengan versi asli yang pernah beredar di internet. Selalu cocokkan isi video dengan arsip resmi, media berita terpercaya, siaran langsung, atau pernyataan institusi yang kredibel. Deepfake sering menyebar tanpa referensi waktu, tempat, atau acara yang jelas.
Lakukan pengamatan manual terhadap ciri-ciri visual dan audio yang telah disebutkan sebelumnya, seperti ketidaksempurnaan pada gerakan mata, ekspresi wajah, sinkronisasi bibir, tekstur kulit, dan pencahayaan. Beberapa alat deteksi AI juga telah dikembangkan untuk membantu mengidentifikasi deepfake.
Selain itu, pentingnya meningkatkan kesadaran dan kemampuan berpikir kritis terhadap konten yang viral dan berpotensi menyesatkan. Jika ragu, lebih baik tunda menyebarkan informasi hingga sumber dapat diverifikasi kebenarannya.