Liputan6.com, Jakarta - Malam Jumat Kliwon selalu dianggap sakral oleh banyak kalangan di tanah Jawa. Dalam tradisi keislaman yang bercampur dengan budaya lokal, Jumat itu menjadi waktu yang diyakini penuh keberkahan dan pertemuan spiritual.
Namun di tahun 1983, malam Jumat Kliwon menjadi lebih dari sekadar malam biasa. Sebuah peristiwa bersejarah terjadi antara dua tokoh besar yang kelak mengukir arah sejarah bangsa Indonesia.
Dirangkum Rabu (30/04/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @kanalunik, inilah kisah pertemuan antara KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan KH Moeslim Rifa’i Imampuro, ulama nyentrik asal Klaten yang dikenal dengan nama Mbah Liem.
Pada malam yang dingin dan hening itu, keduanya berjalan beriringan menembus gelap menuju makam Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Tak ada gemuruh atau sorot kamera. Hanya langkah kaki dan bisikan hati yang menyatu dalam ziarah sakral.
Gus Dur, cucu pendiri Nahdlatul Ulama, berjalan tenang di samping Mbah Liem, seorang waliyullah yang dikenal dengan gaya nyentrik namun sarat karomah. Perjalanan mereka dimulai sekitar tengah malam dan tiba di pusara sang pendiri NU tepat pukul 3.00 pagi.
Saat berdiri di hadapan makam kakeknya, Gus Dur diam. Lalu terdengar suara Mbah Liem yang memecah kesunyian. Ia berkata pelan namun tegas, "Kamu jangan mengaku cucunya Mbah Hasyim kalau tak bisa ikut mengatur negara."
Gus Dur mendengarkan dengan khidmat, tanpa membantah atau menimpali. Kata-kata Mbah Liem bukan sekadar nasihat, tapi semacam isyarat akan masa depan yang menanti Gus Dur di panggung kebangsaan.
Simak Video Pilihan Ini:
Geger Buaya Salah Masuk Permukiman
Usulan Mbah Liem, NKB, Bukan PKB
Setahun setelah pertemuan itu, menjelang Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, Mbah Liem kembali melontarkan gagasan besar yang mencengangkan: Negara Kiai Barokah (NKB), bukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) seperti yang dikenal belakangan.
Gus Dur saat itu hanya menanggapinya dengan tenang. Ia tak buru-buru merespons atau menolak. "Butuh waktu 50 tahun," ucapnya datar, seakan memahami bahwa perubahan besar butuh proses panjang.
Namun Mbah Liem justru tersenyum dan menjawab dengan nada penuh keyakinan, "Cukup 15. Tiga periode pimpin NU." Sebuah ramalan yang terdengar gila bagi orang biasa, tapi menyimpan kekuatan keyakinan seorang wali.
Waktu berlalu. Gus Dur memimpin PBNU selama tiga periode penuh. Di bawah kepemimpinannya, NU kembali ke khittah 1926, menjauh dari politik praktis dan kembali ke jati dirinya sebagai jam’iyah diniyah.
Tepat 15 tahun setelah pertemuan malam Jumat Kliwon itu, Gus Dur terpilih sebagai Presiden keempat Republik Indonesia. Sebuah kenyataan yang seolah menyempurnakan kalimat Mbah Liem di malam sunyi di depan makam kakek Gus Dur.
Kisah ini menjadi bukti betapa pertemuan spiritual kadang menjadi awal dari perubahan besar. Tidak melulu lewat kampanye atau pidato politik, tapi melalui ziarah, dialog batin, dan restu para wali.
Tentang Mbah Liem
Mbah Liem sendiri dikenal sebagai sosok nyentrik, namun penuh dengan simbol dan pesan yang dalam. Gaya hidupnya sederhana, tapi pandangannya terhadap bangsa dan negara jauh ke depan.
Ia kerap menyuarakan pentingnya peran ulama dalam menjaga moral bangsa, namun bukan berarti harus berebut kekuasaan. Negara Kiai Barokah baginya adalah simbol dari kepemimpinan yang berangkat dari ketulusan dan keberkahan.
Gus Dur adalah perwujudan nyata dari konsep itu. Ia tidak hanya menjadi presiden, tapi juga tetap membawa nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinannya yang unik dan penuh toleransi.
Kini, pertemuan malam Jumat Kliwon itu menjadi bagian dari narasi besar bangsa. Bukan hanya kisah mistis, tetapi juga catatan sejarah yang memuat jejak visi para tokoh spiritual.
Sebagian orang mungkin menganggapnya kebetulan. Namun bagi yang percaya, kata-kata Mbah Liem adalah kunci pembuka jalan yang tak terlihat oleh mata, tapi nyata dalam hasilnya.
Kisah ini terus diceritakan dari satu generasi ke generasi lain. Tidak hanya untuk mengagumi Gus Dur atau Mbah Liem, tapi juga untuk memahami bahwa kekuasaan sejati lahir dari niat suci dan restu langit.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul