Liputan6.com, Jakarta - Di antara banyak santri yang berguru kepada Syekh Nawawi Al-Bantani di Kota Mekkah, ada satu nama yang memiliki ikatan khusus yaitu Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan atau Mbah Kholil.
Keduanya bukan sekadar guru dan murid biasa. selain transmisi ilmu, ada pertalian spiritual yang kuat antara dua ulama besar Nusantara ini.
Maka itu, meski sebelum nyantri ke Makkah di usia 26 tahun, telah banyak berguru kepada kiai-kiai di Madura dan Pulau Jawa, diyakini Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan guru utama Syaikhona Kholil.
Keyakinan ini diungkapkan Wakil Ketua Umum PBNU, KH Zulfa Mustofa. Menurutnya, dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, setiap ulama besar pasti memiliki guru utama yang membentuk keilmuannya.
"Seperti Imam Abu Hanifah yang berguru 18 tahun kepada Hammad bin Abi Sulaiman, Syaikhona Kholil juga mulazamah cukup lama dengan Syekh Nawawi Al-Bantani," kata Kiai Zulfa, dalam sebuah cuplikan video yang ditayangkan akun NU Online.
Simak Video Pilihan Ini:
Satgas Pangan Cek Ketersediaan Bahan Pokok di Pasar Tradisional jelang Lebaran Idul Fitri 2025
Sanad
Kiai Zulfa merujuk pendapatnya itu pada dua kitab yaitu Al-Iqdul Farid karya Syekh Yasin Al-Fadani dan Kifayatul Mustafid karya Syekh Mahfudz At-Tarmasi.
Kedua kitab itu menyebutkan bahwa seluruh sanad keilmuan Syekh Nawawi diwariskan kepada Syaikhona Kholil.
"Tak semua murid Syekh Nawawi mendapat pengakuan seperti ini. Ini menunjukkan kedalaman hubungan mereka," jelasnya.
Kitab Marah Labid
Kiai Zulfa Mustofa juga mengisahkan tentang Habib Salim bin Jindan yang pernah bermukim di Kabupaten Bangkalan untuk berguru kepada Syaikhona Kholil.
Cerita ini kian menguatkan keyakinan Kiai Zulfa bahwa Syekh Nawawi merupakan guru utama Syaikhona Kholil.
Diceritakan Suatu hari, Habib Salim bin Jindan bertanya kepada Syaikhona Kholil: "Mengapa Syekh Nawawi, ulama fasih berbahasa Arab, memberi judul kitab tafsirnya 'Marah Labid'?"
Dalam bahasa sehari-hari orang Arab, Marah Labid merujuk pada tempat istirahat musafir yang sedang menempuh perjalanan jauh. Kalau saat ini, Marah Labid bisa diterjemahkan bebas sebagai rest area.
Syaikhona Kholil pun menjawab pertanyaan itu. "Guruku (syekh Nawawi) adalah seorang sufi dan zahid. Aku sendiri yang mengusulkan beliau menulis tafsir ini."
Jawaban singkat ini, menurut Kiai Zulfa, menyimpan makna mendalam tentang kedekatan keduanya.
Apa yang diceritakan Kiai Zulfa ini adalah penekanan bahwa relasi guru-murid ini bukan sekadar sejarah, melainkan fondasi keilmuan NU. Dari Syekh Nawawi ke Syaikhona Kholil, lalu ke para pendiri NU, sanad keilmuan ini hidup dalam tradisi kita hingga hari ini.