Liputan6.com, Jakarta - Sebuah patung biawak raksasa di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Wonosobo, mendadak menjadi viral di media sosial baru-baru ini. Patung tersebut disebut-sebut sangat mirip dengan biawak sungguhan, hingga menarik perhatian ribuan wisatawan.
Patung yang dibuat dari semen dan dicat seperti hewan asli itu kini menjadi destinasi wisata dadakan pada April 2025 ini. Ribuan orang datang hanya untuk sekadar berfoto maupun siaran langsung di media sosial.
Ketua Karang Taruna Desa Krasak, Budiarto, menyampaikan bahwa antusiasme masyarakat sangat tinggi sejak patung biawak tersebut viral. Pengunjung datang dari berbagai daerah untuk menyaksikan langsung keunikan patung tersebut.
"Kalau dirata-rata sehari bisa lebih dari 2 ribu orang. Pemuda di sini sampai harus jaga 24 jam, termasuk mengatur lalu lintas. Ada yang foto-foto, ada juga yang live TikTok atau Instagram," ungkap Budiarto.
Patung biawak Wonosobo ini sendiri merupakan hasil karya Rejo Arianto, seorang warga lokal yang dikenal memiliki bakat dalam seni patung dan pembuatan ornamen berbahan semen.
Namun di tengah viralnya patung biawak ini, muncul pula pertanyaan yang cukup menarik perhatian, bagaimana hukum memakan daging biawak dalam pandangan Islam?
Simak Video Pilihan Ini:
Kondisi Arus Mudik 2025 di Tol dan Jalur Pantura Pemalang Jateng
Hukum Makan Daging Biawak
Ustadz Abdul Somad (UAS) memberikan penjelasan terkait hal ini dalam sebuah ceramah yang tayang di kanal YouTube Syekh Abdu Somad, sebagaimana dikutip Selasa (29/04/2025).
Menurut Ustadz Abdul Somad, biawak merupakan salah satu hewan darat yang status kehalalannya masih sering diperdebatkan. Meski demikian, secara umum ia menyebut bahwa biawak tergolong haram untuk dikonsumsi.
“Biawak itu haram dikarenakan itu binatang buas,” ujar Ustadz Abdul Somad saat menjawab pertanyaan dari jamaah mengenai hukum memakan rendang biawak.
UAS merujuk pada ayat dalam Al-Qur’an, surat Al-Maidah ayat 3, yang secara tegas melarang konsumsi daging dari hewan-hewan tertentu termasuk yang diterkam binatang buas.
Ayat tersebut berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelih, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.”
Biawak masuk kategori hewan buas karena hidupnya memangsa, bertaring, dan seringkali memakan bangkai. Ustadz Abdul Somad menegaskan bahwa karakteristik inilah yang menyebabkan dagingnya haram.
Selain itu, biawak juga dianggap memiliki kemiripan dengan binatang-binatang yang disebutkan dalam ayat di atas, baik dari sisi sifat maupun cara hidupnya di alam liar.
Bagaimana dengan Daging Dhab? Kan Mirip Biawak
Namun, Ustadz Abdul Somad juga menjelaskan adanya pengecualian pada hewan sejenis reptil lainnya yang disebut Dhab. Dhab ini berbeda dengan biawak dalam banyak aspek.
Dhab adalah sejenis kadal besar yang hidup di daerah gurun seperti Mesir, Libya, dan wilayah Timur Tengah. Makanan utamanya adalah tumbuhan, dan hidupnya tidak memangsa atau memakan bangkai.
Terdapat hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Khabarul Ahad, tentang para sahabat Nabi yang pernah memakan daging Dhab dan tidak dilarang oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam hadis itu disebutkan bahwa ketika salah satu istri Nabi menginformasikan bahwa daging yang dimakan para sahabat adalah Dhab, mereka pun menghentikan makan. Namun Rasulullah bersabda, “Makanlah, karena daging itu halal,” atau, “Tidak mengapa dimakan, hanya saja itu bukan makananku.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa meski sama-sama reptil, Dhab memiliki status hukum yang berbeda karena sifat dan habitatnya yang berbeda dari biawak.
Ustadz Abdul Somad menegaskan kembali bahwa dalam konteks Indonesia, biawak tidak bisa disamakan dengan Dhab dan oleh karena itu tetap masuk kategori haram untuk dikonsumsi.
Menurutnya, dalam menentukan halal atau haram suatu hewan, perlu diperhatikan pula karakter dan ekosistem asal hewan tersebut, bukan sekadar bentuk fisiknya.
Dengan viralnya patung biawak di Wonosobo, perbincangan seputar daging biawak pun kembali mencuat. Namun, masyarakat diimbau agar tidak menjadikan viralitas ini sebagai pembenaran untuk mengonsumsi hewan yang statusnya haram.
Ustadz Abdul Somad mengingatkan bahwa setiap makanan yang dikonsumsi akan memengaruhi keberkahan hidup dan ibadah seseorang. Maka penting untuk memastikan bahwa makanan yang dimakan benar-benar halal.
Sebagai penutup, ia menyampaikan bahwa memilih makanan halal adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan menjadi cermin kehati-hatian seorang Muslim dalam menjalankan syariat.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul