Liputan6.com, Cilacap - Ulama kharismatik asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengulas perihal kenyamanan otak atau kenyamanan berpikir yang harus dimiliki oleh semua orang Islam.
Santri Mbah Moen menjelaskan hal ini di sela-sela tausiyahnya. Hal ini penting sebab banyak di kalangan umat Islam yang tidak memiliki kodisi seperti ini.
Kenyamanan otak sangat penting, sebab bisa berpotensi menunjang kekhusykuan dalam beribadah. Dan khusyuk merupakan salah satu ciri ibadah seseorang tersebut terkategori baik.
Lantas apa penyebabnya Gus Baha mengatakan keharusan umat Islam memiliki kenyamanan otak? Simak ulasannya berikut ini!
Simak Video Pilihan Ini:
RSI Banjarnegara Luncurkan Alat Bantu Oksigen Portabel untuk Pasien Covid-19 Sesak Napas
Iman Kita Sesuai Logika Akal Sehat
Muslim bagi Gus Baha harus memiliki kenyamanan otak atau kenyamanan berpikir dengan segala hal yang kita imani berdasarkan agama Islam yang kita anut.
Pasalnya keimanan perspektif Islam itu sesuai logika dan aka; sehat manusia. Tidak ada satupun prinsip keimanan dalam Islam yang menyelisihi logika kita. Jadi sudah seharusnya sebagai orang Islam kita nyaman karena iman kita ini sudah benar.
“Orang Islam semuanya harus punya kenyamanan otak, punya kenyamanan berpikir,” terangnya dikutip dari tayangan YouTube Short @Mimpi Chanel, Selasa (22/10/2024).
“Kita iman ini nyaman karena iman sesuai logika,” tandasnya.
Logika Imam Perspektif Islam
Mengutip Republika, alam kajian epistemologi Islam disimpulkan bahwa logika manusia sangat efektif untuk bisa menerima, mencerna, sekaligus menjelaskan kebenaran. Sebaliknya, akal secara otomatis akan kehilangan kekuatan nalar rasionalnya manakala dipaksa untuk mempertahankan kebatilan.
Hal ini tidak lain karena akal adalah instrumen strategis pada setiap manusia untuk bisa memahami maksud dan kehendak Allah SWT. Melalui akal, manusia bisa mempelajari firman-Nya, meneladani rasul-Nya sekaligus mengamalkan setiap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Namun, seiring dengan dinamika kehidupan, logika sering kali kandas ketika harus berhadapan dengan konsekuensi berat tatkala harus memeluk kebenaran.
Di sinilah logika manusia dipertaruhkan. Logika iman dan nafsu bertempur dalam hati yang gejalanya bisa dilihat dari kebingungan, kegusaran, kegelisahan, bahkan mungkin perilaku tidak rasional dari seseorang. Ketika seseorang lebih memilih logika nafsu maka ia akan semakin terjerembab pada pilihan-pilihan yang menjauhkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya.
Seperti yang telah dilakukan Firaun yang justru menajamkan logika nafsunya. Karena, sifat paranoid akan kebenaran mimpinya bahwa kelak akan ada seorang lelaki yang akan meruntuhkan kerajaan dan menggantikan tahtanya, tanpa banyak berpikir, Firaun langsung mengambil keputusan bahwa semua bayi laki-laki yang lahir di seantero Mesir harus dibunuh.
Begitu pula dengan Namrudz. Ia tega mengeluarkan perintah untuk menghukum Nabi Ibrahim AS dengan hukuman yang sangat sadis dan tak manusiawi. Ironisnya, Namrudz melakukan itu hanya karena dia kalah debat dengan Nabi Ibrahim AS soal Tuhan. Bagi Namrudz, Tuhan itu adalah berhala yang menjadi sembahannya. Sementara bagi Nabi Ibrahim AS, Tuhan itu adalah Allah SWT.
Tetapi, kebenaran adalah kebenaran. Sekalipun logika nafsu berkuasa dan menjadi penentu dalam kehidupan sosial masyarakat. Kebenaran tetap tak bisa dilenyapkan. Justru mereka yang menolak logika iman akan terjerembab dalam kenistaan, sebagaimana Firaun dan Namrudz. Oleh karena itu, ikutilah apa yang telah dibawa oleh Rasulullah kepada kita semua.
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS [4]: 170).
Logika iman ialah daya nalar rasional yang disandarkan sepenuhnya kepada Alquran dan sunah. Jadi, pandangannya tentang baik dan buruk sepenuhnya merujuk pada apa yang baik atau buruk menurut Allah SWT. Akal dan hatinya diliputi keyakinan kuat bahwa Allah SWT benar-benar Maha Mengetahui.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS [2]: 216).
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul