Penghafal Al-Qur'an Bisa jadi Golongan Zalim bila Begini, Peringatan UAH

21 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Zalim kerap kali dipahami secara sempit sebagai tindakan kejam atau menindas. Padahal, menurut para ulama, pengertian zalim jauh lebih luas dan bisa merambah ke banyak aspek kehidupan, termasuk dalam hal ilmu agama dan hafalan Al-Qur’an.

Penempatan sesuatu bukan pada tempatnya adalah makna dasar dari zalim. Dalam praktiknya, zalim dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam kekuasaan, harta, maupun dalam penyalahgunaan ilmu agama.

Hal ini disampaikan dalam ceramah yang disampaikan pendakwah muda Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH), yang menekankan bahwa bahkan penghafal Al-Qur’an bisa terjerumus dalam perbuatan zalim jika tidak mampu menempatkan ayat-ayat Allah sesuai dengan fungsinya.

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa ada sebagian orang yang telah mewarisi Al-Qur’an, namun tetap termasuk golongan yang zalim karena menyalahgunakan pemahaman terhadap isi kandungan wahyu tersebut.

Simak Video Pilihan Ini:

1 dari 2 Korban Tenggelam Pantai Bunton Cilacap dan Gili Anyar Kebumen Ditemukan

Contoh Konkret Kezaliman

Dikutip Ahad (13/07/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @amalsunnah, Ustadz Adi Hidayat memberikan contoh konkret dari bentuk kezaliman yang mungkin tidak disadari oleh sebagian penghafal Al-Qur’an.

Menurutnya, seseorang bisa saja hafal surah Al-Ikhlas yang menegaskan keesaan Allah, namun dalam praktiknya masih mengucapkan bahwa semua agama adalah sama, hanya berbeda jalan dan caranya saja. Ini disebut sebagai tindakan zalim terhadap isi Al-Qur’an.

Ustadz Adi Hidayat menegaskan bahwa tidak cukup hanya hafal, tapi harus diiringi dengan pemahaman dan pengamalan yang benar. Menurutnya, Al-Qur’an bukan hanya untuk dilantunkan, tetapi untuk ditanamkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ia mengutip surat Fatir ayat 32 yang menyebutkan adanya tiga golongan pewaris Al-Qur’an: yang zalim terhadap dirinya, yang pertengahan, dan yang berlomba-lomba dalam kebaikan. Yang terakhir inilah yang menjadi representasi penghafal Al-Qur’an sejati.

Ustadz Adi mengilustrasikan makna zalim dengan analogi sederhana: menggunakan gelas untuk mandi dan gayung untuk minum. Meskipun fungsi tetap bisa berjalan, namun jelas tidak sesuai pada tempatnya. Begitu pula Al-Qur’an yang tidak ditempatkan sebagaimana mestinya.

Bagi penghafal Al-Qur’an yang benar, tutur katanya mencerminkan keindahan Al-Qur’an. Sikapnya lembut, perilakunya terpuji, dan kehidupannya menjadi cahaya bagi sekitarnya. Ini yang disebut dengan pribadi yang Qur’ani.

Bentuk Nyata Zalimnya Penghafal Al-Qur'an

Sebaliknya, jika penghafal Al-Qur’an tetap mencaci, mencuri, berdusta, dan bertindak semena-mena, maka itu merupakan bentuk nyata dari kezaliman, karena telah menyalahi esensi dari kandungan wahyu yang dihafalnya.

Dalam ceramahnya, Ustadz Adi juga menegaskan bahwa orang yang benar-benar menghafal Al-Qur’an akan memancarkan karakter yang baik. Ia akan terlihat menarik bukan karena fisik, tetapi karena pancaran akhlaknya yang mencerminkan Al-Qur’an.

Orang-orang seperti ini tidak akan berlaku kasar, tidak menyakiti orang lain, dan tidak terlibat dalam perilaku-perilaku yang mencemari martabatnya sebagai ahli Al-Qur’an. Mereka akan menjadi teladan dalam setiap aspek kehidupan.

Aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi indikator utama dari kualitas hafalan seseorang. Maka hafiz yang benar akan tercermin dari tindakan yang santun, tutur kata yang menyejukkan, dan kesadaran spiritual yang tinggi.

Ustadz Adi juga mengingatkan bahwa menjadi pewaris Al-Qur’an bukan hanya tentang hafalan, tetapi tentang membentuk kepribadian dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai ilahiyah dalam setiap aspek kehidupan.

Akhirnya, ia mengajak umat Islam untuk tidak sekadar mengejar status hafiz, tetapi juga mengevaluasi sejauh mana Al-Qur’an mengubah akhlak dan cara hidup. Karena pada akhirnya, yang Allah nilai bukan seberapa banyak hafalan, tetapi seberapa kuat pengamalan.

Zalim bisa menyusup dalam bentuk-bentuk yang halus, termasuk ketika seseorang hafal ayat-ayat larangan namun tetap melanggarnya. Maka, penting bagi umat Islam untuk berhati-hati dalam menempatkan ilmu agama agar tidak menjadi bagian dari orang-orang yang merugi.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |