Liputan6.com, Cilacap - Wirid merupakan salah satu amalan ibadah yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Wirid dapat diartikan sebagai kegiatan berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT, yang dilakukan secara terus-menerus dan konsisten.
Banyak umat Islam yang melaksanakan wirid sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa wirid tanpa mengaji dapat melahirkan khayal atau pemikiran yang tidak tepat.
Pendapat ini disampaikan ulama kharismatik asal Rembang, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dalam sebuah kesempatan ceramahnya.
Gus Baha mengungkapkan bahwa wirid yang tidak diimbangi dengan menuntut ilmu atau dalam bahasanya mengaji, dapat menyebabkan seseorang terjebak dalam khayalan dan pemahaman yang keliru.
Simak Video Pilihan Ini:
Yayasan El Bayan Sayangkan Perusakan Masjid dalam Penyerangan SMK Komputama Jeruklegi
Wiridan tanpa Mengaji Tidak Cukup
Gus Baha mengawali pembahasannya dengan mengatakan bahwa umat Nabi, terutama di kalangan ulama yang mewarisi pengetahuan dari para Nabi.
Ia juga menegaskan bahwa umat Nabi yang paling bisa berlogika adalah mereka yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama.
Gus Baha juga menambahkan bahwa ketika bertemu dengan Allah, umat Nabi yang paling nyaman adalah mereka yang bersedia mengaji dan memperdalam pengetahuan agama.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hanya melakukan wirid tanpa mengaji itu tidak cukup untuk mencapai kenyamanan saat bertemu Allah SWT di akhirat kelak.
“Umatnya Nabi itu orang yang paling bisa berlogika, terutama ulama-ulamanya karena mewarisi dari para Nabi,” paparnya, dikutip dari tayangan YouTube Short @Ngaji_Hati, Minggu (13/07/25).
“Maka saya membayangkan, nanti kalau ketemu Allah itu umatnya Nabi itu yang paling nyaman terutama yang bersedia mengaji,” sambungnya
“Yang cuma wiridan saja itu masih tidak cukup,” tandasnya.
Wirid tanpa Mengaji Melahirkan Khayal
Gus Baha menekankan pentingnya mengaji dalam kehidupan spiritual, karena wirid saja tanpa mengaji, menurutnya dapat melahirkan khayal atau pemahaman yang tidak tepat.
Ia mencontohkan bahwa ulama terdahulu tidak membiarkan muridnya hanya melakukan wirid tanpa mengaji terlebih dahulu, karena ilmu agama dimulai dari nadlar atau berpikir logis.
“Yang mau mengaji, karena karena wiridan itu kan apa tadi ya, kalau tidak ada ngajinya itu kadang melahirkan khayal,” tegasnya.
“Makanya ulama dulu itu nggak boleh muridnya wiridan sebelum ngaji, karena apa? ilmu itu dimulai dari nadlar, nadlar itu berpikir, baru bisa menentukan Tuhan,” sambungnya.
Gus Baha menjelaskan bahwa proses spiritual dimulai dari berpikir, kemudian makrifat atau pengenalan yang mendalam tentang Tuhan, dan setelah itu baru dapat mencapai ilmu yang sebenarnya.
Ia juga menekankan bahwa urutan dalam mempelajari agama sangat penting, yaitu dimulai dari tauhid yang benar, kemudian baru membahas tentang istighfar atau permohonan ampun.
Gus Baha menekankan bahwa memahami tauhid dengan benar adalah pondasi utama sebelum melakukan amalan lainnya.
“Makanya awal wajib manusia itu kamu harus berpikir, setelah berpikir makrifat setelah makrifat baru ilmu disebut fa'lam annahu lailahaillah, baru bahas istighfar, istighfar kamu sah itu setelah tauhidnya benar,” jelasnya.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul