Liputan6.com, Cilacap - Khodam berasal dari bahasa Arab yang artinya pembantu, penjaga atau pengawal. Istilah khodam jin ini secara spesifik mengarah pada suatu hal yang bersifat supranatural.
Biasanya khodam jin ini berada pada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan di luar nalar, seperti keris, batu akik dan benda-benda lainnya yang populer disebut sebagai jimat.
Berkaitan dengan ini, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan bahayanya memiliki khodam jin, meskipun kita termasuk orang yang terkategori alim.
“Jadi mimpin jin itu repot, maka para kiai itu berpesan, meskipun kamu alim jangan sampai punya khodam jin,” terang Gus Baha, dikutip dari tayangan YouTube Short @pengaosangusbaha, Selasa (12/11/2024).
Simak Video Pilihan Ini:
Cara Jitu Melumpuhkan Sarang Tawon Vespa Raksasa!
Ini Bahayanya
Gus Baha menegaskan larangan mempunyai khodam jin sebab ia tergolong makhluk jahat yang suka menipu. Bahkan menurut Gus Baha bahaya memiliki khodam jin ini tak hanya bisa dirasakan olehnya, namun juga bisa dirasakan oleh keturunannya kelak.
“Karena Jin itu tetap menipu,” terangnya.
“Kata orang dulu kalau bapaknya tidak kuat, anaknya tidak kuat,” sambungnya.
Gus Baha pun mengisahkan pengalamannya saat melihat alam jin yang menurutnya sangat mengerikan.
“Saya ini anak kiai, cucunya kiai tahu betul sama alam jin,” terangnya.
"Memang benar-benar mengerikan," sambungnya.
Gus pun mengisahkan pengalamannya saat dirinya berkali-kali sholat yang mana di belakangnya golongan bangsa jin makmum kepadanya. Oleh sebab itu, wasiat bapaknya kepadanya bahwa meskipun menjadi orang alim jangan senang menjadi pemimpin jin alias memiliki khodam jin.
“Kamu belum pernah kan sholat dimakmumi jin? Saya berkali-kali,” tandasnya.
“Wasiatnya bapak saya, kamu itu jangan senang memimpin jin,” pungkasnya.
Hukum Meminta Bantuan Jin
Praktik-praktik meminta bantuan kepada jin seperti ini pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah Islam. Dalam Al-Qur’an sendiri, Allah sudah menegaskan bahwa ada orang-orang yang bekerja sama dan meminta perlindungan kepada golongan jin.
Dengan meminta perlindungan kepadanya, mereka berharap bahwa jin bisa menjadi penolong dan pembantunya. Namun pada akhirnya, jin ini justru semakin menjadikannya tersesat. Penjelasan ini sebagaimana terekam dalam surat Al-Jinn, Allah swt berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْأِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً
Artinya: “Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.” (QS Al-Jinn, [72]: 6).
Merujuk penjelasan Imam Fakhruddin ar-Razi perihal ayat ini, praktik-praktik meminta pertolongan kepada jin sudah menjadi tradisi orang-orang Jahiliah terdahulu. Mereka, ketika melewati padang pasir di malam hari, akan meminta perlindungan dan pertolongan kepada para jin, dengan mengatakan:
“Wahai pimpinan padang pasir ini (jin), aku berlindung dan meminta pertolongan kepada kalian dari gangguan-gangguan perampok.” Sehingga mereka akan bermalam di padang pasir dengan perasaan aman, karena merasa sudah mendapatkan perlindungan dari para jin.
Dengan melihat kilas sejarah di atas, maka meminta bantuan kepada jin sudah merupakan praktik-praktik yang tidak asing dan sudah banyak ditemukan sejak zaman dahulu, bahkan sudah terjadi sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan Islam perihal meminta bantuan kepada jin?.
Hukum Minta Bantuan kepada Jin
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk selalu bergantung dan meminta kepada Allah swt semata, karena hanya Dia lah yang bisa memberikan manfaat dan menolak dari segala bahaya dan ancaman yang menimpa manusia.
Adapun sesuatu selain-Nya, tidak ada yang memiliki daya dan upaya apa pun yang bisa menolak dan memberikan manfaat dan kebaikan, termasuk juga golongan para jin. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Ali al-Qari dalam kitabnya:
إِنَّ غَيْرَهُ تَعَالى لاَ يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا وَلاَ يَمْلِكُ مَوْتًا وَلاَ حَيَاتًا وَلاَ نُشُوْرًا
Artinya: “Sesungguhnya selain Allah swt, tidak mempunyai untuk dirinya sendiri manfaat dan petaka, tidak pula memiliki mati dan hidup, ataupun kebangkitan.” (Syekh Ali al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, [Beirut: Darul Fikr, 2002], juz VIII, halaman 310).
Larangan ini sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Murtadha az-Zabidi, dalam kitabnya:
وَلاَ يَجُوْزُ الْاِسْتِعَانَةُ بِالْجِنِّ فِي قَضَاءِ حَوَائِجِهِ وَامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَإِخْبَارِهِ بِشَيْءٍ مِنَ الْمُغَيَّبَاتِ وَنَحْوِ ذَلِكَ
Artinya: “Tidak boleh (bagi seseorang) meminta pertolongan pada jin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, (tidak boleh pula) mengikuti perintah-perintah dan kabar-kabarnya tentang sesuatu yang gaib dan sesamanya.” (Sayyid Murtadha, Ithafussadatil Muttaqin, [Beirut: Muassasah al-Arabi, 1994], juz II, halaman 285).
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul