Liputan6.com, Jakarta - Fenomena perempuan mengenakan parfum saat keluar rumah menjadi perbincangan yang terus berulang. Zaman now, sepertinya sangat langka ada wanita yang keluar rumah tanpa menggunakan parfum.
Pertanyaannya sederhana, tapi dampaknya besar: bolehkah perempuan memakai parfum yang tercium oleh laki-laki bukan mahram?
Pertanyaan ini kembali mencuat saat seorang jemaah dalam sebuah kajian menanyakannya langsung kepada pendakwah kondang, Ustadz Adi Hidayat (UAH). Jemaah itu mengaku belum sepenuhnya paham mengenai pernyataan bahwa jika aroma parfum perempuan sampai tercium laki-laki non-mahram, maka itu seperti zina.
Pertanyaan itu dijawab UAH dengan tegas namun bijak. Menurutnya, ketika bicara soal hukum syariat, harus membaca dalil dengan sempurna. Tidak cukup hanya setengah ayat atau potongan hadis saja, tapi juga harus dengan pemahaman yang utuh.
UAH menjelaskan bahwa Al-Qur’an dan hadis tidak bisa dipahami secara parsial. Harus dilihat konteksnya secara menyeluruh, mulai dari redaksi hingga asbabun nuzul-nya. Ia pun mengutip satu ayat yang menjadi dasar penting dalam persoalan ini.
Dalam penjelasannya, UAH menyebutkan bahwa Allah berfirman dalam Al-Ahzab: "wala tabarrojna tabarrujal jahiliyatil ula". Artinya: "Dan janganlah kalian (wahai para wanita) ber-tabarruj sebagaimana tabarujnya orang-orang jahiliyah terdahulu."
Ayat ini, menurut UAH, menjadi pengingat bagi perempuan beriman agar menjaga sikap ketika berada di ruang publik. Tidak tampil mencolok, tidak sengaja ingin dilihat, apalagi sampai menarik perhatian yang mengganggu fitrah orang lain.
Penjelasan ini disampaikan UAH dalam salah satu ceramah yang dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @Syahdusalam. Dalam video tersebut, suasana kajian terlihat hangat, namun isi penyampaiannya tetap lugas dan berbobot.
Simak Video Pilihan Ini:
Video Amatir Warga Panik Saat Kebakaran Pabrik Kayu Majenang Nyaris Merembet Perkampungan
Persoalannya Efek dari Parfum
UAH menerangkan bahwa memakai parfum yang menyengat hingga bisa mengundang perhatian lelaki asing termasuk bagian dari tabarruj. Tujuannya bukan semata aroma, tapi efek sosial dari aroma itu yang justru disorot dalam hukum Islam.
Menurutnya, jika seorang wanita sengaja memakai parfum saat keluar rumah, lalu aromanya mengundang perhatian laki-laki, maka itu sudah masuk kategori perbuatan yang tidak dianjurkan. Bukan hanya soal wangi, tapi efeknya terhadap fitnah.
Dalam Islam, kata UAH, menjaga kehormatan diri sangatlah penting. Bukan karena mengekang perempuan, tapi justru melindungi kemuliaannya agar tidak menjadi bahan pandangan liar atau pikiran negatif dari orang yang tidak bertanggung jawab.
"Kalau Anda masih merasa punya iman, maka imannya sedang dipertaruhkan di sini," ujar UAH dalam video tersebut. Kalimat ini menjadi pengingat keras, bahwa iman juga diuji dari hal-hal kecil seperti parfum.
Bahkan dalam hadis Nabi Muhammad disebutkan, perempuan yang keluar rumah dengan memakai parfum dan baunya tercium oleh laki-laki non mahram, maka dia telah menyerupai pezina. Ini bukan bentuk penghinaan, tapi peringatan keras agar menjaga diri.
Menurut UAH, makna dari “seperti pezina” bukan berarti langsung divonis pezina secara syariat hukum hudud. Namun dalam pandangan dosa, ia sudah masuk wilayah perbuatan yang mendekati zina karena memicu syahwat lawan jenis.
Yang disebut tabarruj menurut ulama bukan hanya cara berpakaian, tapi juga cara berjalan, bersolek, berbicara, dan memakai wewangian yang disengaja agar menarik perhatian publik. Hal-hal ini semua masuk dalam pengertian tabarruj yang dilarang.
Jangan Umbar Sembarangan
UAH juga menekankan bahwa kecantikan dan penampilan perempuan adalah hal berharga yang harus dijaga. Justru karena bernilai tinggi, Islam memerintahkan untuk tidak mengumbar sembarangan kecuali kepada yang berhak, seperti suami.
Maka dari itu, memakai parfum bukan dilarang sepenuhnya. Di dalam rumah, untuk suami, atau di lingkungan yang aman dari fitnah, hal itu diperbolehkan. Tapi jika dipakai keluar rumah hingga mengundang perhatian, maka itu menjadi masalah.
UAH mengajak para muslimah untuk memahami agama bukan hanya dari potongan kalimat. Jangan hanya ambil sepotong hadis dan dijadikan dasar, tapi lihat juga bagaimana Nabi mencontohkan dan para sahabat memahaminya.
Kesempurnaan memahami agama, kata UAH, tidak hanya berhenti pada teks, tapi juga pada konteks. Sebuah hukum diturunkan bukan untuk mengekang, tapi untuk menyelamatkan umat dari kehancuran moral dan kerusakan sosial.
Di akhir penjelasannya, UAH mengajak semua muslimah untuk memuliakan diri mereka sendiri. Jangan menukar kemuliaan itu hanya untuk pujian sesaat dari pandangan yang bahkan tidak halal.
Dengan memahami konteks dan dalil secara utuh, UAH berharap tidak ada lagi kesalahpahaman. Parfum bukan dosa, tapi situasi dan niat pemakainya yang menentukan status hukumnya dalam Islam.
Maka jangan sepelekan hal-hal yang kelihatannya kecil. Bisa jadi dari aroma yang tak terlihat, dosa besar tengah mengintai.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul