Liputan6.com, Jakarta Pertanyaan kenapa orang berdosa rezekinya lancar seringkali muncul di benak banyak orang yang melihat fenomena di sekitar mereka. Tidak jarang kita menyaksikan seseorang yang tidak taat beribadah, jarang bersyukur, bahkan terang-terangan bermaksiat, namun kehidupannya dipenuhi dengan limpahan harta dan kemudahan. Fenomena ini membuat banyak orang bertanya-tanya, kenapa orang berdosa rezekinya lancar sementara mereka yang tekun beribadah justru hidup dalam kesederhanaan atau bahkan kesulitan.
Dalam ajaran Islam, terdapat sebuah konsep yang menjelaskan kenapa orang berdosa rezekinya lancar. Konsep ini dikenal dengan istilah "istidraj" - sebuah bentuk tipu daya Allah kepada hamba-Nya yang ingkar.
Istidraj dapat diartikan sebagai pemberian kenikmatan duniawi yang berlimpah kepada seseorang yang jauh dari Allah, yang sebenarnya adalah bentuk azab yang tidak disadari oleh penerimanya. Memahami konsep ini menjadi penting untuk menjawab pertanyaan kenapa orang berdosa rezekinya lancar dan bagaimana seharusnya sikap seorang muslim menghadapi fenomena ini.
Bagi sebagian orang, melihat orang yang bermaksiat namun hidup berkecukupan bisa menimbulkan keraguan terhadap keadilan Allah. Namun, ajaran Islam memberikan perspektif yang lebih dalam tentang makna rezeki dan kenikmatan dunia.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Allah memberikan kelapangan rezeki kepada sebagian orang yang berdosa, apa sebenarnya istidraj, dan bagaimana seorang muslim seharusnya menyikapi keadaan ketika melihat kenapa orang berdosa rezekinya lancar dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut rangkuman lengkapnya, yang telah Liputan6.com susun pada Senin (10/3).
Istidraj: Ujian atau Siksaan Terselubung?
Istidraj merupakan salah satu konsep dalam Islam yang menjelaskan fenomena ketika seorang hamba yang jauh dari Allah justru diberikan kenikmatan dan kelapangan rezeki. Secara bahasa, istidraj berasal dari kata "daraja" yang berarti menaiki tangga atau berangsur-angsur. Dalam konteks agama, istidraj memiliki arti bahwa Allah akan menjatuhkan manusia karena kelalaiannya ke lembah kehinaan atau karena mengabaikan peringatan-Nya dengan cara yang berangsur-angsur.
Dalam kitab Al-Mawaidz Al-Badi'ah dijelaskan bahwa istidraj adalah suatu keadaan dalam hidup manusia yang berpotensi membawanya ke derajat yang rendah. Definisi ini menunjukkan bahwa istidraj bukanlah sebuah kemuliaan atau karunia, melainkan sebuah jebakan yang bisa membawa seseorang ke dalam kebinasaan. Konsep ini sejalan dengan penjelasan Quraish Shihab dalam bukunya "Hidup Bersama Al Quran 1" yang mendefinisikan istidraj sebagai kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada hamba yang jauh dari-Nya, yang sebenarnya menjadi sebuah azab baginya.
Konsep istidraj juga disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Salah satunya terdapat dalam surat al-Qalam ayat 44:
فَذَرْنِيْ وَمَنْ يُّكَذِّبُ بِهٰذَا الْحَدِيْثِۗ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
Artinya: "Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur'an). Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui."
Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa Allah akan menghukum orang-orang yang mendustakan Al-Qur'an secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka sadari. Inilah yang disebut dengan istidraj, di mana Allah memberikan kelonggaran dan kenikmatan kepada orang yang berbuat maksiat, bukan sebagai bentuk kemuliaan, melainkan sebagai bentuk hukuman yang tidak mereka sadari, yang pada akhirnya akan membawa mereka kepada kebinasaan.
Istidraj juga diperkuat dalam surat Al-'Araf ayat 182-183:
وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ، وَاُمْلِيْ لَهُمْۗ اِنَّ كَيْدِيْ مَتِيْنٌ
Artinya: "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh."
Penyebab Allah Memberikan Istidraj
Mengapa Allah memberikan istidraj kepada sebagian hamba-Nya? Pertanyaan ini menjadi penting untuk memahami hikmah di balik fenomena orang berdosa yang rezekinya lancar. Menurut penjelasan Dr. Damanhuri Basyir dalam bukunya "Kemasyhuran Syekh Abdurrauf As-Singkili", Syekh Abdurrauf As-Singkili mengemukakan beberapa kemungkinan mengapa Allah mendatangkan istidraj kepada hamba-Nya.
Pertama, istidraj bisa datang melalui musuh yang hadir dengan janji-janji menggiurkan. Dalam hal ini, musuh bahkan bisa menyerupai auliya (para wali) dan orang-orang pilihan Allah, sehingga membuat manusia terpedaya dan tertipu. Mereka menganggap bahwa musuh tersebut adalah wali Allah padahal sebenarnya bukan. Keadaan ini membuat seseorang terjebak dalam kesesatan tanpa mereka sadari.
Kedua, istidraj dapat datang melalui kemuliaan diri seperti mendapatkan amanah, menjadi pimpinan, menduduki jabatan tinggi, dan memiliki martabat di hadapan manusia. Ketika seseorang mendapatkan posisi atau kedudukan yang tinggi, tidak jarang mereka terpedaya dan menganggap dirinya adalah orang yang memiliki kelebihan khusus. Padahal, semua itu adalah ujian dari Allah untuk melihat apakah mereka tetap rendah hati dan ingat kepada-Nya, atau justru menjadi sombong dan lupa diri.
Ketiga, kedalaman ilmu, lidah yang fasih, pakaian yang dikenakan, serta nikmat duniawi lainnya juga bisa mendatangkan istidraj. Kesemuanya itu dapat membuat seseorang tenggelam dalam nikmat dunia sehingga mereka merasa lengkap atas apa yang mereka punyai. Mereka merasa tidak membutuhkan Allah lagi karena semua kebutuhan duniawi mereka telah terpenuhi. Inilah yang menjadi jebakan bagi mereka.
Keempat, memiliki ilmu juga bisa mendatangkan istidraj, yaitu ketika seseorang merasa sombong dan kagum atas kemampuan dirinya. Ilmu yang seharusnya menjadi sarana untuk lebih mengenal Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, justru menjadi alat untuk kesombongan dan keangkuhan. Alih-alih menggunakan ilmunya untuk kebaikan dan kemaslahatan umat, mereka menggunakannya untuk kepentingan pribadi dan meninggikan diri mereka di atas orang lain.
Kelima, istidraj juga bisa datang dengan disembunyikannya benci dalam sifat hilm Allah, yakni menahan amarah dan murka-Nya. Allah bisa saja menyembunyikan amarah dan murka-Nya dalam rahasia-Nya. Ini berarti, seseorang yang terus-menerus berbuat maksiat namun tidak mendapatkan hukuman atau musibah bukanlah tanda bahwa Allah ridha terhadap mereka. Sebaliknya, ini bisa menjadi tanda bahwa Allah sedang menyimpan murka-Nya untuk azab yang lebih besar di masa yang akan datang, terutama di akhirat kelak.
Semua penyebab ini menunjukkan bahwa istidraj adalah bentuk tipu daya Allah yang sangat halus terhadap hamba-Nya yang ingkar. Allah memberikan kenikmatan duniawi bukan sebagai penghargaan, melainkan sebagai jebakan yang akan membawa mereka semakin jauh dari-Nya dan akhirnya menuju kebinasaan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Mu'minun ayat 55-56:
اَيَحْسَبُوْنَ اَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهٖ مِنْ مَّالٍ وَّبَنِيْنَ ۙ نُسَارِعُ لَهُمْ فِى الْخَيْرٰتِۗ بَلْ لَّا يَشْعُرُوْنَ
Artinya: "Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya."
Ciri-Ciri Orang Yang Terkena Istidraj
Bagaimana mengenali seseorang yang sedang mengalami istidraj? Dr. H. Abd. Rahman dalam bukunya "Tasawuf Akhlaki: Ilmu Tasawuf yang Berkonsentrasi dalam Perbaikan Akhlak" menjelaskan beberapa ciri yang bisa menjadi indikator seseorang terkena istidraj. Memahami ciri-ciri ini penting untuk introspeksi diri dan menjadi peringatan agar tidak terjebak dalam kondisi yang sama.
- Ciri pertama yang paling menonjol adalah merasa sangat bahagia dengan kejadian aneh yang muncul pada dirinya. Seseorang yang terkena istidraj biasanya merasa sangat bahagia dan bangga dengan keistimewaan atau kelebihan yang muncul dalam hidupnya. Mereka menyangka bahwa apa yang mereka dapatkan adalah karamah atau kemuliaan khusus dari Allah karena mereka berhak memilikinya. Padahal, keistimewaan tersebut bisa jadi adalah bentuk istidraj yang akan membawa mereka pada kebinasaan.
- Ciri kedua adalah bersikap merendahkan orang lain dan bersikap sombong. Orang yang terkena istidraj biasanya akan memandang rendah orang lain dan merasa dirinya lebih tinggi dan lebih mulia. Kesombongan ini muncul karena mereka merasa memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Mereka lupa bahwa semua yang mereka miliki adalah titipan dari Allah yang bisa diambil kapan saja.
- Ciri ketiga adalah merasa aman dari azab Allah dan hukuman-Nya. Seseorang yang terkena istidraj akan merasa bahwa dirinya telah terhindar dari azab Allah karena telah mendapatkan begitu banyak kenikmatan dalam hidupnya. Mereka beranggapan bahwa kalau Allah murka kepada mereka, tentu mereka tidak akan mendapatkan kenikmatan sebanyak itu. Pemikiran ini tentu saja keliru, karena kenikmatan dunia bukanlah ukuran keridhaan Allah.
- Ciri keempat adalah tidak merasa takut pada akibat-akibat buruk yang terjadi. Orang yang terkena istidraj akan cenderung tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatan mereka. Mereka akan terus berbuat maksiat tanpa rasa takut atau khawatir akan hukuman dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Keberanian dalam berbuat dosa ini muncul karena mereka merasa telah mendapatkan "jaminan" kenikmatan dari Allah.
Selain ciri-ciri tersebut, Quraish Shihab juga menambahkan bahwa istidraj dapat terjadi jika seseorang semakin buruk kualitas dan kuantitas ibadahnya (karena tidak ikhlas, banyak berbuat maksiat baik kepada Allah atau sesama manusia), namun ia mendapatkan rezeki yang banyak, kesenangan hidup, sehat dan tidak pernah celaka. Kondisi seperti ini bisa jadi adalah sebuah istidraj baginya.
Menurut penceramah muda Nahdlatul Ulama (NU), Muhammad Iqdam Kholid atau Gus Iqdam, orang yang rezekinya lancar bahkan kaya raya namun sama sekali tidak beribadah, bahkan tidak rajin bekerja, harus berhati-hati dan takut kepada Allah SWT karena ia sedang mengalami istidraj. Logikanya, orang rajin bekerja dan rajin beribadah akan hidup kaya raya. Namun, pada sebagian orang, ada yang hidupnya kaya raya tapi tidak rajin bekerja, bahkan hidupnya berlumuran dosa dan selalu berbuat maksiat. Fenomena ini adalah tanda adanya istidraj.
Bahaya Istidraj dan Cara Menghindarinya
Istidraj bukanlah sebuah karunia yang patut disyukuri, melainkan sebuah bahaya yang harus diwaspadai. Bahaya terbesar dari istidraj adalah membuat seseorang semakin jauh dari Allah dan akhirnya menuju kebinasaan. Orang yang terkena istidraj akan terus terlena dengan kenikmatan dunia dan lupa akan tujuan utama kehidupan yaitu beribadah kepada Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal.
Ketika seseorang terkena istidraj, mereka akan cenderung mengejar kenikmatan dunia dan melupakan ibadah kepada Allah. Mereka akan terus berbuat maksiat tanpa merasa bersalah atau takut akan balasan dari Allah. Kondisi ini tentu saja sangat berbahaya karena dapat mengantarkan mereka pada kerugian yang besar di akhirat nanti. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 55-56:
وَلَا يَزَالُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْهُ حَتّٰى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً اَوْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَقِيْمٍ، اَلْمُلْكُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ
Artinya: "Dan orang-orang yang kafir senantiasa ragu tentang hal itu (Al-Qur'an), hingga saat (kematiannya) datang kepada mereka dengan tiba-tiba, atau azab hari kiamat yang datang kepada mereka. Kekuasaan pada hari itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan di antara mereka. Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan akan berada dalam surga yang penuh kenikmatan."
Lalu, bagaimana cara menghindari istidraj? Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari istidraj, antara lain:
- Pertama, selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah. Syukur tidak hanya diucapkan melalui lisan, tetapi juga diwujudkan dalam perbuatan dengan menggunakan nikmat tersebut untuk hal-hal yang diridhai Allah. Dengan bersyukur, kita menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian Allah yang harus digunakan sesuai dengan kehendak-Nya.
- Kedua, jangan terlena dengan kenikmatan dunia. Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara menuju kehidupan akhirat yang kekal. Oleh karena itu, kita tidak boleh terlalu mencintai dunia hingga melupakan tujuan utama kita diciptakan, yaitu beribadah kepada Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat.
- Ketiga, selalu introspeksi diri. Kita harus selalu mengevaluasi diri sendiri, apakah kita sudah menjalankan kewajiban kita sebagai hamba Allah dengan baik atau belum. Jika kita merasa buruk dalam beribadah namun rezeki kita lancar, maka kita harus waspada dan segera memperbaiki diri.
- Keempat, tingkatkan ketakwaan kepada Allah. Takwa adalah kunci untuk menghindari istidraj. Dengan takwa, kita akan selalu berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, apapun kondisi kita, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin.
- Kelima, banyak bersedekah. Sedekah adalah salah satu bentuk syukur atas nikmat Allah. Dengan bersedekah, kita ikut berbagi kenikmatan yang kita dapatkan dengan orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung. Ini juga sebagai pengingat bagi kita bahwa rezeki yang kita dapatkan bukanlah milik kita sepenuhnya, tetapi ada hak orang lain di dalamnya.
Sebagaimana nasihat Gus Iqdam, "Justru, rezekimu lancar, istrimu peduli dan lain sebagainya, ketakwaan kamu harus tambah, beribadahlah, harus tambah rajin bekerja, harus rajin bersedekah, jangan tambah kaya malah tambah pelit." Nasihat ini mengingatkan kita bahwa semakin banyak nikmat yang kita dapatkan, seharusnya semakin tinggi pula rasa syukur dan ketakwaan kita kepada Allah.
Hikmah di Balik Istidraj dalam Perspektif Islam
Di balik fenomena istidraj, terdapat hikmah dan pelajaran yang bisa diambil untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Memahami hikmah ini penting agar kita tidak terjebak dalam pemikiran yang keliru tentang makna kenikmatan dan ujian dalam kehidupan.
- Pertama, istidraj mengingatkan kita bahwa kenikmatan dunia bukanlah ukuran kemuliaan seseorang di sisi Allah. Banyak orang yang terpedaya dengan anggapan bahwa orang yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia adalah orang yang dicintai Allah. Padahal, kenikmatan dunia bisa jadi merupakan bentuk istidraj bagi mereka yang jauh dari Allah. Sebaliknya, kesulitan dan cobaan bisa jadi merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang beriman, sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan dan menghapus dosa-dosa mereka.
- Kedua, istidraj mengajarkan kita untuk tidak iri atau dengki kepada orang yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Ketika kita melihat orang yang berbuat maksiat namun rezekinya lancar, kita tidak perlu merasa iri atau mempertanyakan keadilan Allah. Justru, kita harus bersyukur karena Allah masih memberikan kita kesempatan untuk beribadah dan bertaubat, tidak membiarkan kita terjerumus dalam istidraj yang bisa membawa kita pada kebinasaan.
- Ketiga, istidraj menyadarkan kita akan pentingnya bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah. Syukur tidak hanya diucapkan melalui lisan, tetapi juga diwujudkan dalam perbuatan dengan menggunakan nikmat tersebut untuk hal-hal yang diridhai Allah. Dengan bersyukur, kita menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian Allah yang harus digunakan sesuai dengan kehendak-Nya.
- Keempat, istidraj mengajarkan kita untuk selalu waspada dan introspeksi diri. Kita harus selalu mengevaluasi diri sendiri, apakah kita sudah menjalankan kewajiban kita sebagai hamba Allah dengan baik atau belum. Jika kita merasa buruk dalam beribadah namun rezeki kita lancar, maka kita harus waspada dan segera memperbaiki diri.
- Kelima, istidraj mengingatkan kita akan adanya kehidupan akhirat yang kekal. Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara menuju kehidupan akhirat yang kekal. Oleh karena itu, kita tidak boleh terlalu mencintai dunia hingga melupakan tujuan utama kita diciptakan, yaitu beribadah kepada Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Allah berfirman dalam surat Al-Qashash ayat 60:
وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَزِيْنَتُهَا ۚوَمَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ وَّاَبْقٰىۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
Artinya: "Dan apa saja (kenikmatan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup di dunia dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti?"
Fenomena orang berdosa yang rezekinya lancar bukanlah tanda bahwa Allah ridha terhadap mereka, melainkan bisa jadi merupakan bentuk istidraj atau tipu daya Allah kepada hamba-Nya yang ingkar. Istidraj adalah pemberian kenikmatan duniawi yang berlimpah kepada seseorang yang jauh dari Allah, yang sebenarnya adalah bentuk azab yang tidak disadari oleh penerimanya.