Liputan6.com, Jakarta - Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tuntutan, banyak orang terjebak pada pencapaian lahiriah sebagai ukuran utama kebahagiaan. Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh ulama kharismatik yang dikenal luas di kalangan santri dan masyarakat umum, Gus Baha.
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, sosok yang dikenal sebagai ahli tafsir Al-Qur’an yang juga memiliki pemahaman mendalam tentang makna hidup dan hakikat ilmu. Ia menyampaikan bahwa hidup tidak harus dibebani dengan terlalu banyak keinginan yang justru memunculkan beban baru.
Gus Baha menjelaskan bahwa orang yang merasa cukup dalam hidup adalah orang yang paling pintar. Sebaliknya, orang yang merasa harus mencapai berbagai target untuk bahagia adalah orang yang sesungguhnya sedang dikuasai oleh kebodohan.
Pandangan tersebut mencerminkan nilai zuhud, yakni tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal duniawi yang berlebihan. Menurutnya, kebodohan bukan hanya soal tidak tahu, tetapi soal ketergantungan terhadap hal-hal yang tak esensial.
Dikutip Rabu (30/04/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @nderekgusbaha99, Gus Baha mengulas bahwa banyaknya kebutuhan seseorang justru memperlihatkan betapa miskinnya jiwa orang tersebut. Mereka terlalu banyak bergantung pada faktor eksternal untuk bisa merasa bahagia.
Ia memberikan contoh sederhana. Orang yang bahagia hanya dengan ngopi dan berbincang santai dengan teman adalah orang yang lebih pintar dibanding mereka yang harus menunggu diangkat jadi doktor atau kiai besar untuk merasa hidupnya berarti.
Dalam penjelasannya, Gus Baha mengutip Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa makna istighna (kecukupan) adalah ketika seseorang mampu hidup tanpa terlalu banyak bergantung pada hal lain. Kecukupan bukanlah memenuhi semua kebutuhan, melainkan menyadari bahwa tidak semua hal perlu dimiliki.
Simak Video Pilihan Ini:
Detik-Detik Evakuasi Penumpang saat Kapal Tenggelam
Penting Batin yang Merasa Cukup
Konsep ini menjadi penyeimbang dalam kehidupan yang kerap disibukkan dengan ambisi tiada akhir. Menurut Gus Baha, nafsu manusia tidak akan pernah puas, bahkan jika semua keinginan terpenuhi sekalipun.
Oleh karena itu, orang yang mampu menahan diri dan membatasi keinginannya termasuk orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi. Mereka bisa lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting.
Gus Baha menekankan bahwa hidup yang tenang tidak datang dari pencapaian besar, melainkan dari sikap batin yang merasa cukup. Ketenangan itu hasil dari pemahaman bahwa tidak semua impian harus dikejar.
Menurutnya, orang yang tidak banyak keinginan akan lebih mudah bahagia. Mereka lebih mudah bersyukur dan tidak mudah kecewa ketika harapan tak terpenuhi.
Lebih jauh, ia juga mengingatkan bahwa ketergantungan pada status sosial, pujian, atau gelar akademik adalah bentuk lain dari perbudakan modern. Manusia jadi lupa pada inti kehidupan yang sejati.
Ketika seseorang terlalu fokus mengejar prestasi lahiriah, ia justru kehilangan kedamaian batin. Itulah yang disebut Gus Baha sebagai kebodohan modern yang banyak tidak disadari.
Cukup Menurut Gus Baha
Gus Baha juga menyampaikan bahwa ilmu seharusnya membebaskan, bukan malah menambah beban. Ilmu yang benar akan membuat seseorang merasa cukup dan tidak serakah dalam urusan dunia.
Ia mencontohkan para ulama terdahulu yang hidupnya sederhana tapi bahagia. Mereka tak memiliki banyak harta, namun hati mereka lapang karena tidak diperbudak oleh ambisi duniawi.
Kecukupan menurut Gus Baha bukan soal angka atau jumlah, tetapi soal pengendalian diri. Orang yang bisa menahan diri dari banyak keinginan adalah orang yang benar-benar merdeka.
Pemahaman ini juga sejalan dengan banyak ajaran Al-Qur’an yang menekankan pada qana’ah dan tawakal. Dua sikap yang membawa manusia lebih dekat kepada ketenangan hakiki.
Dengan gaya khasnya yang tenang dan penuh humor, Gus Baha mengajak jamaah untuk merenung ulang: apakah hidup yang kita jalani ini benar-benar kita kendalikan, atau justru dikendalikan oleh ambisi?
Ia menutup ceramah dengan mengajak setiap orang untuk kembali pada kehidupan yang sederhana, namun penuh makna. Hidup yang tidak dikejar oleh hal-hal yang semu.
Dalam dunia yang makin materialistik, pesan Gus Baha ini menjadi pengingat penting bahwa kebahagiaan sejati terletak pada batin yang merasa cukup, bukan pada dunia yang terus ingin ditaklukkan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul