Liputan6.com, Jakarta Bepergian adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia. Ada kalanya seseorang harus meninggalkan tempat tinggalnya untuk bekerja, menuntut ilmu, beribadah, atau sekadar berlibur. Dalam pandangan Islam, tidak semua perjalanan dipandang sama. Ada jenis perjalanan yang disebut “safar”, dan pelakunya disebut “musafir”. Dalam kondisi ini, Islam memberikan berbagai keringanan hukum ibadah sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Seorang musafir memperoleh dispensasi dalam beberapa ibadah karena kesulitan yang mungkin dihadapi dalam perjalanan. Perjalanan yang jauh, perubahan kondisi fisik dan lingkungan, serta berbagai hambatan teknis menjadi alasan syariat memberikan kemudahan. Namun, status musafir tidak bisa disematkan sembarangan. Ada kriteria, syarat, dan ketentuan yang harus dipenuhi.
Liputan6.com akan mengulas secara lengkap tentang musafir adalah golongan orang yang diatur tersendiri menurut Islam, syarat-syaratnya, serta hak-hak keringanan atau rukhsah yang diberikan kepadanya, Kamis (10/7/2025).
Berita pelatih Persija Jakarta, Carlos Pena, curhat soal kesulitan yang ia hadapi saat Persija harus menjadi tim musafir bermain di luar Jakarta.
Pengertian Musafir dalam Islam
Kata musafir berasal dari bahasa Arab sāfara yang berarti bepergian. Dalam bentuk ism fā’il, kata ini menjadi musāfir, yang berarti orang yang sedang melakukan perjalanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musafir diartikan sebagai pengembara atau orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih).
Menurut para ulama, musafir adalah seseorang yang keluar dari tempat tinggalnya menuju suatu tempat tertentu dengan jarak tertentu dan dengan tujuan yang jelas. Dalam Buku Pintar Beribadah Dalam Perjalanan karya Mahima Diahloka disebutkan bahwa musafir bukan sekadar orang yang bergerak dari satu titik ke titik lain, tetapi seseorang yang memenuhi syarat-syarat tertentu dalam sebuah safar.
Hal ini juga ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 283 yang menyebut kata "safar" sebagai bentuk perjalanan yang memperbolehkan transaksi tanpa catatan tertulis:
"Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak menemukan penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang..." (QS. Al-Baqarah: 283)
Syarat Seseorang Disebut Musafir
Dalam literatur fikih, tidak semua perjalanan menjadikan seseorang sebagai musafir. Ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi:
-
Keluar dari Wathan (Tempat Tinggal)
- Seseorang belum dikatakan musafir jika belum benar-benar keluar dari batas tempat tinggalnya.
- Misalnya, keluar dari desa/kota yang memiliki batas berupa gapura atau bangunan terakhir.
-
Memiliki Tujuan Tertentu
- Perjalanan harus memiliki maksud yang jelas, seperti haji, bisnis, menuntut ilmu, atau silaturahmi.
- Perjalanan tanpa arah atau tujuan maksiat tidak termasuk dalam kriteria musafir.
-
Menempuh Jarak Minimal
- Menurut Imam Syafi’i, jarak minimal safar adalah sekitar 2 marhalah (sekitar 80,6 km).
- Pendapat lain menyebut 3 farsakh atau 3 hari perjalanan, seperti disebut dalam hadis riwayat Muslim.
- Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, jarak safar mempengaruhi ketentuan hukum ibadah yang dijalankan.
Musafir juga tidak boleh berniat tinggal di tempat tujuan lebih dari 4 hari 4 malam, karena jika demikian status musafirnya gugur.
Rukhsah bagi Musafir
Islam sebagai agama yang memudahkan, memberikan beberapa dispensasi bagi musafir dalam menjalankan ibadah. Dispensasi ini disebut rukhsah, yaitu perubahan hukum asal (azimah) menjadi hukum yang lebih ringan sesuai kondisi.
Dalam QS. An-Nisa: 101, Allah berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyangmu...” (QS. An-Nisa: 101)
Hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha juga menjadi dasar rukhsah musafir:
"Aku pernah keluar melakukan umrah bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadan, beliau berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau mengqashar shalat dan aku tidak..." (HR. Al-Daruquthuny)
Berikut beberapa bentuk rukhsah musafir:
-
Menqashar Shalat
- Shalat wajib 4 rakaat (zuhur, asar, isya) boleh dipersingkat menjadi 2 rakaat.
-
Menjama’ Shalat
- Menggabungkan dua shalat dalam satu waktu (zuhur dengan asar, maghrib dengan isya).
-
Menyapu Khuff
- Mengusap sepatu (khuff) saat wudhu tanpa harus membukanya.
-
Berbuka Puasa
- Musafir diperbolehkan berbuka di bulan Ramadan dan menggantinya di hari lain.
-
Tidak Shalat Jumat
- Musafir boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat zuhur.
-
Shalat di Atas Kendaraan
- Jika tidak memungkinkan turun, musafir boleh shalat di atas kendaraan dengan menghadap arah yang memungkinkan.
Namun rukhsah ini hanya berlaku bila perjalanan tersebut tidak bertujuan maksiat. Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menyebut bahwa hanya safar yang mubah atau mahmud (baik) yang memperbolehkan rukhsah.
FAQ Seputar Musafir dalam Islam
1. Apakah semua orang yang bepergian otomatis menjadi musafir dalam Islam?
Tidak. Seseorang hanya dianggap musafir jika memenuhi syarat: keluar dari tempat tinggalnya, memiliki tujuan jelas, dan menempuh jarak minimal sekitar 80 km.
2. Apakah musafir wajib menqashar atau menjama’ shalat?
Tidak wajib, tetapi diberi keringanan. Menqashar dan menjama’ adalah pilihan, bukan kewajiban.
3. Apakah musafir boleh tetap berpuasa saat Ramadan?
Boleh. Namun jika puasa terasa berat, musafir diperbolehkan berbuka dan mengganti di hari lain.
4. Bagaimana jika musafir tinggal lebih dari 4 hari di tempat tujuan?
Status musafirnya gugur. Ia wajib menjalankan ibadah seperti orang mukim (tetap), tanpa keringanan.
5. Apakah boleh menjama’ shalat saat bepergian untuk tujuan wisata?
Boleh, selama perjalanan itu tidak dalam rangka melakukan maksiat, maka tetap berlaku rukhsah musafir.