Liputan6.com, Cilacap - Pada abad ke-7 Masehi (674-695 M), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah berada di bawah pemerintahan Ratu Shima, seorang penguasa yang bijak dan adil. Ia dikenal karena kebijaksanaannya dalam memerintah dan kemakmurannya yang membuat rakyatnya hidup sejahtera.
Ratu Shima merupakan salah satu contoh kepemimpinan perempuan yang sukses dan berpengaruh dalam sejarah Jawa. Salah satu kisah yang cukup populer ialah cerita tentang Ratu Shima dan sekeping emas. Kisah itu menggambarkan ketegasan Ratu Shima dalam menegakan hukum berkaitan dengan dengan harta atau barang yang bukan menjadi hak seseorang.
Diceritakan, Raja Besar Arab yang terlibat dalam kisah ini dibuat takjub oleh ketegasan Ratu Shima yang menerapkan hukum secara adil. Berdasarkan penelitian para sejarahwan, Raja Besar Arab itu merujuk pada seseorang yang merupakan khalifah Bani Umayah, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW.
Berkaitan dengan Ratu Shima dan kisah sekeping emas memberikan pesan akan keberhasilan seorang pemimpin perempuan yang membuat rakyatnya sejahtera dan berhasil mendidik karakteristik rakyatnya menjadi pribadi yang jujur dan tidak mau mencuri atau mengambil barang yang bukan miliknya.
Dirangkum dari berbagai sumber, Senin (30/06/25), berikut ini kisah Ratu Shima dan sekantung emas yang membuat takjub Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan salah satu kisah yang sangat menginspirasi dalam sejarah Jawa.
Simak Video Pilihan Ini:
1 dari 2 Korban Tenggelam Pantai Bunton Cilacap dan Gili Anyar Kebumen Ditemukan
Ratu Shima dan Sekeping Emas
Ratu Shima adalah pemimpin wanita yang menggantikan kekuasaan Raja Kartikeyasingha, dan menjadi penguasa yang sangat dihormati karena keberaniannya menegakkan hukum. Dalam catatan sejarah, ia dikenal sebagai ratu yang tegas, adil, dan tidak segan menghukum siapapun, termasuk keluarganya sendiri bila melanggar hukum kerajaan.
Salah satu kisah paling terkenal dari kepemimpinannya adalah kisah sekeping emas. Dikisahkan, ada seorang pedagang asing yang menguji kejujuran rakyat Kalingga dengan meletakkan sekeping emas di tengah jalan. Selama bertahun-tahun, tidak ada satu pun warga yang berani menyentuh emas tersebut.
Ada pula yang bercerita bahwa seseorang yang mencoba kejujuran masyarakat Kalingga ialah seoang Raja yang berasal dari Arab yang bernama Ta-Cheh.
Secara diam-diam, Raja Ta-Cheh menaruh sekantung emas di persimpangan jalan, dekat dengan alun-alun kerajaan. Ia ingin mengetahui apakah ada rakyat Kalingga yang berani mengambil barang yang bukan milik mereka.
Setelah berbulan-bulan, ternyata kantung tersebut masih tergeletak di sana. Akan tetapi, terjadi kesalahpahaman ketika Pangeran Narayana yang merupakan putra Ratu Shima tidak sengaja menyentuh kantung tersebut dengan kakinya.
Sebagai seorang ibu, Ratu Shima tidak pandang bulu dalam memberikan hukuman. Ia menjatuhkan hukuman mati kepada Narayana meskipun sebenarnya Ratu Shima sangat menyayanginya. Seluruh pejabat dan keluarga istana Kerajaan Kalingga memohon keringanan kepada Ratu Shima agar pangeran Narayana diberikan ampunan.
Namun, Ratu Shima masih tetap dengan pendiriannya untuk menegakkan keadilan. Akhirnya, hukuman mati dibatalkan dan kaki Narayana dipotong sebagai hukumannya karena telah menyentuh barang yang bukan miliknya.
Mendengar kisah itu, Raja Ta-Cheh yang sejainya hendak menyerang kerajaan Kalingga akhirnya mengurungkan niatnya sebab takjub atas kejujuran rakyat Kalingga dan ketegasan pemimpinnya dalam menegakan hukum tanpa pandang bulu.
Benarkah Raja Ta-Cheh itu Muawiyah bin Abu Sufyan?
Menukil laman Jakarta Islamic Centre, terkait dengan penelitian sejarah-sejarah kuno di Nusantara itu, Buya Hamka menyebutkan bahwa dapat disimpulkan bahwa yang dinamai oleh ahli sejarah dalam catatan China itu bahwa Chopo adalah Tanah Jawa, dan Holing adalah Kerajaan Kalingga.
Sementara Ratu Sima, adalah Ratu Sima seorang raja perempuan di Kerajaan Kalingga pada masa itu, dan diakui pula dalam sejarah bahwa beberapa kali Kerajaan Kalingga mengirim utusan ke Negeri China.
Adapun Ta-Cheh, adalah nama yang diberikan oleh orang China kepada seorang Arab. Dalam catatan itu disebutkan yaitu Raja Ta-Cheh yang berarti Raja Arab.
“Maka, berkerutlah kening para peneliti di Barat itu mencari siapa agaknya Raja Ta-Cheh itu. Bahkan, ada saja yang mengambil keputusan bahwa catatan China itu adalah dongeng saja. Tetapi belakangan ini sudah timbul dalam kalangan mereka yang meninjau kembali dengan seksama tulisan dalam catatan China itu,” tulis Buya Hamka.
Hamka kemudian melanjutkan, bahwa Raja Besar Arab yang mahsyur pada masa itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia adalah salah satu sahabat Nabi dan peletak dasar kekhalifahan Dinati Bani Umayyah.
“Amat besar kemungkinan tidak ada orang lain tempat memasangkan Raja Ta-Cheh itu melainkan Muawiyah. Besar kemungkinan bahwa penyelidikan ke Tanah Jawa ini amat rapat persangkutannya dengan usaha beliau mendirikan armada Islam. Sebab, beliaulah yang mula-mula mendirikan armada angkatan laut dalam kekhalifahan Islam. Mungkin sekali bahwa setelah utusan itu atau mata-mata menyelidiki sendiri ke Tanah Jawa dan menguji informasi tentang keteguhan hati Ratu Simo. baginda hendak mengirim utusan memasuki pulau-pulau Melayu (Nusantara),” tulis Hamka.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul