Liputan6.com, Jakarta - Ijtihad adalah hukum Islam yang memungkinkan para ahli hukum untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah baru yang tidak secara eksplisit dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadis.
Ijtihad menjadi jembatan antara teks-teks agama yang abadi dan realitas kehidupan yang terus berubah.
Ijtihad adalah upaya seorang ahli hukum (mujtahid) untuk menetapkan hukum syariat atas suatu masalah yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad adalah sumber hukum ketiga setelah Al-Qur'an dan Hadis.
Ali Hasballah dalam buku Metode Istinbat Hukum Islam Kontemporer, menjelaskan ruang lingkup ijtihad yaitu permasalahan yang tidak diatur secara tegas dalam nash Al-Qur'an maupun sunnah nabi, serta belum ada kesepakatan ulama tentangnya.
Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya, Senin (7/7/2025).
Tilawah adalah bacaan yang mulia. Adapun tilawah dalam konteks Al-Qur’an adalah perintah membacanya dan mengikuti bacaan itu dengan pengamalan. Qiraah atau iqra biasa diterjemahkan dengan membaca, bacalah. Tetapi dari segi istilah kata qiraah itu o...
Memahami Ijtihad Lebih Dalam
Ijtihad adalah proses penalaran hukum yang dinamis, memungkinkan para ulama dan ahli hukum Islam merespons berbagai persoalan baru seiring perkembangan zaman. Secara etimologis, ijtihad berasal dari bahasa Arab 'jahada' yang berarti bersungguh-sungguh atau mengerahkan segala kemampuan.
Dalam terminologi hukum Islam, ijtihad didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih (mujtahid) untuk memperoleh hukum syariat yang bersifat operasional melalui metode istinbath (penggalian hukum) dari sumber-sumbernya.
Melansir dari buku Risalah Ushul Fiqh oleh Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, ijtihad secara bahasa artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Ijtihad biasa dipakai pada perkara yang mengandung kesulitan. Tidak dikatakan berijtihad jika hanya menyangkut hal ringan.
Hukum Ijtihad
Hukum melakukan ijtihad bergantung pada beberapa faktor. Ijtihad wajib (fardhu 'ain) bagi seseorang jika ia menghadapi masalah hukum yang belum ada penjelasannya dan jika tidak dijawab akan berakibat kesalahan dalam pelaksanaan hukum atau habisnya waktu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ijtihad mubah (boleh) jika dilakukan untuk masalah yang tidak mendesak atau tidak memiliki implikasi hukum yang signifikan. Ijtihad haram jika dilakukan pada masalah yang sudah ada nash qath'i (pasti) dari Al-Qur'an atau Hadis mutawatir; jika dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat mujtahid; atau jika bertujuan menentang ijma' (konsensus) ulama yang sudah mapan.
Rukun Ijtihad
Terdapat beberapa pendapat mengenai rukun ijtihad, namun umumnya mencakup
- Al-Waqi' (Kasus): Adanya masalah atau kasus yang belum dijelaskan dalam nash (Al-Qur'an dan Hadis).
- Mujtahid (Orang yang Berijtihad): Seseorang yang memiliki kompetensi dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad.
- Mujtahid Fihi (Objek Ijtihad): Hukum syariat yang bersifat amali atau taklifi (perintah atau larangan).
- Dalil Syara' (Dalil Hukum): Dasar-dasar hukum yang digunakan untuk menetapkan hukum, seperti Al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas.
Syarat Ijtihad
Syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mujtahid meliputi syarat umum dan syarat keahlian. Syarat umum yaitu Muslim, baligh, berakal sehat, dan adil (dhabit).
Syarat keahlian yaitu penguasaan bahasa Arab yang komprehensif, pemahaman mendalam Al-Qur'an dan Hadis, pengetahuan luas tentang ushul fiqih, pemahaman tentang ijma', memahami maqashid al-syariah, kemampuan penalaran dan analisis yang kuat, serta niat yang ikhlas semata-mata mencari ridho Allah.
Mengutip dari buku Pengantar Ilmu Ushul Fiqh susunan Muchtim Humaidi, Abdul Karim Zaidan mengemukakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan dan mencurahkan kemampuan pada suatu pekerjaan. Maksudnya, ijtihad digunakan untuk mengungkapkan pengerahan kemampuan dalam mewujudkan sesuatu kesulitan atau beban yang dituju.
Ijtihad merupakan proses penalaran hukum yang dilakukan ketika tidak ditemukan ketentuan eksplisit dalam Al-Qur'an maupun Hadits mengenai suatu permasalahan. Melalui ijtihad, seorang mujtahid berupaya menemukan solusi hukum dengan menggali makna implisit dari nash (teks Al-Qur'an dan Hadits) serta menerapkan prinsip-prinsip umum syariat pada kasus-kasus baru.
Sementara menurut Imam al-Ghazali, ijtihad adalah kesungguhan usaha seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat.
Fungsi Ijtihad dalam Perkembangan Hukum Islam
Setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., para sahabat berijtihad dalam menentukan hukum berdasarkan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Metode ijtihad kemudian berkembang dengan munculnya berbagai pendekatan, seperti qiyas (analogi), ijma' (kesepakatan ulama), dan istihsan (pertimbangan kemaslahatan).
Para tabiin dan ulama dari berbagai mazhab juga turut berperan dalam memperkaya khazanah ijtihad agar hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Seiring dengan itu, ijtihad menuntut usaha yang maksimal dan optimal dari para mujtahid, serta kemampuan dalam menanggung beban berat dalam mencari kebenaran hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Melansir buku Fikih Kontemporer karya Gibtiah, ijtihad berfungsi sebagai tiga hal:
- Al-Ruju atau al-I'adah (kembali), adalah mengembalikan ajaran Islam kepada sumber pokoknya (Al-Qur'an dan sunnah) dari segala penjelasan yang memungkinkan kurang relevan.
Fungsi ini menekankan pentingnya kembali kepada sumber-sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, dalam mencari solusi terhadap permasalahan hukum. Ijtihad dalam konteks ini berfungsi untuk membersihkan ajaran Islam dari interpretasi atau penjelasan yang mungkin tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
- Al-Ihya (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu menjadi agama yang memberi petunjuk sebagai umatnya.
Fungsi ini menekankan pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai dan semangat ajaran Islam agar dapat menjawab tantangan zaman. Ijtihad dalam konteks ini berfungsi untuk memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan modern.
- Al-Inabah (pembenahan), yakni menata kembali ajaran Islam yang telah di-ijtihad-i oleh ulama terdahulu yang memungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan lokasi yang dihadapi kaum muslim.
Fungsi ini menekankan pentingnya menata kembali ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama terdahulu. Ijtihad dalam konteks ini berfungsi untuk mengoreksi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam ijtihad sebelumnya, sesuai dengan konteks zaman, keadaan, dan lokasi yang dihadapi oleh umat Muslim.
- Menjawab Permasalahan Umat Islam
Ijtihad digunakan para ulama untuk menjawab permasalahan yang timbul di antara kaum muslim, dan belum diketahui status hukumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ijtihad ini penting dalam perkembangan hukum Islam. Seorang ulama bahkan menyatakan ijtihad tidak boleh terhenti pada suatu zaman lantaran sedemikian krusialnya.
- Memastikan Hukum Islam Relevan
Ijtihad adalah mekanisme penting dalam Islam untuk menghadapi tantangan zaman dan menjaga relevansi hukum Islam. Namun, ijtihad harus dilakukan oleh orang yang berkompeten dan sesuai dengan kaidah-kaidah ushul fiqih yang telah ditetapkan. Ijtihad yang benar akan membawa kemaslahatan bagi umat dan mendekatkan mereka kepada kebenaran dan keadilan sesuai dengan ajaran Islam.
Metode Ijtihad yang Umum Digunakan
Dalam melakukan ijtihad, para ulama menggunakan berbagai metode yang telah diakui. Metode-metode ini mencakup qiyas (analogi), istihsan (mencari yang terbaik), istishab (keberlanjutan hukum), dan istislah (mempertimbangkan maslahat).
Qiyas merupakan metode yang menggabungkan atau menyamakan suatu perkara baru dengan perkara terdahulu yang memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, dan aspek lainnya. Sementara istihsan adalah metode pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan kebaikan yang lebih kuat.
Mengutip buku Metode Istinbat Hukum Islam Kontemporer, Sutrisno menyebutkan, ijtihad digunakan para ulama untuk menjawab permasalahan yang timbul di antara kaum muslim, dan belum diketahui status hukumnya.
Dari segi tingkatannya, ijtihad dapat dibagi menjadi beberapa jenis:
- Ijtihad Muthlaq: kegiatan ijtihad yang bersifat mandiri.
- Ijtihad fi al-Madzhab: ijtihad yang menggunakan metode istinbath hukum dari imam mazhab.
- Ijtihad at-Takhrij: ijtihad untuk masalah yang belum pernah difatwakan.
- Ijtihad at-Tarjih: ijtihad untuk memilih pendapat yang lebih kuat.
- Ijtihad al-Futya: ijtihad dalam bentuk penguasaan dan penyampaian fatwa.
Di era modern, ijtihad memainkan peran yang semakin vital dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer.
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Metode atau cara berijtihad adalah :
- Ijma
Ijma adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Contohnya, kesepakatan ulama tentang haramnya rokok berdasarkan pertimbangan kesehatan dan kemaslahatan umat.
Ijma' merupakan salah satu metode ijtihad yang penting karena mencerminkan konsensus ulama terhadap suatu permasalahan. Kesepakatan ini menjadi landasan hukum yang kuat dan memberikan kepastian hukum bagi umat Islam.
- Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Quran dan As Sunnah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al Quran dan sunnah Rasul karena persamaan illatnya. Contohnya, mengharamkan narkotika karena memiliki efek memabukkan seperti khamr (minuman keras).
Qiyas memungkinkan para ulama untuk menetapkan hukum terhadap permasalahan baru yang belum diatur secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dengan menggunakan analogi, para ulama dapat menerapkan prinsip-prinsip hukum yang ada pada kasus yang serupa.
- Istidlal
Istidlal adalah menetapkan dalil suatu peristiwa. Contohnya, menetapkan hukum tentang penggunaan media sosial berdasarkan dalil-dalil umum tentang menjaga lisan dan menghindari fitnah.
Istidlal melibatkan penggunaan dalil-dalil umum dari Al-Qur'an dan Sunnah untuk menetapkan hukum terhadap suatu permasalahan. Metode ini memungkinkan para ulama untuk memberikan solusi hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
- Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Quran maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Contohnya, menetapkan kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam berdasarkan pertimbangan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Mashlahah Mursalah memungkinkan para ulama untuk menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum. Metode ini memberikan fleksibilitas dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
- Istihsan
Istihsan adalah cara menemukan hukum dengan cara menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadaan. Contohnya, memperbolehkan jual beli dengan sistem online meskipun tidak ada pertemuan langsung antara penjual dan pembeli, karena hal itu memudahkan transaksi dan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
Istihsan memungkinkan para ulama untuk menyimpang dari ketentuan hukum yang sudah ada demi mencapai keadilan dan kepentingan sosial. Metode ini memberikan fleksibilitas dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Hujjah Ijtihad Bersumber dari Al-Qur'an, Hadis, dan Akal Sehat
Hujjah ijtihad bersumber dari Al-Qur'an, Hadis, dan akal sehat. Ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid yang memenuhi syarat dan menggunakan metode yang benar memiliki kekuatan sebagai hujjah (argumen) dalam menetapkan hukum. Namun, ijtihad tetap berada di bawah Al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber hukum utama.
Ijtihad yang bertentangan dengan nash qath'i tidak diterima. Jumhur ulama membolehkan ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan dalil dari Al Quran dan Hadits Rasulallah SAW.
Allah menciptakan islam sebagai penutup agama-agama dan menjadikan syariatnya cocok untuk setiap tempat dan waktu. Sebagaimana kita ketahui nash-nash dari Al Quran dan Al Hadits terbatas jumlahnya. Sedang peristiwa-peristiwa yang dihadapi para manusia selalu timbul dengan tidak terbatas.
Oleh karena itu, tidak mungkin bahwa nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menentukan peristiwa-peristiwa manusia yang sewaktu-waktu timbul dengan jumlahnya yang tidak terbatas itu, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru tanpa melalui ijtihad.
Untuk melakukan ijtihad, seorang mujtahid harus memenuhi berbagai persyaratan ketat. Pertama, mereka harus memahami dan menguasai ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an serta hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.
Para mujtahid juga dituntut untuk mengetahui objek ijma' ulama terdahulu agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan kesepakatan yang telah ada. Mereka juga harus menguasai metodologi qiyas, syarat-syarat penerapannya, serta pemahaman tentang illat (alasan) hukum.
FAQ
1. Apa itu ijtihad dalam hukum Islam?
Jawaban: Ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang ahli hukum Islam (mujtahid) untuk menetapkan hukum syariat terhadap suatu permasalahan yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga setelah Al-Qur'an dan Hadis, dan digunakan untuk menjaga agar hukum Islam tetap relevan dalam menghadapi persoalan-persoalan baru.
2. Kapan ijtihad boleh dilakukan dan kapan tidak?
Jawaban: Ijtihad boleh dilakukan ketika menghadapi persoalan yang tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadis serta belum ada ijma' (kesepakatan ulama). Ijtihad tidak boleh dilakukan jika masalah tersebut sudah memiliki ketetapan hukum yang pasti (qath’i), seperti kewajiban salat atau larangan zina, dan jika dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat sebagai mujtahid.
3. Siapa yang boleh melakukan ijtihad?
Jawaban: Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh mujtahid, yaitu orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu seperti: beragama Islam, baligh, berakal sehat, memiliki pemahaman mendalam terhadap Al-Qur'an dan Hadis, menguasai bahasa Arab, memahami ilmu ushul fiqih dan maqashid al-syariah, serta memiliki kemampuan analisis hukum yang tajam dan niat ikhlas.
4. Apa saja rukun ijtihad yang harus dipenuhi?
Jawaban: Rukun ijtihad umumnya mencakup empat hal:
- Al-Waqi': Adanya permasalahan atau kasus yang belum dijelaskan dalam nash.
- Mujtahid: Orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
- Mujtahid Fihi: Objek ijtihad, yaitu hukum yang ingin ditetapkan.
- Dalil Syara': Sumber-sumber hukum seperti Al-Qur'an, Hadis, ijma’, dan qiyas yang digunakan dalam proses penalaran hukum.
5. Apa metode utama yang digunakan dalam ijtihad?
Jawaban: Metode ijtihad mencakup beberapa pendekatan, antara lain:
- Qiyas: Menetapkan hukum suatu kasus baru berdasarkan analogi dengan kasus terdahulu.
- Istihsan: Memilih hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang lebih kuat.
- Istishab: Menganggap hukum yang berlaku sebelumnya masih tetap berlaku jika tidak ada dalil baru.
- Istislah: Menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan syariat.
6. Apa fungsi ijtihad dalam perkembangan hukum Islam?
Jawaban: Ijtihad berfungsi untuk:
- Menjawab persoalan baru yang tidak dijelaskan dalam teks suci.
- Menjaga relevansi ajaran Islam terhadap perubahan zaman.
- Menghidupkan kembali semangat nilai-nilai Islam (al-ihya).
- Membenahi pandangan lama yang kurang relevan dengan kondisi terkini (al-inabah).
- Mengembalikan hukum pada sumber utamanya jika terjadi kekeliruan (al-ruju’).
7. Apakah ijtihad masih diperlukan di masa kini?
Jawaban: Ya, ijtihad tetap diperlukan karena umat Islam terus menghadapi tantangan dan persoalan baru yang tidak pernah muncul di masa Nabi atau para sahabat. Melalui ijtihad, hukum Islam dapat terus dikembangkan secara bertanggung jawab dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat, menjadikannya fleksibel namun tetap otentik.