Pesan Toleransi Al Maidah 48, Panduan Memutuskan Masalah Sesuai Syariat

2 months ago 21

Liputan6.com, Jakarta Di tengah kompleksitas kehidupan modern, umat Islam seringkali dihadapkan pada berbagai perbedaan pendapat dan keyakinan. Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, memberikan arahan yang jelas dalam menghadapi situasi tersebut. Salah satu ayat yang menjadi landasan penting adalah Al-Maidah ayat 48.

Ayat ini menjelaskan tentang kedudukan Al-Qur'an sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam buku Tafsir Ibnu Katsir karya Ismail bin Umar ad-Dimasyqi, ayat ini menjelaskan posisi Al-Qur’an sebagai kitab yang “muhaiminan ‘alaih”—yakni berfungsi sebagai pemelihara dan pengawas atas kitab-kitab terdahulu seperti Taurat dan Inji. Al-Qur'an membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab suci sebelumnya, dan menjadi penjaganya.

Al-Maidah ayat 48 juga memberikan pedoman dalam menyelesaikan perselisihan dengan berhukum berdasarkan Al-Qur'an, bukan mengikuti hawa nafsu. Ayat ini juga menjelaskan bahwa setiap umat memiliki syariat dan jalan hidup masing-masing, yang merupakan ujian dari Allah SWT.

Berikut Liputan6.com ulas lengkap tentang al maidah 48 dan penjelasannya dirangkum dari berbagai sumber, Selasa (8/7/2025).

Seorang pria bagikan momen ketika dirinya menemukan Al-Quran di dasar laut. Dari video yang ia bagikan, terlihat jelas kondisi Al-Quran tersebut masih bisa dibaca dengan jelas.

Arab, Latin, dan Terjemah Al Maidah 48

Berikut adalah teks arab, latin, dan terjemah dari QS Al-Maidah ayat 48:

Teks Arab QS Al-Mā’idah Ayat 48 

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ 

(Sumber: Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama RI, 2019)

Bacaan Latin QS Al-Mā’idah Ayat 48 

Wa anzalnā ilaikal-kitāba bil-ḥaqqi muṣaddiqal limā baina yadaihi minal-kitābi wa muhaiminan ‘alaihi, faḥkum bainahum bimā anzalallāh, wa lā tattabi‘ ahwā’ahum ‘ammā jā’aka minal-ḥaqq. Likullin ja‘alnā minkum syir‘atan wa minhājan. Wa lau syā’allāhu la ja‘alakum ummatan wāḥidah, wa lākin li-yabluwakum fīmā ātākum, fastabiqūl-khairāt. Ilallāhi marji‘ukum jamī‘an fa-yunabbi’ukum bimā kuntum fīhi takhtalifūn. (Sumber: “Tafsir al-Muyassar”, Markaz al-Malik Fahd li Thibā’ah al-Muṣḥaf asy-Syarīf, 2000)

Terjemahan Bahasa Indonesia (Resmi Kemenag RI) 

"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai penjaga terhadapnya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan." 

(Sumber: Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kementerian Agama RI, Edisi Mushaf Standar Indonesia, 2019)

Analisis Terjemah  Al Maidah 48

Dalam Tafsir Ibnu Katsir karya Ismail bin Umar ad-Dimasyqi, ayat ini menjelaskan posisi Al-Qur’an sebagai kitab yang “muhaiminan ‘alaih”—yakni berfungsi sebagai pemelihara dan pengawas atas kitab-kitab terdahulu seperti Taurat dan Injil (lihat: Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, Darul Fikr, hlm. 89).

Sementara itu, dalam Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa kata “syir‘atan wa minhājan” berarti aturan dan metode hidup. Ini menunjukkan bahwa setiap umat memiliki syariat yang berbeda, dan perbedaan itu merupakan bentuk ujian dari Allah untuk melihat siapa yang paling baik amalnya (lihat: Tafsir al-Misbah, Jilid 3, Lentera Hati, 2002, hlm. 160).

Pesan Toleransi dalam Al Maidah 48

 1. Al-Qur’an sebagai saksi dan penguji atas kitab sebelumnya 

Al-Qur’an sebagai saksi dan penguji atas kitab sebelumnya. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, Al-Qur’an turun sebagai muṣaddiq (pembenar) dan muhaimin (penjaga/otoritas pembanding) terhadap kitab-kitab sebelumnya. Ini menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak serta-merta menggantikan semua ajaran lain, melainkan menjadi tolok ukur serta pengawas atas kebenaran mereka.

 2. Pengakuan terhadap syariat dan jalan hidup yang berbeda 

Pengakuan terhadap syariat dan jalan hidup yang berbeda. Ayat ini menyatakan bahwa setiap umat memiliki syariat (syir'ah) dan jalan hidup (minhaj) masing-masing. Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ini mencakup sistem hukum, nilai, dan etika yang menyesuaikan kondisi sosial-budaya umat tersebut.

 3. Keragaman adalah kehendak Ilahi, bukan kesalahan 

Keragaman adalah kehendak Ilahi, bukan kesalahan. Quraish Shihab menekankan bahwa Allah, jika menghendaki, bisa menyatukan semua umat. Tidak seperti itu, karena Allah ingin menguji manusia melalui perbedaan—agar mereka “berlomba dalam kebajikan” bukan dalam penindasan.

 4. Ujian toleransi dan amal kebaikan 

Ujian toleransi dan amal kebaikan. Menurut Tafsir al-Qurthūbī dan As-Saʿdī, perbedaan syariat ini justru merupakan bentuk ujian toleransi. Umat Islam dipanggil untuk menghormati perbedaan dan berkompetisi dalam amal baik, bukan memaksakan kebenaran mereka.

 5. Landasan teologis untuk pluralisme dan toleransi 

Landasan teologis untuk pluralisme dan toleransi. Berbagai penelitian—termasuk jurnal Konteks Lokal dalam Penafsiran… dan karya Kusnadi—menyoroti bahwa ayat ini adalah bukti teologis keberagaman yang diridhai Allah, dan menjadi landasan bagi dialog antaragama yang damai.

Panduan Memutuskan Masalah Sesuai Syariat di Tengah Perbedaan Menurut Al Maidah 48

QS Al-Mā’idah: 48 memberikan pedoman penting dalam memutuskan perkara sesuai syariat, terutama dalam situasi masyarakat yang plural dan di tengah perbedaan hukum agama. Ayat ini memuat tiga prinsip utama: berpegang pada wahyu, tidak mengikuti hawa nafsu, dan memahami hikmah di balik perbedaan syariat.

 1. Dasar Hukum: Al-Qur’an sebagai Otoritas Tertinggi 

Dasar Hukum: Al-Qur’an sebagai Otoritas Tertinggi. Allah berfirman: “…Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS Al-Mā’idah: 48). Menurut Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab (2002: Jilid 3, hal. 160), ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. diperintahkan untuk menjadi hakim dengan menggunakan hukum yang diturunkan Allah, yaitu Al-Qur’an.

 2. Larangan Mengikuti Hawa Nafsu dalam Hukum 

Larangan Mengikuti Hawa Nafsu dalam Hukum. Menurut Tafsir Ibnu Katsir (cet. Dar al-Fikr, Beirut, 1999, jilid 2, hal. 66), “mengikuti hawa nafsu” dalam ayat ini bermakna tunduk kepada keinginan individu atau kelompok tertentu dalam menentukan hukum, bukan kepada wahyu. Hal ini ditekankan karena pada masa Nabi, sebagian Ahli Kitab datang kepada beliau dengan harapan agar beliau menetapkan hukum yang sesuai dengan keinginan mereka, bukan kebenaran.

 3. Mengakui dan Menghargai Perbedaan Syariat 

Mengakui dan Menghargai Perbedaan Syariat. Masih dalam ayat yang sama, Allah berfirman: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan yang terang (minhaj).” Penjelasan tafsir Tafsir al-Muyassar terbitan King Fahd Complex (2007), menyatakan bahwa setiap umat diberikan hukum yang sesuai dengan kondisi zaman dan komunitasnya.

 4. Praktik Syariat dan Tanggung Jawab Akhirat 

Praktik Syariat dan Tanggung Jawab Akhirat. Menutup ayat, Allah berfirman: “…Kemudian kepada Allah-lah kamu akan kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu.” Penegasan ini, menurut buku “Tafsir al-Azhar” karya Prof. Dr. Hamka (1982: Jilid 5, hal. 193), menunjukkan bahwa meskipun manusia berbeda dalam pelaksanaan syariat, pertanggungjawaban tetap bersifat individual dan akan diselesaikan oleh Allah kelak di akhirat.

Memaknai Tafsir Al Maidah 48

Dalam Tafsir Ibnu Katsir karya Ismail bin Umar ad-Dimasyqi, ayat ini menjelaskan posisi Al-Qur’an sebagai kitab yang “muhaiminan ‘alaih”—yakni berfungsi sebagai pemelihara dan pengawas atas kitab-kitab terdahulu seperti Taurat dan Injil. Sementara itu, dalam Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa kata “syir‘atan wa minhājan” berarti aturan dan metode hidup.

Ini menunjukkan bahwa setiap umat memiliki syariat yang berbeda, dan perbedaan itu merupakan bentuk ujian dari Allah untuk melihat siapa yang paling baik amalnya. Ayat ini mengajarkan toleransi dalam perbedaan syariat antar umat, namun tetap teguh menjalankan syariat Islam sebagai petunjuk kebenaran.

Setiap umat diuji dengan hukum yang diberikan, sehingga kita dilarang memaksa orang lain, tetapi tetap kokoh dalam prinsip agama. Al-Qur’an diturunkan sebagai kitab yang mengoreksi dan meluruskan, bukan hanya mengikuti.

Ini menjadi motivasi agar bangga dengan Al-Qur’an dan tidak minder membawa identitas Islam, karena Allah sendiri yang menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk yang paling benar untuk kehidupan.

QnA Seputar Al Maidah 48

Berikut adalah beberapa pertanyaan dan jawaban seputar Al Maidah 48:

1. Apa isi singkat dari Al-Maidah ayat 48?

Allah menurunkan Al-Qur’an dengan kebenaran sebagai kitab terakhir, membenarkan kitab sebelumnya dan menjadi penjaga (muhaymin) atas kitab-kitab sebelumnya. Umat Islam diperintahkan mengikuti hukum Allah, tidak mengikuti hawa nafsu, dan Allah menguji manusia atas syariat masing-masing.

2. Apa arti “muhayminan ‘alaihi” dalam ayat ini?

Kata مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ (muhayminan ‘alaihi) berarti “menjadi penjaga atasnya.” Artinya, Al-Qur’an membenarkan kitab-kitab sebelumnya sekaligus menjadi penyaring dan korektor dari penyimpangan yang terjadi dalam kitab sebelumnya.

3. Bagaimana ayat ini relevan dengan kehidupan masyarakat multikultural saat ini?

Ayat ini mengajarkan toleransi dalam perbedaan syariat antar umat, namun tetap teguh menjalankan syariat Islam sebagai petunjuk kebenaran. Setiap umat diuji dengan hukum yang diberikan, sehingga kita dilarang memaksa orang lain, tetapi tetap kokoh dalam prinsip agama.

4. Apa pelajaran terpenting dari ayat ini untuk anak muda?

✨Tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai panduan hidup dalam memilih pergaulan, gaya hidup, dan sikap sehari-hari. ✨ Tidak mudah tergoda mengikuti hawa nafsu atau arus tren yang bertentangan dengan syariat. ✨ Menghormati perbedaan keyakinan sambil tetap menjaga identitas sebagai Muslim.

5. Bagaimana ayat ini menjadi motivasi untuk tidak minder sebagai Muslim?

Al-Qur’an diturunkan sebagai kitab yang mengoreksi dan meluruskan, bukan hanya mengikuti. Ini menjadi motivasi agar bangga dengan Al-Qur’an dan tidak minder membawa identitas Islam, karena Allah sendiri yang menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk yang paling benar untuk kehidupan.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |