Liputan6.com, Jakarta - Tak semua pasangan menyadari bahwa keharmonisan rumah tangga tidak dibangun hanya dengan cinta, tetapi juga dengan tutur kata dan sikap yang terjaga. Banyak relasi suami-istri hancur bukan karena kurangnya cinta, melainkan karena ucapan yang menyakiti dan saling merendahkan satu sama lain.
Dalam kehidupan rumah tangga, kesantunan dalam berbicara menjadi salah satu pilar utama. Sayangnya, kata-kata kasar kerap muncul dalam konflik rumah tangga, dan dianggap wajar oleh sebagian orang. Padahal, dampaknya sangat dalam dan bisa mengikis rasa cinta secara perlahan.
Pendakwah kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang dikenal sebagai Buya Yahya memberikan penjelasan tegas mengenai ciri-ciri laki-laki dan wanita yang baik dalam kehidupan rumah tangga. Ucapan-ucapan yang tidak pantas menurutnya bukan bagian dari pribadi yang mulia.
Buya Yahya menjelaskan bahwa laki-laki yang baik tidak akan mencaci istrinya, meskipun istrinya sedang dalam keadaan yang membuatnya pantas dimarahi. Ia akan tetap menjaga lisannya karena paham, caci maki tidak akan memperbaiki keadaan.
“Laki-laki baik itu tidak akan mencaci istrinya. Biarpun sang istri layak dicaci, pahami makna ini. Dia akan menjaga lisannya,” ujar Buya Yahya dalam ceramahnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Kurangi Sampah Plastik, Gerakan Pasti Gandeng APPSI Gelar Program Hijaukan Pasar Kita
Wanita dan laki-laki Baik Itu Tidak Mencaci
Dikutip Kamis (03/07/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @albahjah-tv, Buya Yahya menyampaikan pentingnya menjaga ucapan di dalam rumah tangga, karena dari sanalah cinta akan tumbuh atau hancur.
Sebaliknya, wanita yang baik juga digambarkan sebagai sosok yang tidak mencaci suaminya, sekalipun merasa sangat kecewa atau marah terhadap perlakuan suami. Ia tetap memilih untuk menahan diri dan menjaga lisan.
“Wanita atau istri yang baik adalah istri yang tidak pernah mencaci suaminya, biarpun suaminya layak dicaci. Kalau dia mengerti rumus cinta, bagaimana menumbuhkan cinta? Dia harus berpikir dong,” ungkapnya.
Buya Yahya menegaskan, tidak ada satu pun cinta yang tumbuh karena cacian. Justru sebaliknya, cacian hanya akan menimbulkan luka di hati dan emosi dalam jiwa yang menerimanya.
Menurutnya, jika pasangan mampu menahan diri dari mencaci, mereka akan melindungi keharmonisan rumah tangga. Namun jika lisan tidak dijaga, maka cinta pun akan ikut terkikis.
“Caci maki itu yang ada adalah menumbuhkan atau menimbulkan emosi di orang yang dicaci. Jika yang dicaci itu sabar, dia sabar. Tapi lihat, dipatahkan, dihancurkan hatinya,” jelas Buya Yahya.
Ia menggambarkan bagaimana dampak cacian tidak selalu terlihat langsung, karena terkadang pasangan hanya bisa tersenyum palsu sambil menyembunyikan luka dalam hati.
Rumah Tangga Itu Tempat Suci
“Senyum itu senyum hambar. Tidak ada maknanya. Istri dicaci, diolok, direndahkan, sedih dia. Atau seorang suami direndahkan, dicaci diolok, mungkin dia masih bisa tersenyum. Tapi ketahuilah, caci maki tidak menumbuhkan cinta,” tegasnya.
Buya Yahya mengingatkan bahwa rumah tangga adalah tempat suci yang tidak boleh menjadi ladang pertengkaran dan cercaan. Jika rumah dipenuhi dengan cacian, maka yang bersemayam di dalamnya bukanlah cinta, melainkan setan.
“Maka pastikan rumah Anda tidak boleh ada caci. Harus. Kalau ada yang mencaci di rumah, pastikan dia adalah setan yang menjelma pakai kopiah putih di rumahnya,” ucapnya keras.
Ia juga mengkritik keras laki-laki yang membanggakan dirinya sebagai sosok religius tapi tetap mencaci pasangannya di rumah. Menurutnya, itu bukan ciri orang terhormat.
“Jadi Pak Haji, Pak Haji loh. Dan saya tidak menghargai orang-orang seperti itu. Kenapa istri harus dicaci? Nabi tidak mengajarkan yang demikian,” ujarnya.
Buya Yahya menyarankan agar setiap pasangan yang ingin menjadi pribadi mulia dan menjaga keutuhan rumah tangga untuk segera menghentikan kebiasaan mencaci dan merendahkan satu sama lain.
Ia menutup pesannya dengan ajakan untuk kembali merenungi apa arti cinta sebenarnya. Cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang bagaimana lisan dan sikap dijaga agar tidak menyakiti.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul