Liputan6.com, Jakarta - Bulan Safar sering kali dikaitkan dengan berbagai mitos dan anggapan negatif di tengah masyarakat. Tak sedikit orang yang masih percaya bahwa bulan ini adalah bulan sial, masa rawan musibah, penyakit, hingga berbagai gangguan lainnya.
Bahkan, sebagian kalangan menghindari menggelar acara penting seperti pernikahan atau pindah rumah di bulan Safar karena takut akan dampak buruknya.
Namun, benarkah anggapan tersebut memiliki dasar yang kuat? Ataukah hanya sekadar warisan pemikiran yang keliru dan perlu diluruskan?
Padahal, memahami konteks sejarah dan ajaran agama yang benar sangat penting agar kita tidak terjebak dalam keyakinan yang menyesatkan.
Melansir dari laman NU Online pada Minggu (27/7/2025), berikut ulasan lengkap mengenai sejarah dan makna bulan Safar dari perspektif yang lebih utuh serta sumber-sumber keislaman yang valid.
Saksikan Video Pilihan ini:
Menjelajah Eksotisnya Wisata Pegunungan Palujantung Cilacap
Mengungkap Mitos Kesialan Bulan Safar
Sebagaimana jamak diketahui, banyak orang beranggapan dan bahkan ada yang meyakini, pada bulan safar akan terjadi musibah yang luar biasa dan akan terjadi cobaan melebihi bulan-bulan lainnya. Dalam hal ini Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) mengatakan, bulan Safar dan bulan lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. Menurutnya sebagaimana dalam bulan lain, dalam bulan Safar dapat terjadi keburukan dan kebaikan. Dengan kata lain, tidak boleh menganggap bulan Safar diyakini sebagai bulan yang dipenuhi dengan kejelekan dan musibah. Beliau menegaskan:
وَأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤْمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ
Artinya: “Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar.”
Ibnu Rajab tidak membenarkan keyakinan seperti itu sebab semua bulan, zaman, dan tahun merupakan makhluk Allah SWT, yang di dalamnya bisa saja terjadi suatu kesialan, bencana, dan musibah. Maka sangat tidak logis jika musibah hanya dikhususkan pada bulan Safar dan meniadakannya pada bulan-bulan lainnya.
Lebib tegas Ibnu Rajab menyatakan, barometer dari baik dan tidaknya suatu zaman tidak dilihat dari kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya. Menurutnya, semua zaman yang di dalamnya semua seorang mukmin menyibukkan diri dengan kebaikan, maka zaman tersebut adalah zaman yang diberkahi. Demikian pula sebaliknya. Ibnu Rajab berkata:
فَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَانٌ مُبَارَكٌ عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ
Artinya: “Setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi).” (Zainuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimisyqi, Lathâ-iful Ma’ârif, [Dar Ibn Hazm, cetakan pertama: 2004], halaman 81).
Anggapan yang Salah tentang Bulan Safar
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, penyebab suatu zaman tidak diberkahi oleh Allah SWT adalah dikarenakan banyaknya kemaksiatan yang dilakukan manusia. Begitu juga penyebab suatu zaman bisa diberkahi apabila di dalamnya orang sibuk dengan melakukan ketaatan dan kebaikan. Karenanya sangat wajar jika pada penjelasan di atas, Ibnu Rajab menolak anggapan atau keyakinan bahwa bulan Safar dianggap sebagai bulan kesialan yang di dalamnya tidak ada keberkahan sama sekali.
Anggapan atau keyakinan tersebut sebenarnya tidak lepas dari tradisi orang Arab yang memiliki keyakinan bahwa bulan Safar merupakan bulan kesialan dan penuh cobaan. Keyakinan salah itu akhirnya mengakar dan menyebar ke mana-mana, bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengikutinya. Rasulullah saw pun menolak anggapan seperti itu. Rasulullah SAW bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR. al-Bukhari) (Badruddin ‘Aini, ‘Umdâtul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub: 2006], juz IX, halaman 409).
Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi (wafat 1302) mengatakan, hadits di atas ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang Jahiliah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya; baik keburukan maupun kebaikan. Selain itu juga menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yang terjadi murni karena kehendak Allah yang sudah tercatat sejak zaman azali, bukan disebabkan waktu, zaman, dan anggapan salah lainnya.” (Abu Bakar Syattha, Hâsiyyah I’ânatuth Thâlibîn, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiah: 2003], juz III, halaman 382).
Bukti dan Penjelasan bahwa Bulan Safar Tidak Membawa Sial
Habib Abu Bakar Al-Adni dalam salah satu mengatakan, ada beberapa bukti peristiwa yang menolak keyakinan masyarakat Jahiliah atas keyakinannya yang menganggap bahwa bulan safar merupakan bulan kesialan. (1) Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah pada bulan Safar; (2) Pernikahan antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Safar; (3) Hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Safar; (4) perang pertama, yaitu perang Abwa terjadi pada bulan Safar, di mana umat Islam jusrtu mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir; (5) pada bulan Safar juga terjadi peperangan hebat yaitu perang Khaibar, dan kemenangan diraih oleh umat Islam. (Abu Bakar al-Adni, Mandzûmatu Syarhil Atsar fî Mâ warada ‘an Syahri Shafar, halaman 9).
Demikian alasan di balik penamaan bulan Safar, serta serta jawaban atas anggapan dan keyakinan sebagian masyarakat perihal mitos kesialan yang diyakini akan terjadi pada bulan Safar. Anggapan demikian tidak layak dijadikan pedoman oleh orang beriman. Sebab, dengan meyakininya, akan berpotensi mengesampingkan Allah dengan segala otoritas-Nya, yang bisa saja memberikan pengaruh kepada siapa pun, atas persangkaannya kepada Allah SWT. Semoga kita dijauhkan dari keyakinan keliru dan menyimpang dari ajaran Islam. Aamin. Wallâhu a’lam.