Liputan6.com, Jakarta - Bulan Muharram menjadi salah satu bulan mulia dalam kalender Hijriyah. Salah satu ibadah yang kerap dikaitkan dengan bulan ini adalah puasa Asyura, yakni puasa yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.
Namun, tak sedikit umat Islam yang masih bertanya-tanya bagaimana sebenarnya status hukum puasa tersebut dalam syariat Islam. Puasa Asyura tahun ini akan jatuh pada Minggu 6 Juli 2025.
Puasa Asyura memang memiliki nilai sejarah dan spiritual yang tinggi. Banyak umat Islam yang melaksanakannya sebagai bentuk pengingat akan peristiwa besar di masa lampau. Namun, penting untuk mengetahui dasar hukumnya agar tak keliru dalam memahaminya.
Pendakwah muda yang dikenal luas di kalangan milenial, Ustadz Adi Hidayat (UAH), memberikan penjelasan rinci terkait status hukum puasa Asyura dan bagaimana seharusnya umat Islam menyikapinya.
Dalam kajiannya, UAH menegaskan bahwa puasa Asyura bukanlah puasa yang bersifat wajib. Ia bersifat sunnah dan dianjurkan, terutama karena pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan.
Dikutip Jumat (04/07/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @amalsunnah, UAH menjelaskan bahwa ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Nabi menyampaikan bahwa siapa pun yang ingin melanjutkan puasa Asyura boleh meneruskannya, dan siapa yang tidak, tidak masalah.
Simak Video Pilihan Ini:
Cerita Polisi Ternak 40 Ribu Ekor Ayam, Ingin Pensiun Bahagia
Sunnah yang Memiliki Keutamaan
“Ini menunjukkan aspek hukum bahwa puasa Asyura hukumnya sunnah. Jadi bukan fardu di sini,” ujar UAH menegaskan dasar hukumnya.
Meski hukumnya sunnah, puasa Asyura tetap memiliki keutamaan yang besar. Banyak ulama yang menekankan pentingnya puasa ini, bahkan mengategorikannya sebagai sunnah muakkadah—sunnah yang sangat dianjurkan.
Namun, UAH mengingatkan bahwa meski puasa Asyura sangat dianjurkan, tetap tidak dapat mengalahkan puasa Ramadhan dalam hal hukum dan keutamaannya. Sebab, Ramadhan bersifat wajib sementara Asyura tidak.
“Kalau dikerjakan, maka ada pahala di dalamnya. Tapi kalau tidak memungkinkan karena kondisi tertentu, seperti uzur syar’i, maka tidak menjadi beban dosa,” jelasnya.
UAH juga menekankan agar umat Islam memahami hikmah dari puasa Asyura, bukan sekadar menjalankan rutinitas ibadah tanpa memahami tujuannya. Ia mengingatkan agar ibadah tersebut dapat menjadi momen membangun hubungan lebih baik dengan Allah.
“Kalau tak bisa puasa karena alasan fisik atau medis, maka jangan memaksakan. Yang penting, hikmahnya tetap dijalankan. Seperti memperbanyak sholat, zikir, dan sedekah,” sambung UAH.
Puasa dan Pahami Hikmahnya
Menurutnya, beribadah dalam Islam memiliki dua sisi penting: pahala dan hikmah. Jika hanya mengejar pahala namun tidak menangkap hikmahnya, maka ibadah itu akan kehilangan nilai transformasi dalam kehidupan.
Contohnya, seseorang bisa saja berpuasa, tapi jika tidak memahami hikmah di baliknya, maka yang dirasakan hanya lapar dan haus, tanpa membuahkan perubahan sikap atau spiritualitas yang lebih baik.
“Hikmah dari puasa Asyura itu agar kita lebih terkoneksi dengan Allah. Membangun hubungan baik dengan Tuhan dan sesama manusia,” ujar UAH menjelaskan esensi ibadah tersebut.
Ia juga mengingatkan umat untuk tidak melupakan nikmat yang telah diberikan Allah. Bahkan nikmat sederhana seperti oksigen dan ketenangan hidup pun harus disyukuri dengan bentuk ibadah yang benar.
Allah telah banyak memberi, namun seringkali manusia lupa. Padahal, puasa Asyura adalah salah satu bentuk refleksi atas nikmat besar, seperti keselamatan Nabi Musa dan kaumnya dari penindasan Fir’aun.
Momen itu seharusnya dijadikan pengingat bahwa dalam setiap keberhasilan atau keselamatan yang didapat, ada peran Allah yang harus disyukuri. Dan puasa bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi syukur tersebut.
UAH mengajak umat Islam untuk tidak memandang puasa Asyura hanya sebagai ritual tahunan, tapi menjadikannya sarana mendekatkan diri kepada Allah dan menyadari betapa banyak nikmat yang telah diterima.
“Jangan hanya puas menahan lapar, tapi kosong dari makna. Gunakan hari itu untuk memperbaiki diri, lebih mengenal Allah, dan mensyukuri nikmat yang tak terhingga,” pungkas UAH.
Dengan pemahaman seperti ini, puasa Asyura tidak hanya menjadi ibadah sunnah biasa, melainkan ladang untuk memperkaya ruhani dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya syukur dalam kehidupan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul