Liputan6.com, Jakarta Setiap bulan Ramadan, umat Islam di seluruh dunia berusaha untuk melaksanakan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Di tengah semarak bulan suci ini, muncul berbagai istilah khas yang menggambarkan fenomena sosial selama berpuasa. Salah satu istilah yang sering mencuat di media sosial adalah mokel.
Istilah mokel memang lebih populer di kalangan masyarakat Jawa, namun kini telah menyebar luas dan menjadi bagian dari bahasa gaul selama Ramadan. Bahkan, kata ini telah resmi masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menunjukkan bagaimana bahasa gaul bisa menjadi bagian dari budaya dan perbendaharaan resmi bangsa.
Namun, di balik kepopulerannya, mokel menyimpan makna dan konsekuensi yang berat dalam pandangan Islam. Liputan6.com akan membahas secara mendalam tentang apa itu mokel, hukum Islam terhadap tindakan ini, serta siapa saja yang diperbolehkan tidak berpuasa menurut syariat, Sabtu (5/7/2025).
Bahasa Indonesia terus menunjukkan dinamikanya dengan penambahan beberapa kosakata baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Beberapa istilah atau bahasa gaul kini bahkan sudah resmi masuk KBBI, salah satunya yang menarik perhatian adalah mokel...
Apa Itu Mokel?
Istilah mokel berasal dari bahasa Jawa, yaitu mokèl, yang secara etimologis berarti menghentikan puasa sebelum waktunya atau belum semestinya. Dalam konteks Ramadan, mokel merujuk pada tindakan membatalkan puasa dengan makan atau minum sebelum waktu berbuka, biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, mokel dikategorikan sebagai verba (kata kerja) dalam bahasa cakapan dan didefinisikan sebagai “makan atau minum sebelum waktu berbuka puasa, biasanya dilakukan secara diam-diam.”
Istilah ini ramai digunakan di media sosial sebagai sindiran atau guyonan terhadap orang yang terlihat “curi-curi makan” di siang hari Ramadan. Namun, di balik kesan humoris tersebut, tindakan mokel sebenarnya bertentangan dengan esensi puasa, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Hukum Mokel dalam Islam
Dalam ajaran Islam, puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang memenuhi syarat. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183:
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Oleh karena itu, tindakan mokel, yakni membatalkan puasa tanpa uzur syar’i, dianggap sebagai dosa besar. Dalam Fikih Empat Mazhab Jilid 2 karya Syekh Abdurrahman Al-Juzairi dijelaskan bahwa orang yang dengan sengaja membatalkan puasa diwajibkan membayar kafarat, sama seperti orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan, yaitu:
- Berpuasa dua bulan berturut-turut,
- Jika tidak mampu, memerdekakan budak,
- Jika itu pun tidak mungkin, memberikan makan kepada 60 fakir miskin.
Dalam Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, dijelaskan pula melalui hadits dari Abu Hurairah RA bahwa orang yang tidak berpuasa tanpa alasan syar’i, puasanya tidak akan terganti meskipun dia berpuasa sepanjang tahun.
"Barang siapa tidak puasa satu hari di bulan Ramadan tanpa adanya keringanan yang Allah 'azza wa jalla berikan kepadanya, maka tidak akan bisa menjadi ganti darinya, sekalipun ia berpuasa selama satu tahun." (HR Abu Hurairah)
Lebih lanjut, dalam buku Jalan Takwa karya Idrus Abidin, disebutkan kisah dari hadits Rasulullah SAW tentang siksa bagi orang yang membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan. Dalam mimpi Rasulullah, beliau melihat orang-orang yang digantung pada urat kaki, mulut mereka robek, dan darah mengalir, sebuah gambaran azab bagi pelaku mokel.
Siapa yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa?
Meski membatalkan puasa tanpa alasan yang sah merupakan dosa besar, Islam memberikan keringanan (rukhshah) kepada orang-orang tertentu untuk tidak berpuasa. Dalam Fiqhul Islam Belajar Fikih Mazhab Syafi'i untuk Pemula, dijelaskan bahwa golongan yang diperbolehkan tidak berpuasa meliputi:
- Musafir (orang dalam perjalanan jauh),
- Orang sakit yang dikhawatirkan kesehatannya memburuk,
- Wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap kondisi diri dan bayinya,
- Wanita haid dan nifas, sesuai dengan larangan puasa saat dalam kondisi tersebut,
- Orang tua renta yang tidak lagi mampu berpuasa.
Bagi mereka yang tidak berpuasa karena uzur, wajib mengganti puasanya (qadha) di hari lain, atau membayar fidyah sesuai ketentuan syariat.
FAQ Seputar Puasa dalam Islam
1. Apakah membatalkan puasa dengan alasan malas termasuk dosa besar?
Ya. Jika membatalkan puasa hanya karena malas atau tidak tahan lapar, tanpa alasan syar’i, maka tergolong dosa besar dan wajib mengqadha serta membayar kafarat.
2. Apakah orang yang mimpi basah saat puasa harus membatalkan puasanya?
Tidak. Mimpi basah tidak membatalkan puasa karena terjadi di luar kesadaran. Namun, wajib segera mandi junub sebelum melaksanakan shalat berikutnya.
3. Apakah suntik obat membatalkan puasa?
Menurut banyak ulama, suntik yang tidak mengandung unsur makanan atau minuman tidak membatalkan puasa. Namun, jika itu bersifat nutrisi (infus), maka dapat membatalkan.
4. Apakah puasa bisa digantikan dengan sedekah jika seseorang sudah tidak kuat?
Ya. Orang tua renta atau orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh dapat mengganti puasanya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin.
5. Bagaimana cara qadha puasa yang ditinggalkan karena haid atau sakit?
Qadha dilakukan sebanyak hari yang ditinggalkan dan sebaiknya disegerakan sebelum Ramadan berikutnya tiba. Tidak ada kafarat, cukup mengganti harinya.