Liputan6.com, Jakarta - Tradisi menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram telah lama menjadi bagian dari budaya umat Islam. Namun, kebiasaan ini dinilai tidak boleh berhenti hanya sebagai seremonial tahunan tanpa perhatian yang berkelanjutan terhadap kehidupan mereka.
Pendakwah KH Yahya Zainul Ma'arif atau yang akrab disapa Buya Yahya menyampaikan pandangannya terkait fenomena tersebut. Menurutnya, budaya menyantuni anak yatim sebaiknya tidak dibatasi hanya pada satu hari atau satu bulan dalam setahun.
“Anak yatim itu perlu disantuni setiap waktu, bukan hanya di 10 Muharram. Hari anak yatim itu setiap hari, bukan hari tertentu saja,” kata Buya Yahya dalam ceramahnya yang penuh keprihatinan.
Ia menekankan bahwa orang yang benar-benar peduli pada anak yatim seharusnya menjamin kehidupan mereka secara berkesinambungan, bukan hanya memberi bantuan sesekali saat peringatan keagamaan.
Dikutip Jumat (04/07/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @albahjah-tv, Buya Yahya menyoroti kebiasaan memberikan amplop berisi uang dalam kegiatan yang disebut santunan, namun tanpa tindak lanjut untuk masa depan anak-anak yatim tersebut.
Simak Video Pilihan Ini:
Kecelakaan Maut Truk Rem Blong Tabrak Angkot Rombongan Guru, 11 Orang Meninggal
Siapa yang Menyantuni Anak Yatim akan Dekat dengan Nabi
“Masyaallah, kadang mereka dijajarkan di bawah panas matahari, hanya untuk diberi Rp50.000. Seolah cukup untuk hidup setahun. Ini bentuk kepedulian yang keliru,” ujarnya.
Buya Yahya mengajak umat Islam untuk memahami kembali makna menyantuni anak yatim sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, yaitu menjamin kehidupan mereka secara menyeluruh dan terus-menerus.
Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa orang yang menyantuni anak yatim akan sangat dekat dengan Nabi di surga, seperti jari telunjuk dan jari tengah yang berdampingan.
Namun, menurut Buya Yahya, kedekatan tersebut tidak akan diraih hanya dengan memberi sedekah sekali dalam setahun. Kepedulian terhadap pendidikan, akhlak, dan keseharian anak yatim jauh lebih utama.
Ia mengkritik keras model kegiatan yang hanya bersifat seremonial tanpa memikirkan kelanjutan dari nasib anak-anak tersebut. Setelah hari Muharram usai, perhatian kepada anak yatim kerap menghilang.
“Kalau mau menjadikan Muharram sebagai momentum, silakan. Tapi jangan berhenti sampai di situ. Jadikan itu sebagai awal untuk peduli sepanjang tahun,” ujar Buya Yahya.
Pendekatan yang benar menurutnya adalah mendatangi anak-anak yatim secara langsung di tempat mereka tinggal, memahami kebutuhan mereka, dan mengajak kaum muslimin lainnya untuk ikut berpartisipasi.
Datangi Mereka Tanyakan Kebutuhannya
Bagi mereka yang diberi kecukupan rezeki, Buya Yahya mengajak untuk membuka hati dan membina hubungan jangka panjang dengan anak-anak yatim yang membutuhkan uluran tangan.
“Datangi mereka, tanya bagaimana sekolahnya, bagaimana makanannya. Perkenalkan mereka kepada Allah, jangan hanya peduli pada anak sendiri,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa kasih sayang dan perhatian adalah bagian dari bentuk ibadah yang agung, apalagi jika diberikan kepada anak-anak yang kehilangan orang tua.
Kepedulian seperti ini akan membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan memperkuat ukhuwah Islamiyah, bukan sekadar menggugurkan kewajiban sesaat.
Buya Yahya pun mengajak lembaga-lembaga sosial dan para dermawan untuk mengubah pola pikir dari ‘santunan tahunan’ menjadi ‘pendampingan berkelanjutan’ bagi anak-anak yatim.
Menurutnya, selama ini banyak yang mengira sudah membantu anak yatim hanya dengan satu kali pemberian, padahal kebutuhan hidup mereka terus berjalan setiap hari.
Melalui nasihatnya, Buya Yahya berharap umat Islam kembali memahami esensi menyantuni anak yatim secara utuh, bukan terbatas oleh kalender hijriyah semata.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul