Kisah Pertaubatan Fudhail bin Iyadh: Dari Perampok Menjadi Sufi Agung

4 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Kisah Pertaubatan Fudhail bin Iyadh menjadi salah satu cerita paling menggetarkan dalam sejarah Islam. Dari seorang perampok jalanan yang ditakuti, ia bertransformasi menjadi seorang sufi besar yang dihormati.

Nama Fudhail bin Iyadh (w. 187 H/803 M) selalu dikaitkan dengan keajaiban hidayah. Dalam kisah pertaubatannya, tersimpan pesan mendalam bahwa siapa pun yang tersentuh firman Allah, bisa berubah total dan menapaki jalan kebenaran.

Fudhail lahir di wilayah Khurasan, tepatnya di Uzbekistan, sekitar tahun 107 Hijriyah. Sejak muda ia dikenal kuat, pemberani, namun juga keras kepala dan berjiwa pemberontak.

Dalam masa mudanya, Fudhail menjadi kepala perampok di jalur antara Abu Warda dan Sirjis. Namanya menebar ketakutan bagi siapa pun yang melewati rute itu.

Tersentuh Ayat Langit di Tengah Dosa

Suatu malam, ketika hendak memanjat tembok rumah seorang wanita yang ia sukai, tiba-tiba telinganya menangkap lantunan ayat suci yang dibaca seorang musafir.

Ayat itu berbunyi:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

Alam ya’ni lilladzīna āmanū an takhsha‘a qulūbuhum li dzikrillāh

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, tunduk hati mereka untuk mengingat Allah?”(Q.S. Al-Hadid: 16)

Bunyi ayat itu menghujam ke dalam hatinya. Fudhail terpaku, tubuhnya gemetar, dan hatinya bergetar hebat. “Ya Rabb, sungguh telah tiba saatnya untuk aku bertaubat,” ucapnya lirih.

Malam itu, ia meninggalkan niat buruknya dan bersembunyi di reruntuhan bangunan, menangis sepanjang malam karena rasa bersalah yang menyesakkan dada.

Mendengar Namanya Dihujat Orang-Orang

Di tengah malam itu, ia mendengar sekelompok pedagang berbicara ketakutan, “Kita tunggu sampai pagi, jangan lewat sekarang. Di jalan itu ada Fudhail bin Iyadh.”

Ucapan itu menusuk jantungnya. Ia sadar bahwa dirinya telah menjadi sebab ketakutan banyak orang, bukan lagi penolong umat, melainkan sumber bencana.

Tangisnya pecah, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang menakutkan hamba-hamba-Mu.” Sejak saat itu, ia meninggalkan dunia perampokan untuk selamanya.

Ia berjanji akan menebus dosa masa lalunya dengan mengabdi di jalan Allah dan memperdalam ilmu agama hingga akhir hayatnya.

Langkah Baru Menuju Cahaya

Setelah bertaubat, Fudhail pergi ke Kufah. Di sana ia menimba ilmu dari para ulama besar seperti Manshur, Al-A’masy, dan Shafwan bin Salim.

Perlahan tapi pasti, pengetahuan dan ketenangan batin menggantikan ketakutan dan amarah yang dulu menguasainya. Ia dikenal sangat tekun beribadah dan menjauhi dunia. Hatinya terpaut pada Allah, dan lisannya senantiasa melantunkan dzikir. Dari sanalah, Fudhail bin Iyadh menjelma menjadi tokoh sufi besar yang nasihatnya menembus relung hati banyak orang.

Zuhud, Wara’, dan Keteguhan Hati

Setelah menuntut ilmu, Fudhail memilih hidup di Makkah. Ia bekerja mengangkut dan menjual air untuk menyambung hidup, menolak harta dari raja dan pejabat.

Ia selalu berkata, “Aku tak ingin makan dari sesuatu yang belum jelas halal haramnya.” Baginya, kemurnian rezeki adalah ketenangan hati.

Ia bahkan menolak hadiah dari khalifah besar, namun menerima pemberian sahabatnya yang saleh, Abdullah bin Al-Mubarak, karena yakin akan ketulusan hatinya.

Fudhail dikenal sebagai sufi yang lembut tutur kata, namun tegas dalam prinsip. Ia sering mengingatkan muridnya agar tidak terpedaya oleh diri sendiri.

Nasihat yang Menggetarkan Jiwa

Dalam salah satu nasihatnya, ia berkata dalam bahasa Arab:

يا مسكين أنت مسيء وتری أنك محسن. وانت جاهل وتری أنك عالم. وتبخل وتری أنك كريم. وأحمق وتری أنك عاقل. أجلك قصير وأملك طويل.

(“Wahai diriku yang hina, engkau berbuat dosa tapi merasa berbuat baik. Engkau bodoh tapi merasa pandai. Engkau pelit tapi merasa dermawan. Engkau dungu tapi merasa bijak. Hidupmu sebentar, namun anganmu panjang.”)(Siyar A’lamin Nubala 8/440)

Kata-kata itu menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang merasa suci di hadapan dosa-dosanya sendiri.

Fudhail selalu menegaskan bahwa akar dari semua kesesatan adalah rasa puas terhadap diri sendiri dan lupa kepada Allah.

Ia mengajarkan agar manusia senantiasa mengoreksi hati, sebab dari hatilah lahir ketaatan atau keburukan.

Akhir Hidup yang Tenang

Menjelang wafatnya, Fudhail sering berdoa, “Ya Allah, aku takut Engkau berpaling dariku di akhir hayatku.”

Ia meninggal dunia di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 Hijriyah, dalam keadaan berzikir dan berwajah damai.

Kepergiannya disambut tangis para murid dan ulama. Sosok yang dulu ditakuti kini dikenang sebagai teladan tobat yang sejati.

Kisahnya menjadi bukti nyata bahwa pintu ampunan Allah terbuka luas, bahkan bagi mereka yang pernah terjatuh ke jurang dosa paling dalam.

Hidayah yang mengubah Fudhail bin Iyadh adalah bukti bahwa keajaiban taubat sejati lahir dari hati yang tulus dan kesadaran yang murni.

Hingga kini, Kisah Pertaubatan Fudhail bin Iyadh menjadi pelajaran berharga bahwa tak ada kata terlambat untuk kembali kepada Allah, sebab setiap hati bisa luluh oleh cahaya kebenaran.

People Also Talk:

1. Siapa sebenarnya Fudhail bin Iyadh?Fudhail bin Iyadh adalah mantan perampok yang bertaubat dan menjadi sufi besar di abad ke-2 Hijriyah.

2. Apa penyebab Fudhail bertaubat?Ia tersentuh oleh ayat Al-Qur’an dari Surah Al-Hadid ayat 16 yang mengguncang hatinya.

3. Di mana Fudhail menimba ilmu setelah tobat?Ia menuntut ilmu di Kufah dan berguru kepada ulama besar seperti Manshur dan Al-A’masy.

4. Apa pesan utama dari kisah Fudhail bin Iyadh?Bahwa siapa pun, sejahat apa pun masa lalunya, bisa berubah jika tersentuh hidayah Allah.

5. Kapan dan di mana Fudhail wafat?Ia wafat di Makkah pada tahun 187 Hijriyah, dalam keadaan beribadah dan berzikir.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |