Liputan6.com, Jakarta - Perbincangan mengenai larangan riba dan keutamaan bisnis halal tampaknya tak pernah surut dan selalu menjadi topik hangat dalam setiap forum kajian ekonomi Islam. Riba dan bisnis halal jadi diskursus panjang karena terdapat 'jarak yang cukup jauh antara konsep dan praktik di lapangan'.
Demikian diungkapkan oleh Dewan Penyelenggara Universitas Komputama (UNIKMA), sekaligus Guru Besar Manajemen UIN Saizu Purwokerto, Prof Dr Fathul Amin Aziz, MM, Selasa (28/10/2025). Prof Aziz menilai, persoalan riba dan bisnis halal ini bakal terus berkepanjangan karena masih jauh panggang dari api. Antara konsep dengan realitas berbeda.
“Keharaman riba itu sudah pasti ajarannya. Persoalannya adalah, riba itu perbuatan apa? Itu yang kemudian membuat para ilmuwan dan praktisi berbeda cara pandang,” ujarnya.
Menurutnya, akar persoalan riba terletak pada pemaknaan konsep itu sendiri. Banyak pihak berbeda dalam menafsirkan mahiyah ar-riba atau apa yang dimaksud dengan riba sesungguhnya. “Riba itu tambahan,” jelasnya. “Tambahan dari apa? Dari sebuah proses pinjam-meminjam uang.”
Namun dalam konteks lembaga keuangan modern, lanjutnya, transaksi pinjaman selalu melibatkan tambahan biaya seperti operasional, SDM, hingga teknologi. “Banyak biaya itu, dan itulah yang kemudian menjadi persoalan,” ujarnya.
Riba dan Bisnis Halal: Antara Teori dan Praktik
Masih menurut Prof Aziz, perdebatan tentang riba tak pernah berhenti karena antara teori dan praktik berbeda, antara konsep dan realitas juga berbeda. Dia mencontohkan, dalam lembaga keuangan syariah, sistem bagi hasil yang seharusnya menjadi solusi justru kerap menimbulkan kebingungan di lapangan.
“Sebagian orang kesulitan memahami makna bagi hasil. Akhirnya banyak lembaga syariah menggunakan prediksi keuntungan di awal,” jelasnya. Praktik semacam ini, menurutnya, membuat sebagian masyarakat menilai sistem bagi hasil tak ubahnya mirip dengan bunga konvensional.
Ada yang menilai prediksi keuntungan itu halal selama adil, ada pula yang menganggapnya masih mengandung unsur riba. “Jadi memang rumit bicara riba. Karena tergantung dari aspek mana orang melihatnya," dia menjelaskan.
Menurut dia, tambahan dalam transaksi keuangan tidak otomatis menjadi riba. Ia menegaskan bahwa sesuatu baru disebut riba jika tambahan itu menimbulkan hal-hal negatif seperti ketidakadilan, ketidakterbukaan, ketidakakuntabilitas, atau menambah kemudaratan dalam transaksi.
“Intinya, kemudaratan yang muncul dari sebuah transaksi, itulah yang namanya riba,” tegasnya.
Dia juga menyinggung bahwa sistem sirkulasi uang dan pinjaman bisa bernilai positif jika tidak digunakan untuk konsumtif semata. “Kalau dulu kita diperintahkan menabung, sekarang meminjam bisa lebih bermanfaat jika diarahkan ke sektor produktif,” ujarnya.
Keadilan dan Keterbukaan dalam Bisnis Halal
Dalam pandangan Prof Aziz, tindakan menjauhkan diri dari riba adalah dengan menegakkan nilai keadilan hakiki dan manfaat yang seimbang bagi semua pihak. “Sesuatu tidak menjadi riba kalau di dalamnya ada nilai-nilai keadilan hakiki, bukan keadilan angka atau formalitas,” katanya.
Selain itu, transaksi dikatakan bebas riba bila memunculkan manfaat sebanyak-banyaknya bagi kedua belah pihak dan dilakukan dengan keterbukaan yang berlandaskan nilai keadilan. Prinsip inilah, yang menjadi landasan bagi bisnis halal dan etika ekonomi Islam.
“Nilai-nilai positif yang membangun keadilan dan kemakmuran merata, itulah hal-hal yang jauh dari riba,” ujar Prof. Fathul menegaskan.
Prof Aziz mengajak umat Islam untuk memperkuat ekonomi dengan menjadi pelaku bisnis yang mandiri dan berdaya. Apabila banyak umat Islam yang berdaya secara ekonomi, maka bisnis halal sesuai syariat bukan impian semata.
"“Kalau kita yang kaya dan kita punya konsep, maka kita bisa menerapkan sistem ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam," ucap dia.
Menurutnya, upaya menegakkan sistem ekonomi halal dan bebas riba bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga strategi pemberdayaan umat. Riba, kata dia, mungkin tak akan pernah selesai dibahas, tetapi umat Islam bisa memulai perubahan dengan menerapkan keadilan, keterbukaan, dan manfaat bersama dalam setiap transaksi ekonomi.”
Dampak Buruk Riba untuk Ekonomi Umat
Merujuk jurnal Pemikiran Ekonomi Islam tentang Riba dan Implikasinya pada Stabilitas Keuangan di Era Kontemporer, Hasanatun Fitri dkk (2025) (2025) dalam sistem ekonomi Islam, riba (bunga atau tambahan utang yang tidak sah) menjadi salah satu praktik yang paling tegas dilarang.
Larangan ini bukan sekadar aspek teologis, tetapi juga memiliki implikasi langsung terhadap keadilan sosial dan stabilitas keuangan global. Praktik riba merupakan penyebab utama ketimpangan ekonomi, inflasi, dan krisis keuangan global.
Dalam konteks modern, riba diwujudkan dalam bentuk bunga pinjaman yang menciptakan beban keuangan berlapis pada masyarakat. Hasanatun Fitri menyoroti efek sistemik riba yang mengganggu stabilitas ekonomi dan mengakibatkan ketimpangan sosial.
Islam menolak sistem berbasis bunga karena dianggap mengeksploitasi pihak lemah dan menguntungkan segelintir pemodal. Hal ini secara tegas dilarang karena ada “Tambahan atas pokok harta atau modal secara batil,” jelas Komala Dewi dalam Journal of Islamic Economics and Finance: Konsep Riba Dalam Perekonomian Islam (2024).
Sementara itu, sistem bagi hasil (profit-sharing) seperti mudharabah dan musyarakah dinilai lebih adil karena “mendorong kolaborasi dan risiko bersama” demi terciptanya stabilitas keuangan.
Menurut Komala Dewi, esensi pelarangan riba adalah “penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman dan ketidakadilan”. Ia mengutip QS. Al-Baqarah ayat 275: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” sebagai fondasi hukum ekonomi Islam yang menegakkan keadilan transaksional.
Bisnis Halal, Tawaran Solusi
Sementara riba dilarang, Islam mendorong praktik bisnis yang halal dan etis. Mengutip jurnal Bisnis Halal dalam Perspektif Etika Islam (Astuti & Rukiah, 2019), bisnis halal kini semakin berkembang. Laporan World Halal Food Council (WHFC) yang dikutip Astuti menunjukkan transaksi industri halal dunia mencapai USD 1,2 triliun pada 2016, menandakan potensi besar ekonomi halal dunia.
Hanya saja, dalam penelitian An Ras dan Astuti potensi ini belum sepenuhnya tergarap optimal. Indonesia masih lebih banyak berperan sebagai konsumen produk halal global ketimbang sebagai produsen utama. Karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih agresif untuk mengembangkan ekosistem industri halal, termasuk riset, pembiayaan syariah, dan digitalisasi sertifikasi.
Penting untuk diketahui pengusaha muslim, konsep halal bukan sekadar label hukum agama, tetapi sistem etika yang mencakup kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sosial.
"Bisnis halal harus mencerminkan nilai iman, Islam, dan ihsan, di mana aktivitas ekonomi menjadi sarana ibadah, bukan sekadar pencarian keuntungan materi," demikian ditulis dalam kajian tersebut.
Dari sisi regulasi, pemerintah telah memperkuat fondasi hukum industri halal melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Aturan ini menandai era baru bagi dunia usaha, di mana sertifikasi halal menjadi kewajiban bagi produk yang beredar di pasar domestik.
Bahtiar Adamsah dan Ganjar Eka Subakti (2023) mencatat bahwa kebijakan tersebut mendorong peningkatan signifikan dalam jumlah pelaku usaha yang mengurus sertifikasi, terutama di sektor makanan, minuman, dan kosmetik. Namun, mereka juga mencatat tantangan besar berupa keterbatasan lembaga sertifikasi dan kurangnya literasi halal di kalangan pelaku UMKM.
Secara keseluruhan, realitas bisnis halal di Indonesia menunjukkan kemajuan yang menjanjikan sekaligus tantangan serius. Dukungan regulasi dan permintaan pasar yang besar menjadi modal kuat, tetapi perlu diimbangi dengan pembinaan, pendidikan etika, dan inovasi produk.
People Also Ask
1. Mengapa Islam melarang riba dalam aktivitas bisnis?
Karena dianggap merugikan salah satu pihak dan bertentangan dengan prinsip keadilan, riba, yang secara harfiah berarti penambahan atau keuntungan yang tidak adil dalam transaksi, diharamkan dalam agama Islam.
2. Surat al baqarah ayat 275 tentang apa?
Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 275 menjelaskan tentang pengharaman riba dan penghalalan jual beli. Ayat ini mengutuk praktik riba dengan menggambarkan keadaan orang yang memakannya sebagai orang yang kebingungan atau seperti kesurupan setan, dan menegaskan bahwa mereka akan menjadi penghuni neraka jika kembali melakukannya.
3. Riba ada 4 macam, apa sajakah itu?
Empat macam riba adalah riba fadhl (pertukaran barang sejenis dengan takaran berbeda), riba nasi'ah (penundaan pembayaran dalam transaksi), riba yad (penyerahan barang yang tertunda), dan riba qardh (pinjaman dengan syarat tambahan keuntungan).
4. Mengapa Allah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli?
Allah menghalalkan jual beli karena merupakan transaksi yang adil dan bermanfaat bagi kedua belah pihak yang terlibat, serta mendorong kegiatan ekonomi yang didorong oleh usaha dan kerja manusia. Sebaliknya, riba diharamkan karena menciptakan ketidakadilan, eksploitasi, dan merugikan salah satu pihak hanya karena berjalannya waktu, di mana keuntungan diperoleh tanpa kontribusi usaha yang nyata.

11 hours ago
4
:strip_icc()/kly-media-production/promo_images/1/original/085223300_1761037787-Desktop_1280_x_190.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4117148/original/017166500_1660016440-istockphoto-ilustrasi_membaca_doa_qunut.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3437803/original/063290100_1619164728-20210423-Mengunjungi-Pameran-Artefak-Nabi-Muhammad-SAW-di-JIC-IQBAL-4.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2223459/original/090937300_1526989466-iStock-483807056.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4779481/original/078495900_1710991316-muslim-women-using-misbaha-keep-track-counting-tasbih.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/885386/original/003007200_1432609352-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5380436/original/025286300_1760424585-Wanita_muslim_berdoa_setelah_sholat__Pexels_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4367391/original/082473100_1679453428-tarawih.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5154979/original/040661200_1741423970-847066fc0ade4c90f4cacd6316da2f19.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5380435/original/008084100_1760424585-Pria_berdoa_setelah_sholat__Pexels_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1554094/original/040157900_1491121330-stairs-735995_1920.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4572021/original/010236500_1694495492-ekrem-osmanoglu-R_t4oOh-Lvg-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4889994/original/071009200_1720767600-pexels-zeynep-sude-emek-193601188-20785719.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3613932/original/011973800_1635296982-youth-pledge-flat-design_23-2148650759.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5169862/original/050122900_1742550938-pexels-shukran-2103130.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/813545/original/080167000_1424263004-neraka.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4263585/original/041682200_1671184976-sunan-kalijaga.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5029709/original/010462700_1732949072-ciri-kiamat-kubra.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4976559/original/079775500_1729596649-nama-nama-surga-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2850390/original/036180000_1562823034-Jemaah_Haji_Thawaf_di_Kakbah.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5151380/original/086607800_1741158200-pray-6268224_1280.jpg)





























