Liputan6.com, Jakarta - Masjid Agung Demak menjadi salah satu masjid yang paling populer di Jawa dan bahkan Indonesia. Hal itu tak lepas dari sisi historis dan bangunan masjid demak yang begitu ikonik.
Masjid Agung Demak adalah masjid bersejarah merujuk Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 dan berstatus sebagai Cagar Budaya Nasional, sesuai dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada Tahun 2015.
Merujuk jurnal Identifikasi nilai historis pada Masjid Agung Demak karya Agung Wibiyanto, dkk Masjid ini sekarang menjadi salah satu objek wisata heritage dan juga ziarah muslim terpopuler, terutama di Pulau Jawa. Popularitas itu dipengaruhi oleh latar sejarah Masjid Agung Demak sebagai tempat berkumpulnya walisongo, serta bangunannya yang indah, megah dan ikonik.
"Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak dengan struktur bangunan tradisional khas Indonesia," demikian dikutip dari laman Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Sejarah Masjid Agung Demak
Mengutip laman resmi Masjid Agung Demak, masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Nusantara yang memiliki nilai historis penting dalam perkembangan agama Islam di Indonesia.
Masjid ini didirikan sekitar tahun 1466 Masehi (1388 Saka) oleh Raden Fatah dengan bantuan para Walisongo, kelompok wali yang dikenal sebagai penyebar Islam di tanah Jawa.
Menariknya, masjid ini dipercaya menjadi tempat berkumpul para Walisongo dalam strategi dakwah mereka.
Sejarah pendirian masjid ini erat kaitannya dengan berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, yang merupakan penerus Kerajaan Majapahit setelah masa kejayaannya mulai menurun. Raden Fatah, yang merupakan putra mahkota Majapahit dan penguasa pertama Demak, memiliki peranan sentral dalam pembangunan masjid sekaligus pembentukan pusat kekuasaan Islam di Jawa.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Agung Demak menjadi simbol transformasi sosial dan religi masyarakat Jawa dari Hindu-Buddha menuju Islam.
Renovasi besar masjid terjadi pada tahun 1477 M hingga 1479 M yang menandai pengesahan masjid sebagai pusat keagamaan Kesultanan Demak. Tanda tersebut dapat dilihat dari adanya relief bulus pada mihrab sebagai simbol sejarah kejadian tersebut.
Bangunan Utama Masjid Agung Demak
Merujuk Buku Oas Menjelajah Masjid - Masjid Agung Demak, oleh Maryanto dan Zaimul Azzah, bangunan Masjid Agung Demak memiliki ukuran utama 31 x 31 meter dengan serambi terbuka berukuran 31 x 15 meter.
Konstruksi bangunan didukung oleh sejumlah tiang penyangga, yakni empat tiang utama yang dikenal sebagai Soko Guru, 50 tiang untuk penyangga bangunan utama, 28 tiang penyangga serambi, serta 16 tiang keliling.
Soko Guru menjadi elemen penting karena merupakan tiang utama yang menopang struktur atap masjid. Salah satu tiang yang unik adalah Soko Tatal yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang dipadatkan dan diikat rapi, sebuah teknik yang dipercaya oleh Sunan Kalijaga.
Soko Majapahit adalah delapan tiang yang menopang serambi dan diyakini berasal dari peninggalan Kerajaan Majapahit.
Ruang utama masjid didesain sebagai tempat shalat jamaah, dengan mihrab berupa ruang kecil menuju kiblat. Serambi yang terbuka berfungsi sebagai ruang tambahan untuk jamaah dan aktivitas keagamaan. Bangunan ini menampilkan perpaduan elemen tradisional Jawa yang kental dengan warisan budaya Majapahit.
Arsitektur Masjid Agung Demak
Mengingat latar sejarah dan kekayaan budaya dalam arsitekturnya, Masjid Agung Demak pada masa setelahnya banyak menjadi rujukan desain masjid. Ada beberapa kekhasan arsitektur masjid yang kemudian banyak diadopsi oleh masjid lain yang dibangun di masa setelahnya.
Mengutip jurnal Pendekatan Pengarung Konsep Arsitektur Islam Masjid Agung Demak pada Perancangan Masjid di Jawa, karya Andeng Andeng, dkk, terdapat simbol arsitektur tradisional Indonesia yang khas serta sarat akan makna Islami yang kemudian banyak diadopsi.
"Simbol tersebut terlihat sederhana namun terkesan megah, anggun, indah, dan sangat berkarisma," demikian dikutip dari kesimpulan penelitian di jurnal tersebut.
Masjid Agung Demak mengusung gaya arsitektur khas, yang merupakan perpaduan antara gaya Majapahit, pengaruh Bali, dan tradisi budaya Jawa Tengah. Salah satu ciri khas utama adalah atap bertingkat tiga yang dikenal dengan tajug tumpang, berbentuk piramida segi empat.
Atap jenis ini berbeda dengan kubah melengkung yang biasanya terdapat pada masjid masa kini, mengindikasikan akulturasi budaya Hindu dan Islam.
Menggunakan konsep kosmologi Jawa, atap tajug melambangkan tiga tingkatan kesalehan Islam: iman, Islam, dan ihsan. Selain itu, konsep pajupat dalam arsitektur menandakan keseimbangan empat penjuru mata angin dengan soko guru sebagai pusat yang menjaga keseimbangan antara rasio, rasa, dan qalbu manusia.
Material utama yang digunakan adalah kayu jati, yang dipercantik dengan ukiran bergaya Hindu di tiang penyangga dan dinding, serta kaligrafi Islam. Bangunan berdiri di pondasi padat tanpa panggung, dengan serambi beratap limasan dan ruang utama bertingkat tumpang tiga.
Keseluruhan desain merefleksikan filosofi spiritual dan budaya Jawa yang mengedepankan harmoni dan keseimbangan.
Latar Sejarah Masjid Agung Demak
Latar belakang berdirinya Masjid Agung Demak berkaitan erat dengan jatuhnya Majapahit dan didirikannya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.
Raden Fatah yang diangkat sebagai Sultan Demak menjadikan masjid bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat pemerintahan dan penyebaran Islam.
Pembangunan masjid berlangsung di tengah kondisi politik yang sulit, termasuk persaingan dengan penguasa Majapahit di Kediri. Sebelum pendirian masjid selesai, Raden Fatah pernah mengalami kekalahan dalam penyerangan kepada pasukan Girindrawardhana dan kemudian menunda penaklukan Majapahit untuk memfokuskan pembangunan masjid sebagai pusat spiritual dan administratif.
Mustaka masjid yang berbentuk runcing seperti angka satu (ahad) melambangkan keberanian dan keteguhan Demak menghadapi musuh. Lambang tersebut menjadi simbol kejantanan Kesultanan Demak yang menyatukan kekuatan politik dan agama Islam.
1477 M hingga 1479 M yang menandai pengesahan masjid sebagai pusat keagamaan Kesultanan Demak dengan renovasi besar-besaran.
Nilai Budaya pada Arsitektur Masjid Agung Demak
Arsitektur Masjid Agung Demak sangat kaya akan nilai budaya dan filosofi. Bentuk atap tajug yang bertingkat tiga tidak hanya fungsi estetika, tetapi juga simbol ketinggian kesalehan dan filosofi kosmologis Jawa.
Penggunaan empat tiang utama (Soko Guru) melambangkan pusat keseimbangan kekuatan spiritual dan alam, dengan tiang Soko Tatal sebagai karya budaya unik dari Sunan Kalijaga.
Masjid ini tidak hanya menjadi bangunan tempat ibadah, tapi juga entitas budaya yang menyimpan perpaduan toleransi antara agama Hindu dan Islam, termasuk ukiran bergaya Hindu dan kaligrafi Islam yang saling berpadu harmonis.
Halaman masjid yang dibatasi dengan tembok dan serambi terbuka mencerminkan struktur sosial dan kebiasaan masyarakat Jawa pada masa dulu.
Sebagai situs cagar budaya nasional, Masjid Agung Demak menjadi lambang penting sejarah Islam di Indonesia dan mewakili akulturasi budaya yang khas, sekaligus menjadi simbol spiritual dan identitas historis bangsa.
Filosofi Historis Masjid Agung Demak
Mengutip jurnal Identifikasi nilai historis pada Masjid Agung Demak karya Agung Wibiyanto dkk, ada cukup banyak nilai filosofis dan historis yang diimplementasikan dalam arsitektur maupun ornamen di di Masjid Agung Demak. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
1. Pintu Bledheg
Pintu ini memiliki ornamen yang berkaitan dengan cerita Ki Ageng Selo, seorang tokoh lokal yang dikenal mampu menangkal petir. Ornamen pintu ini berupa ukiran dua petir dan tercantum dalam prasasti dengan sengkalan tahun "Nogo Mulat Saliro Wani" yang berarti tahun 1388 Saka (1466 M), menandai salah satu masa penting dalam sejarah masjid.
2. Mihrab Mihrab
atau tempat pengimaman masjid memiliki nilai historis lewat ornamen motif bulus yang merupakan prasasti Condro Sengkolo. Motif bulus ini mengandung angka sengkalan "Sariro Sunyi Kiblating Gusti" yang bisa diterjemahkan menjadi tahun 1479 M, menunjukkan masa renovasi penting masjid.
3. Dampar Kencana
Dampar Kencana adalah mimbar untuk khotbah yang juga merupakan benda arkeologis. Singgasana ini merupakan warisan dari Kerajaan Majapahit, diberikan oleh Bhre Kertabumi kepada Raden Fattah, Sultan Demak I. Peninggalan ini menunjukkan legitimasi Kesultanan Demak sebagai penerus Majapahit dengan nuansa Islam.
4. Soko Tatal / Soko Guru
Empat tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga ini memiliki nilai historis karena tiang-tiang tersebut dibuat oleh masing-masing Walisongo, yaitu Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Tiang ini menjadi simbol religius dan arsitektural yang mengokohkan sejarah penyebaran Islam.
5. Situs Kolam Wudhu
Kolam wudhu ini dibangun sejak awal berdirinya masjid dan meskipun saat ini sudah tidak dipakai, masih menjadi salah satu situs bersejarah yang berkaitan erat dengan fungsi ritual dan praktik ibadah di masjid.
Selai itu, masih ada nilai seni dan filosofi budaya yang terkandung dalam motif hiasan Medalion dengan unsur Surya Majapahit yang masih dipadukan dalam arsitektur masjid. Nilai-nilai ini tidak hanya sebagai penanda sejarah, namun juga sebagai simbol akulturasi budaya antara Islam dan tradisi Hindu-Buddha Majapahit, menjadi bukti perjalanan sejarah dan kebudayaan di Demak.
People also Ask:
Apa sejarah Masjid Agung Demak?
Masjid Agung Demak didirikan pada abad ke-15 oleh Raden Patah dengan bantuan para Wali Songo, menjadikannya salah satu masjid tertua di Indonesia dan simbol awal penyebaran Islam di Jawa. Masjid ini berfungsi sebagai pusat syiar Islam, tempat ibadah, dan tempat pembinaan kader dakwah di Kesultanan Demak, serta memiliki nilai sejarah dan arsitektur yang unik, seperti atap limas tumpang tiga dan empat tiang utama (saka tatal) yang dibuat oleh para Wali Songo.
Masjid Agung Demak ada makam siapa saja?
Di dalam kompleks Masjid Agung Demak terdapat makam Raden Patah (Sultan Demak pertama), Raden Patiunus (Sultan Demak kedua), dan Dewi Murthosimah (permaisuri Raden Patah) sebagai makam utama, serta makam Putri Campa (ibunda Raden Patah).
Apa hubungan Masjid Agung Demak dengan Wali Songo?
Masjid ini dulu dibangun oleh Raden Fatah beserta bantuan dari Walisongo. Di Masjid ini, dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya Walisongo yang menyebarkan agama islam di tanah Jawa.
Masjid Agung Demak peninggalan Sunan siapa?
Masjid Agung Demak adalah peninggalan Sunan yang dibangun oleh Wali Songo, dengan tokoh sentral Sunan Kalijaga berperan penting dalam pembangunan dan desainnya. Sunan Kalijaga diyakini berperan dalam pembuatan salah satu tiang utama (soko guru) yang dikenal sebagai Soko Tatal. Selain itu, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Ampel juga berkontribusi dalam pembangunan soko guru lainnya.