Doa Berbuka Puasa Nazar Teks Arab, Latin, Arti: Hukum, Niat, dan Tata Cara

3 weeks ago 17

Liputan6.com, Jakarta - Puasa nazar merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki kekhususan dalam Islam. Pelaksanaannya terikat pada janji atau ikrar yang diucapkan seorang Muslim kepada Allah SWT, sehingga memahami doa berbuka puasa nazar menjadi penting bagi mereka yang menunaikan ibadah ini.

Ibadah puasa nazar ini memiliki hukum dan tata cara yang spesifik, berbeda dengan puasa wajib seperti Ramadhan atau puasa sunnah lainnya. Oleh karena itu, pengetahuan yang mendalam mengenai doa berbuka puasa nazar dan aspek-aspek terkait sangat diperlukan.

Menurut buku Pintar Menjahit untuk Pemula yang diterbitkan oleh Niaga Swadaya, puasa nazar didefinisikan sebagai puasa yang dilakukan untuk memenuhi janji karena menghendaki tujuan tertentu. Kewajiban ini mengikat setiap individu Muslim yang telah bernazar.

Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya melansir dari berbagai sumber, Senin (6/10/2025).

Doa Berbuka Puasa Nazar dan Maknanya

Doa berbuka puasa adalah momen penting untuk mengungkapkan rasa syukur setelah menahan lapar dan dahaga seharian. Meskipun tidak ada doa khusus yang secara eksplisit menyebut "nazar" dalam redaksi doanya, doa berbuka puasa yang umum dibaca tetap berlaku dan sangat dianjurkan saat menunaikan puasa nazar.

Doa yang umum dibaca umat Islam saat berbuka puasa adalah:

"اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمأُ وابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ تَعالى".

Latin: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika-aftartu dzahabazh-zhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru in sya’ Allah ta‘ala.

Artinya: “Ya Allah, hanya untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Telah hilang rasa haus, urat-urat telah basah, dan pahala telah tetap, insyaallah.”

Doa ini merupakan gabungan dari dua riwayat hadits, yang pertama dari Mu’adz bin Zuhrah dan kedua dari Abdullah bin Umar, sebagaimana dijelaskan oleh Saddam Husain Amin dalam artikelnya di sulbar.kemenag.go.id.

Riwayat pertama berarti "Ya Allah hanya untuk-Mu kami berpuasa dan atas rezeki yang Engkau berikan kami berbuka." Sementara riwayat kedua menambahkan, "Telah hilang rasa haus dan urat-urat telah basah serta pahala tetap, insyaallah."

Berdasarkan makna linguistiknya, doa ini lebih tepat dibaca setelah berbuka puasa karena menggunakan kata kerja lampau yang menunjukkan kondisi telah hilang rasa haus dan urat telah basah.

Meskipun sebagian umat Islam terbiasa membaca doa ini sebelum berbuka, membaca setelah berbuka dianggap sebagai bentuk kesempurnaan sunnah. Hal ini sejalan dengan pandangan Wahba Zuhaili dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuh yang menyebutkan bahwa salah satu sunnah puasa adalah berdoa setelah berbuka.

Hukum Puasa Nazar

Puasa nazar adalah sebuah bentuk ibadah puasa yang dilakukan sebagai pemenuhan janji atau ikrar yang telah diucapkan seseorang kepada Allah SWT. Janji ini biasanya terkait dengan tercapainya suatu keinginan atau tujuan tertentu yang bersifat baik.

Definisi serupa juga dijelaskan dalam buku Fiqih Ibadah yang ditulis oleh Zaenal Abidin dan Yulita Futria Ningsih, bahwa puasa nazar adalah puasa yang dikerjakan karena adanya suatu janji atau yang pernah diucapkan sebelumnya. Nazar yang sah dan wajib ditunaikan adalah nazar yang berupa amal kebaikan.

Hukum melaksanakan puasa nazar adalah fardu ain, yang berarti kewajiban yang mengikat setiap individu Muslim yang telah bernazar dan keinginannya tercapai. Meskipun pada awalnya nazar bersifat sunnah atau fardhu kifayah, hukumnya berubah menjadi wajib setelah janji tersebut diucapkan dan hajatnya terpenuhi.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sulsel, Dr. KH. Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA, menegaskan bahwa puasa nazar hukumnya wajib dilaksanakan bagi yang bernazar, karena merupakan janji yang harus dipenuhi di hadapan Allah SWT, sebagaimana dikutip dari muisulsel.or.id.

Dalil-Dalil Puasa Nazar dalam Islam

Kewajiban menunaikan puasa nazar memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalil-dalil ini menegaskan pentingnya memenuhi janji yang telah diikrarkan kepada Allah SWT.

  • Al-Qur'an Surat Al-Insan Ayat 7

    Ayat ini menjelaskan tentang sifat orang-orang yang berbuat kebajikan, salah satunya adalah mereka yang menunaikan nazar dan takut akan hari yang azabnya merata: "يُوۡفُوۡنَ بِالنَّذۡرِ وَيَخَافُوۡنَ يَوۡمًا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيۡرًا"

  • Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 270

    Ayat ini menegaskan bahwa segala infak atau nazar yang dilakukan akan diketahui oleh Allah SWT, dan bagi orang-orang zalim tidak ada penolong: "وَمَاۤ اَنۡفَقۡتُمۡ مِّنۡ نَّفَقَةٍ اَوۡ نَذَرۡتُمۡ مِّنۡ نَّذْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ يَعۡلَمُهٗ ؕ وَمَا لِلظّٰلِمِيۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ"

  • Al-Qur'an Surat Maryam Ayat 26

    Ayat ini mengisahkan tentang Maryam yang bernazar untuk berpuasa bagi Tuhan Yang Maha Pemurah: "فَكُلِى وَٱشْرَبِى وَقَرِّى عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِىٓ إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ ٱلْيَوْمَ إِنسِيًّا"

  • Hadits Riwayat Muslim tentang Puasa Nazar Ibu yang Meninggal

    Hadits ini menunjukkan bahwa puasa nazar adalah utang yang wajib ditunaikan, bahkan bisa diwakilkan oleh ahli waris jika yang bernazar telah meninggal dunia. Rasulullah SAW bersabda, "Puasalah untuk menebus nazar (utang) ibumu."

  • Hadits Riwayat Bukhari tentang Nazar Ketaatan dan Maksiat

    Hadits ini menegaskan bahwa nazar untuk taat kepada Allah wajib dipenuhi, sedangkan nazar untuk bermaksiat tidak boleh dilakukan: "مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ تَعْصِهِ"

Niat Puasa Nazar dan Waktu Pelaksanaannya

Niat merupakan rukun penting dalam setiap ibadah, termasuk puasa nazar. Niat puasa nazar harus dilafalkan pada malam hari sebelum pelaksanaan puasa, sebagaimana puasa wajib lainnya, untuk memastikan keabsahan ibadah.

Lafal niat puasa nazar yang umum digunakan adalah:

"نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ النَّذَرِ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالٰى".

Artinya: “Saya berniat puasa esok hari, untuk memenuhi kewajiban nazar, fardu karena Allah Ta‘ala.”

Lafal niat ini dikutip dari buku Pintar Menjahit u/ Pemula. Ada juga lafal niat lain yang lebih ringkas: "Nawaitu shaumannadzri lillâhi ta’ala", yang berarti "Saya berniat puasa nazar karena Allah Ta’ala."

Waktu pengerjaan puasa nazar dapat dilakukan kapan saja, namun dengan beberapa ketentuan. Puasa nazar tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yang diharamkan untuk berpuasa, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, hari tasyrik, serta saat wanita mengalami haid atau nifas.

Menurut Abdul Wahid dalam bukunya Rahasia dan Keutamaan Puasa Sunah, pelaksanaan puasa nazar juga tidak boleh dilakukan ketika waktu diwajibkan puasa Ramadhan, karena puasa Ramadhan adalah kewajiban tersendiri. Durasi puasa nazar harus sesuai dengan apa yang telah dinazarkan, misalnya jika bernazar puasa tiga hari, maka harus dilaksanakan selama tiga hari.

Tata Cara dan Konsekuensi Jika Tidak Mampu Melaksanakan Puasa Nazar

Tata cara pelaksanaan puasa nazar sama seperti puasa pada umumnya, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Langkah awalnya adalah mengucapkan niat puasa nazar pada malam hari sebelum berpuasa.

Namun, jika seseorang tidak mampu melaksanakan puasa nazar sesuai dengan janjinya, terdapat konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi ini dikenal sebagai kafarat sumpah, yang berfungsi sebagai penebus atas ketidakmampuan menunaikan nazar.

Pilihan kafarat sumpah tersebut adalah:

  1. Membebaskan budak.
  2. Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin.
  3. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin.

Jika tidak mampu melakukan salah satu dari tiga pilihan di atas, maka dapat diganti dengan berpuasa selama tiga hari. Penting untuk diingat bahwa melanggar nazar tanpa alasan syar'i dan tanpa membayar kafarat dapat mendatangkan dosa besar, karena nazar adalah janji kepada Allah SWT.

Larangan dan Makruhnya Bernazar

Meskipun nazar yang baik wajib ditunaikan, Islam sebenarnya tidak menganjurkan umatnya untuk bernazar. Bahkan, terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan atau kemakruhan dalam bernazar, menunjukkan bahwa lebih baik tidak bernazar sejak awal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melarang untuk bernazar, beliau bersabda: "Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)", sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639.

Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa nazar tidak dapat mengubah takdir atau menolak sesuatu yang telah ditetapkan Allah.

Nazar justru seringkali muncul dari sifat kikir seseorang yang enggan beramal kecuali jika ada imbalan atau syarat tertentu.

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga memperkuat pandangan ini, "Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan." (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640).

Mayoritas ulama (jumhur) memakruhkan perbuatan bernazar karena alasan-alasan tersebut. Namun, jika seseorang terlanjur bernazar, maka nazar tersebut tetap wajib ditunaikan, terutama jika nazarnya adalah ketaatan kepada Allah.

Nazar Maksiat: Hukum dan Penggantinya

Tidak semua nazar wajib untuk ditunaikan. Jika nazar yang diucapkan mengarah pada perbuatan maksiat atau hal-hal yang dilarang dalam agama, maka nazar tersebut tidak boleh dilaksanakan. Melaksanakan nazar semacam ini justru akan menambah dosa dan melanggar perintah Allah.

Hadits riwayat Imam Bukhari dengan tegas melarang penunaian nazar yang bertujuan untuk bermaksiat kepada Allah: "Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya." (HR. Bukhari no. 6696). Contoh nazar maksiat adalah bernazar untuk berpuasa jika berhasil melakukan perbuatan dosa, seperti menang judi.

Sebagai gantinya, seseorang yang terlanjur bernazar untuk melakukan maksiat tidak perlu menunaikan nazarnya, melainkan harus membayar kafarat sumpah.

Hal ini ditegaskan dalam hadits, "Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah." (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479).

Kafarat sumpah yang dimaksud sama dengan kafarat bagi orang yang tidak mampu menunaikan nazar ketaatan, yaitu membebaskan budak, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin. Jika tidak mampu, maka berpuasa tiga hari. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat serius dalam menjaga umatnya dari perbuatan dosa, bahkan jika dosa tersebut diikrarkan dalam bentuk nazar.

FAQ

1. Apa yang dimaksud dengan puasa nazar?

Puasa nazar adalah puasa yang dilakukan untuk memenuhi janji atau ikrar seseorang kepada Allah SWT atas keinginan tertentu. Ibadah ini menjadi wajib setelah janji tersebut diucapkan dan hajatnya terkabul.

2. Apa doa berbuka puasa nazar yang dianjurkan?

Tidak ada doa khusus untuk puasa nazar, namun doa berbuka puasa umum tetap dianjurkan, yaitu: "اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمأُ وابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ." Artinya: “Ya Allah, hanya untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Telah hilang rasa haus, basah urat-urat, dan pahala tetap, insyaallah.”

3. Bagaimana lafal niat puasa nazar yang benar?

Lafal niat puasa nazar adalah: "نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ النَّذَرِ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالٰى" Artinya: “Saya berniat puasa esok hari untuk memenuhi kewajiban nazar, fardu karena Allah Ta‘ala.”

4. Kapan waktu yang diperbolehkan untuk melaksanakan puasa nazar?

Puasa nazar boleh dilakukan kapan saja, kecuali pada hari-hari yang diharamkan berpuasa seperti Idul Fitri, Idul Adha, hari tasyrik, serta ketika wanita dalam keadaan haid atau nifas.

5. Apa hukumnya jika seseorang tidak mampu melaksanakan puasa nazar?

Jika tidak mampu, maka wajib membayar kafarat sumpah, yaitu dengan memberi makan atau pakaian kepada sepuluh orang miskin, membebaskan budak, atau jika tidak mampu semuanya, berpuasa selama tiga hari.

6. Apakah semua nazar wajib dilaksanakan?

Tidak. Hanya nazar yang berisi ketaatan kepada Allah yang wajib dilaksanakan. Nazar yang mengandung maksiat tidak boleh dilakukan dan harus ditebus dengan kafarat sumpah.

7. Mengapa Islam memakruhkan perbuatan bernazar?

Karena nazar tidak dapat mengubah takdir dan sering muncul dari sifat kikir seseorang yang enggan beramal kecuali dengan imbalan tertentu. Meskipun begitu, jika sudah terlanjur bernazar, maka tetap wajib ditunaikan jika bernilai ketaatan.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |