Liputan6.com, Jakarta - Ka’ab bin Malik al-Anshari al-Khazraji adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang dikenal sebagai penyair sekaligus prajurit pemberani dari kalangan Anshar. Dia termasuk dalam jajaran sahabat yang ikut dalam Baiat Aqabah Kedua, peristiwa penting yang menandai awal lahirnya komunitas Islam di Madinah.
Ka’ab menjadi bagian dari generasi pertama Anshar yang mengokohkan pondasi dakwah Islam di Yatsrib. Dalam berbagai peperangan, Ka’ab bin Malik dikenal karena keberaniannya. Ia selalu berada di garis depan ketika Rasulullah SAW memimpin pasukan, kecuali dalam Perang Badar, yang saat itu keikutsertaan tidak diwajibkan.
Semangatnya dalam jihad dan kemampuannya mengobarkan semangat melalui syair-syair perjuangan membuat namanya dihormati di kalangan sahabat. Abu Faiz Sholahuddin dalam Ebook Ka’ab bin Malik menyebutnya sebagai sosok yang selalu siap dalam perbekalan dan kuda pilihan setiap kali Rasulullah berangkat perang, menandakan kesiapan lahir-batin dalam mengabdi di jalan Allah.
Namun, ujian datang ketika Rasulullah SAW memerintahkan ekspedisi Tabuk. Dia menunda keberangkatannya sehingga akhirnya tertinggal. Setelah itu, dia kucilkan sebagai hukuman. Namun, di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi latar turunnya ayat tentang pertobatan yang tulus.
Mari simak Kisah Ka'ab bin Malik.
Berdiam Diri atau Berdusta
M. Ishom el-Saha dalam tulisannya “Ka’ab bin Malik: Hidup Nyaman karena Terus Terang” mengisahkan, Tabuk adalah ujian berat bagi Ka'ab bin Malik. Terik membakar, jarak jauh, sementara kala itu dia sedang panen kurma yang menggiurkan.
Situasi ini menjadikannya mengalami dilema. Ka’ab sendiri mengaku sudah menyiapkan kuda dan bekal, tapi setiap hari ia menunda hingga akhirnya pasukan Islam berangkat tanpa dirinya.
Ka'ab malu, menyesal sekaligus takut. Terlebih, Rasulullah SAW mengetahui persis ketidakhadirannya dalam ekspediti Tabuk.
Saat Rasulullah kembali, hanya tiga orang mukmin yang absen tanpa uzur: Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’.
Melawan ketakutannya atas murka Rasulullah SAW, Ka’ab datang menghadap Rasulullah dengan hati yang ciut. Ia bisa saja berbohong seperti delapan puluh orang munafik lain yang membuat alasan palsu, tapi ia memilih jujur.
Ebook “Ka’ab bin Malik” karya Abu Faiz Sholahuddin (1435 H) menceritakan dengan detail peristiwa itu:
“Demi Allah, andai aku duduk di hadapan selain engkau, aku bisa beralasan dengan seribu satu kata. Tapi bila aku berdusta hari ini, Allah akan murka kepadaku. Maka aku katakan sejujurnya: aku tidak punya alasan apa pun.”
Rasulullah menatapnya, lalu berkata singkat, “Engkau telah berkata jujur. Kini bangkitlah, sampai Allah memutuskan untukmu.”
Dari situlah dimulai masa boikot sosial selama 50 hari. Tak ada yang menyapa, tak ada yang menjawab salamnya. Bahkan, istrinya diminta menjauh.
Dalam kesepian itulah Ka’ab diuji. Keimanannya dipertaruhkan. Surat dari Raja Ghassan, musuh Islam, tokoh kafir, yang menawarinya perlindungan justru ia robek tanpa ragu.
Ia memilih diasingkan di bumi Allah daripada berpaling dari Rasulullah.
Asbabun Nuzul Surah At-Taubah Ayat 117-119
Merujuk Jurnal Makna Khullifuu dalam Al-Qur’an Surah Al-Taubah Ayat 117-119 dan Relevansi Terhadap Rekonstruksi Boikot (Studi Kisah Rasulullah SAW dan Ka’ab Bin Malik), karya Mustain, kisah ini menjadi latar turunnya surah At-Taubah ayat 117–119, di mana Allah menegaskan:
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya)... hingga bumi terasa sempit bagi mereka padahal luas, dan mereka pun sadar bahwa tiada tempat berlindung dari Allah selain kepada-Nya...”
Dalam riset Mustain, kata “khullifuu” berarti ditangguhkan atau ditinggalkan—bukan dalam arti diabaikan, tetapi sebagai bentuk pendidikan spiritual agar kesalahan mereka tertebus dengan introspeksi dan kesabaran.
“Rasulullah mendiamkan mereka bukan untuk menghukum, tetapi untuk memulihkan kejujuran dalam komunitas umat.” tulis Musta'in.
Boikot itu menjadi model pendidikan sosial Islam, yakni menolak interaksi bukan karena benci, melainkan karena ingin membersihkan jiwa dari kelalaian.
Dalam perspektif kontemporer, Mustain menafsirkan konsep ini relevan dengan gerakan boikot moral modern, seperti penolakan terhadap produk-produk pro-Israel. Keduanya memiliki ruh yang sama—yakni perlawanan terhadap keburukan—meskipun konteksnya berbeda.
Tafsir Surah At-Taubah Ayat 117–118 Menurut Ibnu Katsir
Ayat 117 – Penerimaan Taubat Nabi dan Para Sahabat di Saat Kesulitan Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi pada masa kesulitan...” (QS. At-Taubah: 117
)Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Perang Tabuk, yaitu perang paling berat di masa Rasulullah ﷺ karena dilaksanakan pada musim panas, di tengah kekeringan, jarak yang sangat jauh, dan bekal yang terbatas.
Dalam situasi demikian, Allah menegaskan bahwa Dia telah menerima taubat Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang tetap teguh beriman dan tidak berpaling, walaupun sebagian dari mereka hampir tergelincir oleh kelemahan dan keraguan karena kerasnya ujian.
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menunjukkan keridaan Allah kepada kaum Muhajirin dan Anshar atas kesungguhan mereka mendampingi Rasulullah dalam masa yang disebut “Sa‘at al-‘Usrah” (masa kesulitan besar).
Ayat 118 – Kisah Tiga Sahabat yang Ditangguhkan Taubatnya
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) hingga apabila bumi terasa sempit bagi mereka padahal luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit bagi mereka...” (QS. At-Taubah: 118), Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai kisah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’, tiga sahabat yang tidak ikut serta dalam ekspedisi Tabuk tanpa alasan syar’i.
Mereka tidak berdusta seperti kaum munafik yang memberi alasan palsu, tetapi jujur mengakui kesalahan mereka di hadapan Rasulullah ﷺ. Maka sebagai bentuk pendidikan ilahi, Rasulullah diperintahkan untuk menangguhkan urusan mereka; tidak berbicara, tidak bergaul, bahkan masyarakat Madinah diminta menjauhi mereka selama 50 hari.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menggambarkan keadaan mereka yang penuh penyesalan: bumi terasa sempit, hati terasa sesak, dan mereka sadar bahwa tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali kepada-Nya sendiri. Saat penyesalan itu mencapai puncaknya, Allah menurunkan ayat ini sebagai tanda diterimanya taubat mereka.
Titik Balik, Buah dari Tobat yang Tulus dan Jujur
Pada hari ke-50, saat bumi serasa mengecil dalam kesunyian, suara dari Masjid Nabawi terdengar lantang: “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Ia pun sujud syukur. Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya,
“Bergembiralah dengan hari terbaik sejak engkau dilahirkan ibumu. Ini datang dari Allah, bukan dariku.”
Ayat diterimanya taubat tiga sahabat itu pun turun, mengabadikan nama mereka dalam firman Allah.
Ayat 119 – Seruan untuk Bertakwa dan Jujur
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119)
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini adalah penegasan moral dari kisah tiga sahabat tersebut. Allah memerintahkan seluruh kaum mukmin agar selalu bersama orang-orang yang jujur, dalam niat, perkataan, dan perbuatan. “Shiddiq” di sini bukan sekadar berkata benar, tetapi bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran meskipun menyakitkan.
Ka’ab bin Malik menjadi contoh nyata: kejujurannya membuatnya dikucilkan sementara, tetapi justru karena itulah Allah mengangkat derajatnya. Ibnu Katsir menegaskan bahwa kejujuran adalah dasar iman, sedangkan dusta adalah akar kemunafikan, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga.”
Ayat ini menggambarkan kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba yang jujur dan bertobat. Allah menerima taubat Rasul-Nya, para sahabat setia, dan bahkan tiga orang yang lalai namun jujur dalam pengakuan dosa mereka. Kisah ini menjadi pelajaran abadi, siapa pun yang bersabar, bertobat dengan ikhlas, dan berpegang pada kejujuran, niscaya akan mendapat ampunan serta kemuliaan di sisi Allah.
Imam Asy-Syathibi bahkan mencatat dalam Al-Muwafaqat bahwa inilah satu-satunya peristiwa di mana Rasulullah mewajibkan sujud syukur kepada umatnya, khusus bagi Ka’ab, bentuk cinta Nabi kepada sahabatnya yang jujur.
Sejak itu, Ka’ab bersumpah takkan pernah berdusta lagi seumur hidupnya. Hidupnya kembali damai, dan masyarakat Madinah menyambutnya dengan air mata haru.
Hikmah Kisah Ka'ab bin Malik, Dari Keterasingan Jadi Kemuliaan
Dari Kesepian Menuju KemuliaanLima puluh hari pengasingan mengubah hidup Ka’ab bin Malik. Dari penyair gagah yang pernah lalai, ia bangkit menjadi teladan kejujuran. Dalam diam, ia belajar bahwa boikot bukan akhir, melainkan proses penyucian. Dalam kejujuran, ia menemukan kembali cintanya pada Allah dan Rasul-Nya.
Berikut hikmah-hikmah di balik kisah Ka’ab bin Malik, sebagaimana dapat disarikan dari sumber utama di atas:
1. Kejujuran adalah jalan keselamatan
Hikmah paling utama dari kisah Ka’ab bin Malik adalah bahwa kejujuran menyelamatkan, meski awalnya membawa kesulitan. Ka’ab menolak berbohong di hadapan Rasulullah ﷺ, walaupun banyak orang munafik berdusta agar terhindar dari hukuman.
2. Penundaan dan kelalaian dapat berakibat fatal
Ka’ab sebenarnya telah menyiapkan bekal dan kuda untuk berangkat ke Perang Tabuk, tetapi menunda-nunda keberangkatan hingga pasukan berangkat tanpanya. Dari sini Allah mengajarkan bahwa kelalaian kecil dapat berujung pada kerugian besar.
3. Hukuman sosial dapat menjadi sarana tarbiyah (pendidikan ruhani)
Boikot selama lima puluh hari bukanlah bentuk kebencian, tetapi pendidikan sosial dan spiritual. Rasulullah ﷺ memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak berinteraksi dengan Ka’ab dan dua sahabat lainnya agar mereka menyadari kesalahan dan memperbaiki diri.
4. Ujian iman melahirkan kesempurnaan taubat
Selama lima puluh hari penuh, Ka’ab bin Malik menanggung kesepian, kegelisahan, bahkan godaan dari musuh Islam yang menawarinya perlindungan. Namun ia tetap teguh dan tidak berpaling dari agama. Saat itulah Allah membuka pintu rahmat dengan menurunkan ayat pengampunan.
5. Keberanian Moral untuk Jujur
Ka’ab bin Malik dikenal pemberani di medan perang, tetapi ujian kejujuran justru menuntut keberanian moral yang lebih besar. Mengakui kesalahan di hadapan Rasulullah dan seluruh masyarakat Madinah adalah bentuk keteguhan iman yang luar biasa.
6. Allah mengangkat derajat orang yang sabar dan benar
Pada akhirnya, Allah memuliakan Ka’ab bin Malik dengan mengabadikan kisahnya dalam Al-Qur’an. Ini menjadi bukti bahwa kesabaran dan kejujuran akan meninggikan derajat seseorang di sisi Allah dan manusia. Dari aib menjadi teladan, dari keterasingan menjadi kemuliaan.
People also Ask:
1. Siapa itu Ka'ab bin Malik?
Ka'ab bin Malik (bahasa Arab: كعب بن مالك) adalah seorang penyair Arab dan salah satu sahabat dari nabi Islam Muhammad yang berasal dari kalangan Anshar. Ia turut serta dalam Bai'at 'Aqabah Kedua dan Pertempuran Uhud.
2. Apa makam Hazrat Kaab bin Malik?
Tentang Makam:
Makam ini mencerminkan desain sederhana arsitektur makam Ottoman klasik . Makam ini memiliki satu sarkofagus. Sarkofagus ini terbuat dari batu dan menampilkan prasasti dalam aksara Arab. Makam ini dikelilingi pepohonan, menawarkan suasana yang tenang.
3. Apa yang menyebabkan Ka'ab bin Malik mangkir dari Perang Tabuk?
Sayangnya, pada perang Tabuk ini, Kaab bin Malik ketinggalan rombongan sebab keterlambatannya dalam menyiapkan perbekalan. Saat Kaab masih bingung dalam persiapan menuju medan perang Tabuk, ternyata Nabi dan sahabat lain sudah bergegas menuju medan peperangan. Kaab bin Malik pun gelisah karena keterlambatannya ini.
5. Apa kisah Ka B Ibn Zuhayr?
Kisah Ka'b Bin Zuhayr Bin Abi Sulma
Buhair adalah pendukung setia Nabi, sementara Ka'b dianggap sebagai salah satu musuh bebuyutannya . Karena dikaruniai bakat warisan yang kuat (yaitu puisi), ia memfitnah dan mencaci Nabi dalam syair-syairnya dan menghasut orang-orang untuk menentang Islam.

9 hours ago
4
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3120399/original/060326300_1588698008-syed-muizur-MrRUgFfSjBA-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381630/original/058311500_1760512958-Dua_orang_muslim_berdoa.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5365522/original/031085600_1759199598-Wanita_berdoa_menengadahkan_kedua_tangan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2223459/original/090937300_1526989466-iStock-483807056.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4975686/original/001020200_1729565914-nama-sahabat-nabi.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3349760/original/068310500_1610683254-muslim-woman-pray-with-beads-read-quran_73740-667__4_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2816698/original/011383300_1558943066-shutterstock_1104214622.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5380435/original/008084100_1760424585-Pria_berdoa_setelah_sholat__Pexels_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/813545/original/080167000_1424263004-neraka.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4683631/original/073976400_1702380433-ilustrasi_melihat_nabi_dalam_mimpi.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4606522/original/076122700_1696998857-IMG-20231011-WA0002.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3110450/original/059507500_1587634731-Praying_Hands_With_Faith_In_Religion_And_Belief_In_God__Power_Of_Hope_And_Devotion___1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5348709/original/090969100_1757859256-bioskop.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4889994/original/071009200_1720767600-pexels-zeynep-sude-emek-193601188-20785719.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4510253/original/039550900_1689953461-th__3_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1332594/original/081091200_1472559847-header.jpg)





























