Liputan6.com, Jakarta - Kisah Abu Thalhah al-Anshari adalah perpaduan indah antara epik romantis dan heroisme sejati seorang sahabat Nabi. Dari seorang pedagang kaya raya di Madinah, hidupnya berubah total oleh cinta yang suci kepada Ummu Sulaim binti Milhan, wanita salehah yang menolak lamaran megah dengan mahar emas dan perak, dan justru meminta satu hal sederhana namun agung: keislaman.
Dengan keteguhan hati dan ketulusan iman, Abu Thalhah akhirnya memeluk Islam, menjadikan keimanan sebagai mahar paling mulia dalam sejarah. Dari sanalah lahir kisah cinta yang tak hanya mengikat dua hati, tetapi juga membuka jalan menuju surga, cinta yang berdiri di atas iman, bukan harta.
Setelah keislamannya, Abu Thalhah menjelma menjadi sosok ksatria tangguh dan perisai hidup Rasulullah SAW. Dalam perang Uhud, ketika banyak pasukan Muslim tercerai-berai, ia tetap tegak di sisi Nabi, menangkis panah dengan tubuhnya sendiri.
Keberaniannya menggema di setiap medan jihad, dari Badar hingga Hunain. Di balik ketegasannya di medan perang, ia tetap lembut dalam kedermawanannya. Mari simak selengkapnya, kisah Kisah Abu Thalhah al-Ansari.
Kisah Cinta yang Mengantarkan Keislaman
Abu Thalhah al-Anshari, bernama asli Zaid bin Sahal bin Aswad bin Haram, adalah seorang sahabat Rasulullah saw. dari kalangan Bani Najjar, suku besar Anshar di Madinah. Dalam Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, Muhammad Raji Hasan Kinas menggambarkannya sebagai sosok 'pedagang Madinah yang kaya raya, pemilik banyak emas dan perak.
Namun, di balik kekayaannya, Abu Thalhah merasa kehidupannya belum sempurna. Ia mendambakan seorang istri salehah yang dapat menuntunnya menuju ketenangan hidup yang sejati.
Pencarian itu membawanya kepada Ummu Sulaim binti Milhan, wanita salehah yang dikenal karena akhlak dan keteguhannya dalam Islam. Ia bukan sekadar perempuan berparas cantik, melainkan berjiwa teguh dan berhati bersih. Abu Thalhah segera melamarnya, dengan keyakinan bahwa hartanya mampu meluluhkan hati wanita mana pun.
Dalam pertemuan awal itu, Ummu Sulaim menatap calon suaminya dengan ketegasan lembut. “Abu Thalhah, tidak ada orang yang akan menolak orang sepertimu. Tetapi engkau tidak sebanding denganku. Kau pasti tidak mampu memenuhi maskawin yang kuinginkan,” katanya, sebagaimana dikisahkan Muhammad Raji.
Mendengar itu, Abu Thalhah tersenyum yakin. Ia menyangka Ummu Sulaim meminta mahar yang besar. “Ambillah emas dan perak sebanyak yang engkau inginkan,” ujarnya dengan nada percaya diri.
Namun Ummu Sulaim menjawab dengan kalimat yang mengubah hidupnya: “Emas dan perakmu sama sekali tidak menarik hatiku. Satu-satunya penghalang antara aku dan engkau adalah dirimu. Engkau orang musyrik, sedangkan aku seorang muslimah. Aku tidak dapat menerimamu selama engkau belum menyatakan keislamanmu. Aku tidak mengharapkan mahar apa pun selain keislamanmu.”
Kata-kata itu menembus hati Abu Thalhah lebih dalam daripada pedang di medan perang. Ia pergi sejenak, merenung, lalu kembali dengan tekad yang bulat. “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,” ucapnya dengan lantang. Maka, Ummu Sulaim pun berkata kepada putranya, Anas bin Malik, “Hai Anas, nikahkan Abu Thalhah.”
Peristiwa itu membuat para sahabat berkata penuh kagum, “Kami belum pernah mendengar mahar yang lebih mulia daripada mahar Ummu Sulaim, yaitu Islam.”
Ksatria Bani Najjar yang Menjadi Perisai Rasulullah
Keislaman tidak sekadar mengubah keyakinan Abu Thalhah, tetapi juga mengubah arah hidupnya. Ia menjelma menjadi seorang pemanah ulung dan pejuang tangguh yang selalu berada di sisi Rasulullah saw.
Dalam Perang Badar, ia maju di barisan depan, menebas musuh dengan keberanian luar biasa. Namun, keberaniannya mencapai puncak pada Perang Uhud, ketika banyak pasukan Muslim tercerai-berai dan meninggalkan Rasulullah.
Dalam situasi genting itu, Abu Thalhah berdiri tegak di depan Nabi. Ia menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup.
“Biarkan aku berkorban untukmu, wahai Rasulullah. Merunduklah, jangan tampakkan dirimu agar mereka tidak menjangkaumu!” serunya.
Rasulullah saw. bahkan bersabda, “Pekik suara Abu Thalhah di antara pasukan lebih baik dari seratus orang.” (Kinas, 2012).
Keberanian ini bukan semata-mata keberanian fisik, melainkan buah dari iman yang tulus. Dalam setiap peperangan, Badar, Uhud, hingga Hunain, Abu Thalhah selalu tampil sebagai penjaga Rasulullah yang tidak pernah mundur sejengkal pun.
Merujuk Buku 40 Atsar Indah Dari Sahabat Nabi Yang Mulia, karya Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Hamd Al-Ushaimi, Abu Thalhah dikenal sebagai pemanah ulung dan prajurit yang pemberani.
Ia turut serta dalam hampir semua pertempuran besar, mulai dari Perang Uhud, Khandaq, hingga berbagai peperangan setelahnya.
Keberaniannya dalam membela Rasulullah SAW menjadi legenda, terutama dalam Perang Uhud, di mana ia menjadi salah satu yang bertahan melindungi Nabi SAW saat banyak sahabat yang terpencar.
Kedermawanan Abu Thalhah al-Anshari
Selain dikenal sebagai prajurit tangguh, Abu Thalhah juga terkenal dermawan dan zuhud. Dalam Ruh al-Ma‘ani, Al-Alusi meriwayatkan kisah ketika turun ayat:
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” (QS Ali Imran [3]: 92).
Abu Thalhah segera menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta yang paling aku cintai adalah kebun Birha’, dan aku sedekahkan kebun itu untuk Allah. Aku berharap balasan kebaikan serta simpanan di sisi-Nya.”
Rasulullah SAW pun menerimanya dengan senang hati dan mendoakannya. Peristiwa ini menjadi bukti nyata bagaimana cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya mengalahkan cintanya pada harta benda dunia.
Namun, kemudian Rasulullah tersenyum dan menjawab, “Bagus. Itu adalah harta yang sangat berharga. Menurutku, berikanlah kepada kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah pun membagi kebun itu kepada keluarga dan anak-anak pamannya. Tindakannya menggambarkan makna sejati dari ayat yang ia amalkan, bukan sekadar menginfakkan kelebihan, tetapi memberikan yang paling dicintai.
Akhir Hayat Sang Pejuang
Menjelang akhir hayatnya, Abu Thalhah masih memiliki semangat jihad yang menyala. Suatu ketika, saat membaca ayat:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan maupun berat.” (QS At-Taubah [9]: 41), ia berkata kepada anak-anaknya, “Aku melihat Tuhan telah bersiap untukku saat muda dan tua. Maka persiapkanlah keberangkatanku.”
Meski anak-anaknya memohon agar ia beristirahat setelah usia panjang dan banyak peperangan, Abu Thalhah tetap bersiap berangkat dalam sebuah ekspedisi.
Semangat jihadnya tidak padam hingga akhir hayat. Syaikh Al-Ushaimi dalam 40 Atsar memberikan informasi kunci tentang akhir hidupnya yang syahid:
"Meninggal dunia tahun 34 H dalam keadaan sedang berperang di Laut Romawi yang hari ini dikenal dengan Laut Tengah atau Mediterranean. Ia dikuburkan di salah satu pulau di sana," tulis Syaikh Al-Ushaimi.
Lokasi wafat dan pemakamannya ini menunjukkan betapa jauh ia merantau untuk berjihad di jalan Allah, meninggalkan tanah kelahirannya di Madinah demi menyebarkan cahaya Islam.
Ia meninggal di tengah pelayaran jihad, dan jasadnya baru dapat dimakamkan tujuh hari kemudian. Namun, sebagaimana diriwayatkan oleh Hammad ibn Salamah dari Tsabit dari Anas, jasadnya tetap utuh dan tidak berbau sedikit pun, sebuah tanda kemuliaan bagi hamba yang ikhlas berjuang di jalan Allah.
Ditambahkan oleh Kinas, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Abu Thalhah berpuasa selama 40 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW. “Mungkin karena itulah jasadnya tidak membusuk,” tulis Kinas dalam ensiklopedianya.
Teladan dari Seorang Sahabat Sejati
Kisah hidup Abu Thalhah al-Anshari adalah cerminan kesempurnaan iman, keikhlasan dalam cinta, keberanian dalam jihad, dan keikhlasan dalam amal.
Ia memulai perjalanan spiritualnya dengan mahar keislaman, hidup membela Rasulullah, dan wafat dalam semangat jihad.
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Raji Hasan Kinas, “Sungguh, engkau semua, para sahabat Rasulullah, tidak hanya cakap berkata-kata, tetapi juga pandai beramal dan berperilaku baik. Satu-satunya yang menjadi perhatianmu adalah melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.”
Warisan kisah Abu Thalhah tidak sekadar sejarah, tetapi pesan moral abadi: bahwa iman sejati bukan hanya diucapkan, melainkan diperjuangkan dengan cinta, pengorbanan, dan amal yang tulus.
People also Ask:
1. Ceritakan siapa sebenarnya Abu Dzar al Ghifari?
Abu Dzar Al-Ghifari merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang berasal dari suku Ghifar. Dia dikenal sebagai sosok yang memiliki keteguhan hati, berpikiran matang dan visioner.
2. Kenapa Abu Ubaidah dijamin masuk surga?
Abu Ubaidah merupakan sahabat kepercayaan Nabi. Abu Ubaidah termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun atau orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Ketaatan dan keimanan Abu Ubaidah membuatnya termasuk dalam sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga.
3. Siapa sahabat Nabi yang paling pemalu?
Namun ketika Utsman datang, Rasulullah langsung merapikan duduk dan menutup betisnya. Aisyah pun bertanya, mengapa hanya kepada Utsman beliau bersikap demikian. Rasulullah menjawab: “Utsman adalah orang yang pemalu.
4. Ceritakan dengan singkat siapakah Thalhah bin Ubaidillah?
Thalhah bin Ubaidillah adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dikenal sebagai pedagang sukses yang sangat dermawan dan kesatria dalam Perang Uhud. Ia menjadi salah satu orang pertama yang masuk Islam, bahkan pernah disiksa keluarganya karena keyakinannya, namun tetap teguh memeluk agama Islam. Pada Perang Uhud, ia menjadi pelindung utama Nabi Muhammad SAW, menerima lebih dari 70 luka akibat serangan pedang dan panah, hingga dijuluki "syahid yang masih hidup".

9 hours ago
4
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/904568/original/070887100_1434622909-imagepemimpinresized.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3120399/original/060326300_1588698008-syed-muizur-MrRUgFfSjBA-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381630/original/058311500_1760512958-Dua_orang_muslim_berdoa.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5365522/original/031085600_1759199598-Wanita_berdoa_menengadahkan_kedua_tangan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2223459/original/090937300_1526989466-iStock-483807056.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4975686/original/001020200_1729565914-nama-sahabat-nabi.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3349760/original/068310500_1610683254-muslim-woman-pray-with-beads-read-quran_73740-667__4_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2816698/original/011383300_1558943066-shutterstock_1104214622.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5380435/original/008084100_1760424585-Pria_berdoa_setelah_sholat__Pexels_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/813545/original/080167000_1424263004-neraka.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4683631/original/073976400_1702380433-ilustrasi_melihat_nabi_dalam_mimpi.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4606522/original/076122700_1696998857-IMG-20231011-WA0002.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3110450/original/059507500_1587634731-Praying_Hands_With_Faith_In_Religion_And_Belief_In_God__Power_Of_Hope_And_Devotion___1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5348709/original/090969100_1757859256-bioskop.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4889994/original/071009200_1720767600-pexels-zeynep-sude-emek-193601188-20785719.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4510253/original/039550900_1689953461-th__3_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1332594/original/081091200_1472559847-header.jpg)





























