Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan tentang najis atau tidaknya kotoran cicak kerap muncul dalam keseharian umat Muslim. Hal ini cukup lumrah, mengingat cicak termasuk hewan yang sangat sering kita jumpai, bahkan hingga ke tempat ibadah seperti mushola atau ruang salat rumah.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Bahjah KH Yahya Zanul Ma'arif atau Buya Yahya menjawab pertanyaan tersebut dengan bijak dan penuh pertimbangan. Menurutnya, hukum kotoran cicak bisa berbeda tergantung kondisi pribadi seseorang, terutama jika orang tersebut memiliki kecenderungan was-was.
"Kalau Anda termasuk orang yang was-was, maka ikutlah mazhab yang meringankan demi menjaga kesehatan hati Anda. Jangan sampai niat menjaga kesucian malah melukai perasaan orang lain," tutur Buya Yahya, memberi peringatan akan bahaya was-was berlebihan, dikutip Sabtu (12/7/2025).
Dalam dunia fikih, para ulama memiliki pendapat yang beragam mengenai najis atau tidaknya kotoran hewan tertentu, termasuk cicak. Salah satu kaidah yang dikemukakan ialah soal keberadaan darah dalam tubuh hewan tersebut—apakah mengalir atau tidak.
Ibnu Qudamah, ulama dari mazhab Hanbali, dalam kitab al-Mughni, menjelaskan bahwa binatang yang tidak memiliki darah mengalir, seperti serangga, dianggap suci seluruh tubuhnya, termasuk kotorannya. Ini menjadi dasar bagi sebagian ulama untuk tidak menganggap najis kotoran atau tai cicak.
Simak Video Pilihan Ini:
Jenazah Nelayan Dievakuasi dari Perairan Nusakambangan Cilacap
Penjelasan Penting
Dalam Nihayah al-Muhtaj, ulama mazhab Syafi’i, ar-Ramli, menyatakan bahwa bangkai binatang yang tak memiliki darah mengalir dikecualikan dari najis. Artinya, bangkai dan kotoran hewan jenis ini, termasuk cicak menurut sebagian ulama, tidak dihukumi najis.
Namun, ada pula pandangan sebaliknya. Ulama lain menyatakan bahwa bila seekor binatang memiliki darah merah yang mengalir dan tidak halal dimakan, maka kotorannya dikategorikan sebagai najis. Dengan logika ini, cicak termasuk hewan yang najis kotorannya.
Meski demikian, banyak pula ulama yang menyebutkan bahwa najis-najis ringan yang sangat sulit dihindari, seperti kotoran cicak di rumah atau masjid, termasuk dalam najis ma’fu atau najis yang dimaafkan. Artinya, selama sulit untuk menghindari dan dalam jumlah sedikit, tidak perlu terlalu dipermasalahkan.
Namun jika seseorang ingin bersikap hati-hati, tentu tidak mengapa menjaga kebersihan dari kotoran cicak, terutama di tempat ibadah dan pakaian salat. Ini justru dianjurkan selama tidak menimbulkan sikap was-was atau berlebihan dalam beragama.
Dikutip Sabtu (12/07/2025) dari kanal Youtube Buyayahyaofficial, Buya Yahya juga menyarankan agar kita bersikap seimbang. "Kalau tempat salat Anda terlihat kotor karena debu atau kotoran cicak, ya dibersihkan saja. Itu lebih baik. Tapi jangan sampai jadi was-was," tegasnya.
Buya Yahya mengingatkan bahwa agama Islam dibangun di atas kemudahan, bukan beban yang memberatkan. Maka sikap berlebihan terhadap najis yang sulit dihindari dapat mengganggu ibadah dan ketenangan hidup seseorang.
Membunuh Cicak
Salah satu dasar yang memperkuat kehati-hatian terhadap cicak adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebut cicak sebagai hewan fasik. Dalam riwayat Muslim, disebutkan bahwa membunuh cicak satu kali pukulan mendapatkan pahala besar.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa membunuh cicak dengan sekali pukulan, maka baginya seratus kebaikan." Ini menunjukkan bahwa cicak dianggap mengganggu dan tidak termasuk hewan yang bersih.
Fakta bahwa cicak sering kali meninggalkan kotoran di langit-langit, dinding, bahkan karpet rumah dan mushola membuat banyak orang khawatir apakah ibadahnya tetap sah. Namun, kembali lagi pada prinsip kehati-hatian tanpa berlebihan.
Jika kita bisa melihat dan membersihkan kotorannya, maka sebaiknya dibersihkan. Tapi jika dalam jumlah sangat kecil dan tidak terlihat jelas, para ulama memberikan keringanan sebagai najis yang dimaafkan.
Inti dari semua itu, menurut Buya Yahya, adalah niat menjaga kesucian sambil tetap memperhatikan kelapangan hati dan akal sehat. Islam mengajarkan kebersihan, tapi juga menghindari sikap ekstrem dalam urusan yang bersifat furu' atau cabang. Wallahu a’lam.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul