Liputan6.com, Jakarta Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah. Peringatan ini menjadi momentum penuh makna, bukan sekadar tradisi, melainkan sarana untuk mengenang keteladanan Rasulullah sebagai rahmat bagi semesta alam.
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi disambut dengan beragam kegiatan, mulai dari pengajian, pembacaan shalawat, hingga tradisi budaya khas di berbagai daerah. Meski terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai hukumnya, mayoritas umat Islam tetap menjadikan Maulid Nabi sebagai wujud cinta dan penghormatan kepada Rasulullah.
Pengertian Maulid Nabi
Maulid Nabi berasal dari kata maulid atau milad dalam bahasa Arab yang berarti hari lahir. Secara khusus, istilah ini digunakan untuk merujuk pada peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Umat Islam meyakini bahwa Nabi adalah teladan terbaik yang Allah utus untuk seluruh umat manusia.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 107 disebutkan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini menjadikan kelahiran beliau sebagai peristiwa monumental yang patut dikenang dan diperingati.
وَمَآ أَرْسَلْنَـٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَـٰلَمِينَ
Wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil-‘ālamīn
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam"
Namun, praktik peringatan Maulid Nabi baru berkembang setelah wafatnya Rasulullah. Artinya, perayaan ini lebih bersifat tradisi keagamaan yang tumbuh dalam masyarakat Islam, bukan sebuah ritual ibadah khusus yang diwajibkan syariat.
Sejarah Awal Peringatan Maulid Nabi
Sejarah mencatat bahwa peringatan Maulid Nabi tidak dikenal pada masa Rasulullah, para sahabat, maupun generasi tabi’in. Praktik ini baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada abad ke-7 Hijriah. Salah satu catatan paling awal menyebutkan bahwa Sultan Muzhaffaruddin Al-Kaukabri dari Irbil, wilayah Irak saat ini, mengadakan perayaan besar-besaran untuk memperingati kelahiran Nabi. Dalam acara tersebut, ia mengundang para ulama, tokoh masyarakat, dan rakyat untuk berkumpul dalam majelis doa, dzikir, serta penyampaian sirah Nabi.
Penyelenggaraan Maulid Nabi oleh Sultan Muzhaffar dilakukan dengan penuh kemegahan. Ribuan ekor kambing dan unta disembelih untuk menjamu para hadirin, sementara para ulama dari berbagai disiplin ilmu turut hadir untuk memberikan ceramah keagamaan. Ulama besar seperti Al-Hafizh Ibn Dihyah bahkan menulis kitab khusus berjudul Al-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nazir sebagai hadiah untuk sang Sultan. Kitab ini menjadi salah satu karya tertulis pertama yang secara eksplisit membahas tentang Maulid Nabi.
Meski dimulai di Irak, tradisi peringatan Maulid kemudian meluas ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk Mesir, Syam, dan kemudian sampai ke Nusantara. Perayaan ini berkembang dengan nuansa lokal yang berbeda-beda, dari sekadar pengajian sederhana hingga festival budaya yang meriah. Dalam perkembangannya, peringatan Maulid tidak hanya menjadi sarana dakwah dan syiar Islam, tetapi juga medium mempererat ukhuwah serta menguatkan identitas keagamaan masyarakat Muslim di berbagai daerah.
Namun, muncul juga riwayat lain yang menyebut bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi berperan dalam memopulerkan Maulid Nabi. Menurut pendapat ini, Salahuddin menginisiasi perayaan Maulid untuk membangkitkan kembali semangat jihad kaum Muslimin yang mulai melemah pada masa Perang Salib. Meskipun terdapat perbedaan mengenai siapa yang pertama kali memperkenalkan perayaan ini, jelas bahwa Maulid Nabi sejak awal telah menjadi instrumen strategis, baik untuk dakwah maupun penguatan semangat keislaman, yang kemudian bertahan hingga generasi demi generasi.
Amalan-Amalan dalam Peringatan Maulid Nabi
Banyak amalan yang dianjurkan untuk mengisi momentum Maulid Nabi. Yang utama adalah memperbanyak membaca shalawat, karena Rasulullah sendiri mengajarkan bahwa orang yang memperbanyak shalawat akan mendapatkan syafaat beliau di akhirat.
Selain itu, umat Islam juga dianjurkan melakukan puasa sunnah, khususnya Senin dan Kamis, sebagai bentuk syukur atas kelahiran Nabi. Tradisi bersedekah juga marak dilakukan, baik dengan berbagi makanan maupun memberi bantuan kepada fakir miskin.
Tak kalah penting, momentum Maulid menjadi kesempatan untuk memperbanyak amalan kebaikan lain, seperti muhasabah diri, mempererat silaturahmi, dan mendalami kisah keteladanan Rasulullah agar dapat diteladani dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan Ulama Ahlus Sunnah tentang Maulid Nabi
Ulama Ahlus Sunnah memiliki pandangan tegas dalam menyikapi perayaan Maulid Nabi. Sebagian besar dari mereka berpegang pada prinsip bahwa ibadah dalam Islam harus memiliki landasan yang jelas dari Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Karena itu, peringatan Maulid Nabi yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para sahabat dipandang sebagai bid’ah, yakni perkara baru dalam agama yang tidak memiliki dasar syariat.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa perayaan khusus seperti Maulid Nabi, malam Rajab, atau hari tertentu selain dua hari raya resmi (Idul Fitri dan Idul Adha) adalah bid’ah. Menurutnya, hal ini tidak pernah dianjurkan oleh generasi salaf, yakni sahabat dan tabi’in, yang justru merupakan generasi terbaik umat Islam.
Pandangan serupa juga disampaikan ulama Malikiyah, Tajuddin Al-Fakihani. Dalam kitabnya Al-Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid, ia menyebut bahwa Maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah tercela). Ia menegaskan bahwa tidak ada landasan dari Al-Qur’an maupun sunnah, bahkan tidak ada seorang pun ulama salaf yang menjadikan Maulid sebagai ibadah. Karena itu, menurut Al-Fakihani, perayaan Maulid tidak bisa dianggap wajib, sunnah, atau mubah, melainkan termasuk perkara yang terlarang.
Selain itu, ulama lain seperti Muhammad bin Abdus Salam Khodr Asy-Syuqairi juga menolak perayaan Maulid dengan alasan logis. Ia menyoroti bahwa bulan Rabiul Awal bukanlah bulan istimewa yang memiliki hari raya syariat. Bahkan, selain sebagai bulan kelahiran, Rabiul Awal juga merupakan bulan wafatnya Rasulullah. Baginya, mengadakan perayaan di bulan itu justru tidak konsisten dengan spirit Islam, apalagi jika perayaan diwarnai dengan pemborosan harta, hiburan berlebihan, dan tradisi yang jauh dari ruh ibadah.
Dengan demikian, pandangan mayoritas ulama Ahlus Sunnah yang dikutip dari Rumaysho menekankan bahwa Maulid Nabi tidak memiliki legitimasi dalam syariat. Meski sebagian pihak membolehkan dengan niat cinta Nabi, para ulama ini menilai bahwa cinta kepada Rasulullah seharusnya diwujudkan dengan mengikuti sunnah beliau, bukan dengan menambah bentuk ibadah baru yang tidak pernah diajarkan.
People Also Ask
1. Apa itu Maulid Nabi?
Maulid Nabi adalah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh setiap 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah.
2. Apakah Maulid Nabi wajib dirayakan?
Tidak wajib. Maulid Nabi lebih bersifat tradisi keagamaan, bukan ibadah wajib dalam Islam.
3. Apa saja amalan yang dianjurkan saat Maulid Nabi?
Membaca shalawat, berpuasa sunnah, bersedekah, dan memperbanyak amal kebaikan.
4. Mengapa sebagian ulama menolak perayaan Maulid Nabi?
Karena tidak dilakukan pada masa Nabi, sahabat, dan tabi’in. Namun banyak ulama lain yang membolehkan dengan alasan mengandung nilai dakwah.
5. Bagaimana tradisi Maulid di Indonesia?
Beragam, mulai dari pengajian, pembacaan maulid, hingga tradisi budaya seperti sekaten di Yogyakarta dan grebeg maulid di Cirebon.