Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada terdakwa kasus suap PAW politikus PDIP Harun Masiku, Hasto Kristiyanto. Pemberian amnesti telah disetujui DPR.
Dengan pemberian amnesti tersebut, maka kasus Hasto Kristiyanto dihentikan dan dinyatakan bebas dari hukuman. Selain Hasto, Prabowo juga memberikan amnesti kepada seribu lebih terpidana lainnya.
Di luar itu, Prabowo memberikan abolisi kepada Mantan Mendag Thomas Lembong. Pemberian abolisi Tom Lembong itu tercantum dalam Surat Presiden nomor 43 tanggal 30 Juli 2025.
"DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden nomor 43/tanggal 30 juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi terhadap Tom Lembong," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, dilansir kanal News Liputan6.com, Senin (1/8/2025).
Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Konsep pengampunan ini juga dikenal dalam Islam.
Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai amnesti?
Amnesti dalam Fiqih Siyasah
Dalam fiqih siyasah, amnesti sering disebut dengan istilah pengampunan hukuman. Melansir jurnal.ar-raniry.ac.id, Fiqih siyasah adalah salah satu disiplin ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran Islam.
Dalam istilah dunia modern, istilah fiqih siyasah juga sering disebut sebagai ilmu tata negara yang berdasarkan ajaran Islam.
Dalam peradilan Islam, pengampunan dikenal dengan istilah al-‘afwu dan asy-syafa’at. Kata al-‘afwu merupakan kalimat yang berbentuk isim yang ditandai dengan adanya kata al pada awal kalimat, atau bisa disamakan dengan bentuk masdar yakni ‘afwun yang secara bahasa mengandung arti hilang, terhapus, memberi dengan penuh kerelaan dan pemaafan.
Sedangkan menurut istilah sebagaimana yang didefinisikan oleh Abu al Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya al-razy, al-‘afwu adalah setiap pembuat dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi terhapus sebab telah mendapat pengampunan.
Dalil Amnesti
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa dalil yang menjelaskan terkait pengampunan, di antaranya Surat al-A’raf (7) ayat 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf (mudah memafkan didalam menghadapi perlakuan orang-orang, dan janganlah membalas) dan suruhlah orang mengerjakan makruf (perkara kebaikan), dan berpalinglah daripada orang-orang bodoh (janganlah engkau melayani kebodohan mereka).”
Menurut Hamka, ayat di atas menjelaskan tentang suatu pedoman perjuangan yang diperingatkan Allah SWT kepada Rasul-Nya. Lebih tepatnya ayat tersebut merupakan bimbingan atas Rasulullah SAW di dalam memimpin umat. Terdapat tiga unsur yang harus dipegang teguh dalam menghadapi pekerjaan besar dalam menegakkan dakwah kepada umat Islam, yakni: menjadi seorang pemaaf, menyuruh orang-orang untuk mengerjakan kebaikan dan berpaling dari orang-orang bodoh.
Tiga unsur inilah yang menjadi ajaran yang diberikan Allah SWT kepada Rasul SAW dalam memimpin umatnya, menyatu-padukan pengikutnya, menangkis serangan dan menolak segala balabencana.
Selain dalam al-Qur’an, perintah pemaafan juga terdapat dalam hadits Nabi. Pemaafan yang diberikan terhadap perkara tindak pidana yang masih memungkinkanuntuk diberikan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA, yang artinya:
“Hindarilah oleh kalian hukuman hudud atas sesama muslim semampu mungkin; jika ada jalan keluar untuk menghindar, lakukanlah; sungguh Imam salah dalam mengampuni lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.”
Kaidah Amnesti dalam Fiqih Siyasah
Dari hadis di atas, para ulama merumuskan sebuah kaidah fiqh ”Sungguh kesalahan seorang pemimpin dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahannya dalam menjatuhkan hukuman.”
Keterangan dari hadis di atas, merupakan sandaran hukum bagi seorang hakim maupun penguasa yang mempunyai otoritas dalam memutuskan sesuatu perkara, apabila menemukan keraguan dalam menilai suatu jarimah yang dilakukan atau yang dituduhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana, terhadap putusan yang akan dijatuhkan, maka lebih baik dimaafkan.
Sebab pemaafan merupakan salah satu alternatif untuk menghindari hudud yang masih diragukan pembuktiannya, sehingga memaafkan lebih baik daripada keputusan yang salah dalam menghukum seseorang.
"Jika tindakan hakim dalam memaafkan tersangka pada kasus jinayath al-hudud yang belum pasti pembuktiannya, maka hal tersebut merupakan tindakan yang dianjurkan agama meskipun hukuman tersebut pada dasarnya adalah hak absolut Allah," demikian dikutip dari jurnal 'Amnesti: Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Fiqh Siyasah' UIN Aceh.
Pemberian maaf oleh pemimpin dalam kasus hukuman ta’zir jauh lebih mudah untuk dipahami dan dilaksanakan karena merupakan kewenangan parapemimpin/waliyul amri dalam menilai maslahat dan mafsadat dari sebuah sanksi atau hukuman.
Sementara untuk kasus hukuman pembunuhan atau melukai anggota tubuh (qishash) merupakan hak dominan korban atau ahli waris korban untuk melanjutkan tuntutan atau memilih untuk memaafkan pelaku. Jika memaafkan yang dipilih maka hukumannya beralih kepada kompensasi materi (diyat). Wallahua'lam.
Penulis: M Nadin/Madin Mifa 1